Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Perang Sudah Dimulai

22 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Todung Mulya Lubis *) Koordinator Tim Kuasa Hukum Tempo

PENGADILAN Jakarta Selatan menjatuhkan vonis terhadap Koran Tempo beberapa waktu lalu. Harian tersebut diminta membayar ganti rugi imaterial sebesar US$ 1 juta. Ini merupakan bagian dari peperangan terhadap pers yang sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini, tidak saja di Indonesia, tapi juga di negara lain.

Roh Moo-hyun, Presiden Korea Selatan, pernah melancarkan gugatan kepada empat koran di negaranya. Tiga di antaranya dikenal sebagai koran terbesar, yakni Chosun Ilbo, Joong Ang Ilbo, dan Dong A Ilbo. Gara-garanya adalah pemberitaan yang menuduh sang Presiden terlibat dalam bisnis real estate meski menggunakan nama saudaranya. Tidak tanggung-tanggung, Roh Moo-hyun menuntut ganti rugi US$ 1,7 juta. Jumlah ini, dalam dunia bisnis, bukanlah jumlah yang luar biasa. Tapi, dalam kasus media, tuntutan ganti rugi itu terbilang besar dan belum pernah terjadi. Implikasi dari tuntutan ganti rugi yang besar ini adalah menakut-nakuti pers agar mulai melakukan swasensor terhadap semua pemberitaannya. Kalau tidak, bersiaplah menghadapi gugatan karena pers tidak boleh terlalu berkuasa sehingga menjadi tyranny of the privileged press.

Dalam konteks Indonesia, banyak orang menuduh pers kita sudah kebablasan, sudah menjadi tirani, karena bisa membuat berita seenaknya tanpa memikirkan kerugian yang ditimbulkan akibat pemberitaan itu. Koran Rakyat Merdeka, misalnya, dituduh sebagai koran yang sangat "vulger" karena seenaknya menulis berita dengan judul yang sangat seram. Untuk satu berita yang judulnya Mulut Mega Bau Solar, koran Rakyat Merdeka sudah diseret ke pengadilan dan dijatuhi hukuman. Tidak dipikirkan bahwa judul itu adalah bahasa satire yang mencerminkan perasaan tidak senang terhadap naiknya harga bensin dan solar beberapa bulan lalu. Telinga orang Indonesia sekarang ini semakin tipis dan langsung marah kalau membaca berita yang tajam, keras, dan lugas. Saya kira kita perlu lebih rendah hati dalam membaca berita meski harus diakui bahwa tidak semua berita di pers itu akurat.

Di Amerika, sangat banyak pemberitaan pers yang "vulger" dan sangat keras. Kolumnis Paul Krugman, yang sering menulis di The New York Times, menggambarkan Presiden George W. Bush sebagai pembohong paling besar dalam sejarah Amerika. Begitu banyak kebohongan yang dibuat sehingga hitam dibilang putih dan atas dibilang bawah. Perang terhadap Irak saja dibangun dari teori yang penuh dengan kebohongan bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal, padahal ahli-ahli persenjataan Amerika sudah memperingatkan bahwa Irak tak memiliki senjata semacam itu. Namun Bush bersama sekutu utamanya, Blair, tetap saja melancarkan perang terhadap Irak. Kebohongan itu sekarang sedang dibongkar melalui suatu tim investigasi independen, yang membuat Bush semakin terpojok dan tak mungkin menyembunyikan kebohongannya. Tidak mengherankan jika Paul Krugman mengatakan bahwa tak pernah dalam sejarah kontemporer Amerika ditemukan kebohongan yang kasar seperti yang dilakukan Bush. Kata Krugman, "Certainly there is nothing in modern American history that resembles this." Tentu Bush sangat tersinggung, tapi Bush tidak mengambil langkah hukum untuk menggugat The New York Times dan Paul Krugman. Bayangkan kalau pers kita secara kasar menuduh Presiden Megawati sebagai pembohong besar. Aparat kepolisian dan kejaksaan tanpa diperintah mungkin sudah mengambil ancang-ancang menggugat pers. Sayang, kita telah semakin kehilangan sense of humor dalam keseharian kita.

Celakanya, pengadilan kita telah turut serta menabuh genderang perang terhadap pers. Barangkali para hakim sangat marah kepada pers karena pers sering sekali membuat berita yang membongkar kekotoran pengadilan, membongkar "mafia pengadilan". Jadi, pucuk dicinta ulam tiba. Tomy Winata mengajukan gugatan kepada pers. Para hakim, disetel atau tidak, menggunakan kesempatan ini untuk melampiaskan amarahnya kepada pers. Karena itulah lahir putusan yang sangat menusuk rasa keadilan terhadap perkara yang berpangkal pada pemberitaan Koran Tempo mengenai rencana Tomy Winata membangun sarana judi di Sulawesi Tenggara. Pemberitaan yang sudah memuat bantahan dari yang bersangkutan itu, yang sesungguhnya sudah cover both side, oleh majelis hakim dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dan penghinaan dan, karena itu, Koran Tempo mesti dihukum. Anehnya, hukuman yang dijatuhkan sangat berlebihan, yaitu menghukum Koran Tempo untuk membuat pernyataan maaf di sejumlah media nasional dan internasional, termasuk di media elektronik. Lalu ditambahkan lagi hukuman ganti rugi sebesar US$ 1 juta. Hukuman ini jelas sangat tidak proporsional karena pemberitaan harian tersebut jelas tidak dibaca secara sangat meluas, apalagi sampai ke luar negeri. Majelis hakim tampaknya tak paham benar tentang fungsi dan peran media dan, karena itu, seenaknya menjatuhkan vonis yang eksesif. Bagaimana kita menghormati putusan pengadilan kalau kecenderungan menghukum media secara berlebihan terus-menerus terjadi?

Perang terhadap pers tampaknya berlangsung dengan sistematis karena dalam kasus pidana, misalnya, perang itu dimulai pada proses pemeriksaan di kantor polisi. Pemeriksaan terhadap wartawan berlangsung sangat lama dan cenderung sudah dengan satu skenario yang sepertinya akan dipaksakan bahwa penghinaan dan fitnah sudah terjadi. Karena itu, pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, khususnya pasal 310, dapat diterapkan. Lalu pihak polisi juga sudah memeriksa sejumlah saksi ahli yang akan membenarkan skenario polisi. Di sini kita melihat politik penyidikan yang menggiring saksi ahli karena saksi ahli diperiksa hanya oleh penyidik polisi. Jadi, secara psikologis, saksi ahli tersebut sudah terkontrol oleh ruang pemeriksaan yang hanya dihuni oleh polisi. Kebiasaan ini seharusnya tidak diteruskan. Mengapa tidak memeriksa saksi ahli hanya pada proses persidangan, saat ada majelis hakim, jaksa penuntut umum, pengacara, dan terdakwa? Saya kira, secara psikologis, seseorang yang diperiksa hanya oleh polisi akan berbeda jika diperiksa oleh majelis hakim, jaksa penuntut umum, dan pengacara dalam sidang yang terbuka untuk umum. Saya menuliskan ini karena dalam pengalaman sering dijumpai penjelasan saksi ahli di depan persidangan berbeda dengan penjelasan di hadapan pihak kepolisian. Dalam kasus Tempo, kita menemukan hal ini karena kita melihat keterangan saksi ahli yang diperiksa oleh polisi sudah cukup diarahkan untuk membenarkan skenario penyidik kepolisian.

Kecenderungan perang terhadap pers ini tentu memprihatinkan, apalagi katanya ada beberapa proses hukum terhadap pers di daerah. Dengan maraknya pengaduan dan gugatan kepada pers, masyarakat pers harus mulai bersiap dan mengalokasikan porsi anggaran untuk membiayai pembelaan terhadap pers. Jangan berpikir bahwa proses hukum akan bisa diselesaikan secara amicable seperti yang terjadi dalam kasus The Washington Post versus TNI. Kebanyakan kasus pers tampaknya akan bermuara di pengadilan dan ini menuntut suatu disiplin pemberitaan yang ketat dan profesional asalkan saja ini tak diartikan sebagai swasensor. Sebab, jika swasensor yang terjadi, hak rakyat akan informasi yang akurat akan lenyap.

Kemajemukan sumber daya manusia di dalam tubuh pers kita tampaknya pada satu sisi dapat diartikan sebagai kekayaan, tapi pada sisi lain bisa berarti tak terhindarkannya kemajemukan berita yang secara subyektif datang dari diri wartawan sesuai dengan latar belakang dan ideologinya. Di sinilah peluang untuk terjadinya penghinaan (libel) dan fitnah (slander) tak lagi bisa dihindarkan. Lantas pers harus berhubungan dengan pengadilan.

Apakah ini suatu fenomena yang membahayakan? Saya cenderung menjawabnya "tidak" karena proses kehidupan berbangsa dan bernegara membutuhkan pers yang bebas, berani, dan kaya dalam informasi. Kebebasan pers kita masih dalam proses mencari format yang pas untuk mencerdaskan rakyat. Ketika rakyat kita lebih cerdas, gugatan terhadap pers akan semakin selektif dan gugatan model Tomy Winata yang dipecah empat tak mungkin lagi terjadi. Kalau Tomy Winata hanya ingin memberikan pelajaran kepada Tempo, satu gugatan yang diajukan kepada Tempo sudah lebih dari cukup. Tapi Tomy Winata menghukum Tempo dengan empat gugatan perdata dan dua kasus pidana. Tidak mengherankan jika banyak orang bertanya apa sesungguhnya yang dikehendaki oleh Tomy Winata. Apakah Tomy Winata serius ingin menghancurkan Tempo?

Di sinilah sebetulnya peran hakim menjadi sangat penting, yaitu menciptakan yurisprudensi hukum yang baru yang dapat dijadikan acuan bagi kasus pers masa mendatang. Sayang, banyak hakim yang tak memahami fungsi dan peran pers. Barangkali para hakim masih menaruh dendam pada pers yang kritis dan tajam mengkritik dunia peradilan. Barangkali para hakim sudah terjebak dalam mata rantai "mafia pengadilan" yang bersambungan dengan "mafia" di luar pengadilan. Kalau ini yang terjadi, perjuangan pers dalam "perang" ini memang menjadi sangat berat karena pers dimusuhi oleh banyak kalangan. Akibatnya, pers kita akan lebih sebagai industri yang tak banyak andilnya dalam memberikan informasi cerdas dan kritis kepada rakyatnya. Pers semata-mata adalah bisnis.

Betapa mengerikan keadaan yang kita hadapi karena pers, yang dalam buku pelajaran sering dikategorikan sebagai the fourth estate, akhirnya tak bermakna banyak. Reformasi politik, ekonomi, hukum, dan budaya yang kita perjuangkan sekarang ini akan menemukan jalan buntu. Tapi tentu pers tidak boleh menyerah karena perang ini masih panjang. Para pejuang negeri ini akan menangis kalau melihat pers kita yang semakin tumpul dan terjerembap menjadi hamba sahaya pemegang kekuasaan dan pemilik modal. Karena itu, teruslah berjuang karena kalah dalam pertempuran bukan berarti kalah dalam peperangan. Buktikan bahwa pers tetap tegar sebagai bagian dari gerakan yang akan menciptakan Indonesia yang lebih baik dari Indonesia hari ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus