Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Menjunjung Akbar Tandjung

22 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Radhar Panca Dahana *) Budayawan

KARENA Mahkamah Agung (MA) dan Akbar Tandjung (AT), kini kita miliki logika kerja yang sederhana. Pertama, jika seseorang mendapat tugas dari pimpinannya, ia kini tak bertanggung jawab pada apa pun hasil pelaksanaan tugas itu. Jika terdapat kesalahan dalam pelaksanaan tugas itu, seburuk dan sedestruktif apa pun, orang tersebut tinggal memulangkan tanggung jawabnya dengan retorika paling murahan, khas Indonesia: "Saya hanya menjalankan tugas". Titik. Selesai. Tak ada kasus. Butakan semua matamu. Juga, tentu, hatimu.

Logika kedua, jika sebuah tugas atau kerja telah kau limpahkan pada pelaksana/bawahan, usai sudah tugasmu, juga tunai tanggung jawabmu. Betapapun bawahan atau pelaksana itu memanipulasi, menyelewengkan, bahkan menghancurkan publik lewat perintah kerja itu, kau tetap dapat santai, lepas dari semua tanggung jawab, legal maupun moral. Aman di jabatan, bahkan promosi kau dapatkan. Dalam kasus MA dan AT, logika ini punya dua efek pukulan jitu: tidak hanya AT bebas murni, ia pun jadi kartu truf tertutup untuk membebaskan pimpinan AT terdahulu, mantan presiden B.J. Habibie.

Cukup dengan dua logika sederhana ini saja, kita boleh sama-sama merayakan hancur dan matinya fondasi utama kinerja manusia yang berusaha: profesionalisme. Dengan finalisasi hukum seperti itu, runtuh sudah semua standar prestasi, kualitas kerja, tanggung jawab, dan pemenuhan tugas. Semua sidang yang menuntut tanggung jawab atasan atas tindakan bawahan boleh diusaikan. Atasan tak bertanggung jawab. Semua pejabat negara (juga privat, boleh saja) tak perlu malu, mundur dari jabatan, atau cemas dipidana karena pekerjaan yang dilimpahkannya kacau di lapangan, sarat korupsi, brengsek segala-gala, destruktif pada publik, dan kedegilan lainnya.

Yang pejabat olahraga boleh terus bersenang, biar semua atletnya cuma ayam kandang. Yang menteri keuangan boleh santai saja di suite lima berlian, sementara ekonomi diserakahi dan dikangkangki monster-monster kapital. Tak ada lagi standar mutu kerja. Yang utama kini, raihlah jabatan, apa pun caranya, untuk kita berleha menikmati hidup, melalui ratusan hak dan nol tanggung jawab. Negeri ini mencapai nadir kemunafikan justru oleh lembaga agung yang menghancurkan keagungannya sendiri di hadapan ratusan juta manusia.

Satu hal lagi yang segera mengingatkan kita dari drama empat hakim agung dengan suara mendengung itu: kita selama ini terkecoh atau dikecohkan, bahwa perjuangan bangsa ini adalah melawan keterpurukan ekonomi, instabilitas politik dan keamanan. Seluruh daya dan kerja kita tumpahkan untuk membenahi hal itu, memenuhi standar-standar internasional tentang sukses sebuah negara. Lalu kita lupa, substansi perjuangan sesungguhnya adalah: perlawanan menentang (musuh dalam) diri kita sendiri. Melawan kelemahan hati, jiwa, dan pikiran koruptif, dan perilaku manipulatif kita yang massif. Melawan virus-virus mental, akal, dan di badan, yang segera membunuh kita saat kita sibuk dengan penampilan dan slogan. Betapapun kita bersolek, mempercantik gaya dan tampilan, dengan seribu undang-undang, sepuluh ribu jabatan, dan sejuta slogan, virus itu akan dengan damai menyerang kembali.

Kenyataan ini sesungguhnya menyadarkan kita, perjuangan kita yang sebenarnya tidak pernah dan tidak akan selesai dengan dipenuhinya standar-standar ekonomi, politik, dan sosial global itu. Perjuangan sebenarnya ini berusia panjang, jauh lebih panjang dari grafik indeks harga saham gabungan dan kurs dolar. Bahkan mungkin begitu panjang, hingga ia permanen, sepermanen akal dan jiwa manusia yang tak kan sampai pada puncak yang sempurna. Kesadaran ini adalah kesadaran waktu yang memberi kita peluang untuk memperbaiki diri dengan sungguh hati, bukan peluang untuk menipu nasib dan meliciki dunia.

Dan kita perlu menjunjung sobat Akbar Tandjung, yang karenanya kita kian mafhum, betapa jalan taklah seringkas yang kita duga. Bahwa ratusan juta manusia masih tak berdaya menghadapi hukum yang hanya cantik di etalase. Bebasnya AT membuka hati kita bahwa reformasi melulu sukses sebagai make up, sebagai lipstick, para elite yang genit. Sementara di rumputan basah, wajah-wajah dekil cuma terdiam, terhina, dan ditelikung seribu bencana: alam, teknologi, politik, ekonomi, dan sosial.

Kita perlu menjunjung Akbar Tandjung dan Mahkamah yang dilumat keagungannya, lantaran kita didesak memeriksa kembali slogan besar zaman ini: "kebebasan" dan "demokrasi". Ketika slogan gigantik itu sesungguhnya, dengan kecerdikan dan kelicikan ala kadarnya, justru menjadi arsenal ampuh untuk melindungi keserakahan, ambisi kuasa, amoralitas ber-make up seorang santo.

Akbar Tandjung perlu dijunjung, karena ia membuka kembali kotak pandora demokrasi untuk kita timbang dan uji lagi hakikat dan terapannya. Adakah, misalnya, filsafat yang melahirkan hukum bermasyarakat itu juga dimiliki atau dipahami masyarakat kita? Apakah ia sama dengan kulkas atau sedan Korea terbaru, yang moda pemakaiannya begitu universal, laik, dan dapat dipakai siapa saja?

Betapa Mahkamah (yang tak lagi) Agung pantas mendapat selamat dan terima kasih, lantaran ia berhasil mengumpulkan sekian juta peragu, untuk bersatu justru untuk kepadanya berseteru. Dan jika negeri ini belum juga melek hati dan pikirannya karena itu, pantaslah jika semua pejuang mendelu. Dan merangkai ulang tekadnya satu: negeri ini memang busuk, hingga seperti buah yang akan kita mamah, dengan pisau tajam kita iris dan buang semua bagian busuknya. Agar ia tak jadi racun. Biarpun harus sepertiga (satu generasi) atau setengah (dua generasi) dari buah itu kita campakkan ke tanah, untuk jadi sampah. Jadi tepian sejarah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus