Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Musim Semi Bunga Ceri

22 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cyrillus Harinowo *) Staf pengajar Pascasarjana Fakultas Ekonomi UI

MENJELANG April, penduduk Washington dan sekitarnya senantiasa menunggu saat putik-putik bunga ceri mulai menyembulkan kuntumnya. Layaknya sebuah ritual, stasiun televisi setempat akan mewawancarai ahli yang bisa memprediksikan kapan kuntum bunga ceri tersebut mencapai puncak kemekarannya. Pada masa itulah datangnya musim semi, sebagaimana tergambarkan dari kuntum bunga ceri berwarna merah jambu yang sangat indah yang dikenal dengan cherry blossom, yang dirayakan dengan festival dan berbagai acara lain yang sangat meriah.

Kawasan pepohonan bunga ceri tersebut semula terpusat di daerah pengendalian banjir Washington, DC (Tidal Basin), yang antara lain meliputi Monumen Jefferson dan kawasan pinggiran Sungai Potomac. Namun, dengan berjalannya waktu, pohon ceri akhirnya menyebar ke banyak tempat, termasuk di halaman depan rumah saya sendiri di Maryland.

Pepohonan bunga ceri tersebut bukanlah tanaman asli Amerika Serikat, melainkan hadiah persahabatan dari Kaisar Jepang Yoshihito pada 1912. Setelah melalui persiapan beberapa tahun, akhirnya penanaman resmi pohon tersebut dilakukan oleh First Lady Mrs. William Taft dan Putri Chinda, istri Duta Besar Jepang di Washington waktu itu.

Musim yang cocok dan pemeliharaan yang baik membuat pepohonan ceri itu berkembang bagus di kawasan tersebut. Bahkan, menariknya, suatu ketika juga pernah terjadi "arus balik", yakni ketika pepohonan sakura di Jepang terserang penyakit sehingga pemerintah Amerika mengirimkan bibit-bibit baru yang mereka kembangkan di Washington.

Memang benar bahwa bunga ceri tidak lain adalah bunga sakura yang dikenal keindahannya di Jepang, yang selama berabad-abad menimbulkan inspirasi bagi para seniman untuk mengabadikannya dalam karya mereka. Keindahan itu akhirnya juga bisa dinikmati di negara lain yang jauh dari tempat asalnya.

'Bunga Sakura' Dunia Usaha Jepang

Pengalaman "penanaman bunga sakura di kawasan Washington" itu juga terjadi di kalangan dunia usaha Jepang. Sudah tentu alasan mereka lebih didasari kepentingan bisnis dan bukan kepentingan "persahabatan". Pada 1970-an, sewaktu industri Jepang seakan merajai dunia, tekanan kepada negara tersebut oleh lawan (sengaja tidak saya sebut sebagai "mitra") dagang mereka semakin lama kian keras. Dalam industri mobil, misalnya, ekspor mobil dari Jepang yang meningkat pesat akhirnya diganjal oleh apa yang disebut pembatasan ekspor sukarela (voluntary export restraint), yang membatasi ekspor mereka dalam jumlah tertentu. Pembatasan ini membuat perkembangan industri otomotif Jepang tertahan, sehingga sebagai jalan keluarnya industri otomotif Negara Matahari Terbit tersebut merencanakan investasi pabrik barunya di negara-negara yang menjadi pasar mereka. Jadilah Toyota, Nissan, dan Honda melakukan investasi pabrik mobil baru mereka di berbagai kota di Amerika, Inggris, dan negara lainnya. Dengan langkah tersebut, terbentuknya Pakta Perdagangan Amerika Utara (NAFTA) dan kebijakan proteksi lainnya tidak lagi menjadi penghalang perkembangan industri otomotif Jepang, tapi bahkan membuat mereka semakin berkembang.

Ekspansi ekonomi Jepang akhirnya juga diganjal melalui kesepakatan nilai tukar yang disebut Plaza Accord (yaitu kesepakatan oleh negara-negara Kelompok 5 di Hotel Plaza, New York, pada September 1986). Kesepakatan tersebut akhirnya menghasilkan fenomena yendaka, yaitu mata uang yen yang kuat hingga menggerogoti daya saing dunia usaha Jepang. "Pengiriman bunga sakura" akhirnya berlangsung dalam intensitas yang semakin tinggi. Jepang melakukan restrukturisasi industri yang sangat masif melalui investasi besar-besaran di luar negeri.

Kawasan Asia Pasifik merupakan destinasi penting investasi Jepang karena dianggap memiliki struktur biaya produksi yang masih murah, sehingga akhirnya muncul negara-negara industri baru atau yang disebut "Asian Tigers", yaitu Korea, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura. Perkembangan kawasan industri ini akhirnya meluas hingga meliputi juga Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Cina akhirnya juga cepat mengejar. Konstelasi inilah yang akhirnya disebut sebagai arakan Kawanan Angsa Terbang (Flying Geese), dengan Jepang berada di depan, sedangkan empat negara industri baru di belakangnya, diikuti tiga negara Asia Tenggara dan Cina.

Sayang, "bunga sakura" di Jepang akhirnya juga terkena penyakit. Perekonomian Jepang mengalami pecahnya gelembung ekonomi dan selama lebih dari 10 tahun Jepang harus merangkak dalam resesi ataupun pertumbuhan ekonomi yang rendah. Pemerintahan Jepang datang dan pergi, tapi perekonomian tidak juga sempat bergerak. Sementara itu, "bunga sakura" (dalam bentuk pabrik Toyota dan semacamnya) yang menjadi pohon ceri di Amerika ataupun di mana saja di dunia justru semakin berkembang sehat. Perusahaan mereka semakin besar, keuntungan pun naik berlipat ganda.

Akhirnya muncullah fenomena "dikotomi" antara dunia usaha Jepang dan perekonomian Jepang sebagai negara. Dunia usaha Jepang secara global berkembang dan mengalami keuntungan besar, sedangkan perekonomian Jepang sendiri sebagai negara justru mengalami resesi. Ini suatu hal yang ironis karena pertumbuhan ekonomi Jepang yang dulu sangat tinggi akhirnya telah "diekspor" menjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara-negara lain tempat dunia usaha Jepang melakukan investasi.

Masyarakat Jepang rasanya harus bersyukur memiliki pemimpin baru, yaitu Perdana Menteri Koizumi. Di tangan dialah akhirnya berbagai masalah yang dihadapi pemerintah Jepang dapat diurai satu per satu. Perkembangan terakhir bahkan menunjukkan mulai terjadinya "arus balik", yaitu adanya investasi baru di dalam negeri Jepang. Perekonomian Jepang memang baru akan merasakan gairah baru jika dunia usaha mereka mau melakukan investasi kembali di Negara Matahari Terbit tersebut dan bukannya stimulus fiskal yang di masa lalu banyak dilakukan. Dan pelan-pelan "penanaman kembali pohon bunga sakura" itu sudah terjadi di Jepang saat ini. Fenomena baru inilah yang kini menumbuhkan optimisme baru bukan hanya di Jepang, melainkan juga dalam perekonomian global.

Bunga Sakura ala Indonesia

Fenomena bunga sakura tersebut juga terjadi di Indonesia, meskipun dalam skala dan intensitas berbeda. Sayangnya, hal itu terjadi sebelum pepohonan di Indonesia itu tumbuh subur.

Kita memahami, dengan maraknya perekonomian Indonesia di paruh pertama 1990-an, banyak pihak di dunia usaha Indonesia akhirnya mencoba peruntungan di luar negeri. Sebagian didorong oleh keyakinan diri yang semakin besar, sebagian lagi didorong berlimpahnya likuiditas di perusahaan mereka di Indonesia, sementara yang lain melakukannya sebagai "tanda bakti" kepada tanah leluhur.

Apa pun alasannya, investasi yang dilakukan dunia usaha Indonesia di luar negeri mengalami peningkatan yang cepat. Cina jelas merupakan tujuan investasi paling penting sebagaimana banyak dilakukan grup besar, yang akhirnya sebagian terperangkap dalam krisis utang yang sangat masif. Bahkan banyak pula pengusaha yang tidak banyak dikenal melakukan pembangunan properti skala besar di Shanghai ataupun tempat lain di luar negeri. Singapura, Vietnam, Thailand, dan Australia merupakan pula destinasi penting investasi dunia usaha Indonesia di luar negeri. Bahkan akhirnya beberapa negara di Afrika pun menerima limpahan investasi dunia usaha Indonesia.

Secara tak sengaja saya bahkan pernah mengunjungi satu pabrik pakaian jadi milik pengusaha Indonesia di Fiji. Sungguh luar biasa karena Fiji hanyalah negara kepulauan kecil di tengah Samudra Pasifik selatan. Keberadaan investasi Indonesia tersebut justru saya ketahui dari Menteri Keuangan Fiji dalam resepsi menyambut delegasi kami dari bank sentral se-Asia Tenggara di negara tersebut.

Dari fenomena ini, ada suatu kontras antara dunia usaha Indonesia dan Jepang. Kita banyak mengetahui, investasi Jepang di seluruh dunia berlangsung dengan baik dan mengalami perkembangan cukup subur. Sementara itu, kita tidak mengetahui nasib miliaran dolar investasi yang dilakukan dunia usaha Indonesia di luar negeri. Rasanya tidak mudah mendata keberadaan mereka sehingga akhirnya lebih mirip misteri. Yang pasti, saya mendengar kabar, investasi Indonesia di Fiji itu mengalami mati suri.

Beberapa hari lalu, harian Ibu Kota memberitakan bahwa satu perusahaan terbuka kita sedang merencanakan investasi di Vietnam. Investasi ini merupakan yang kedua setelah mereka berhasil melakukan "turn-around" sebuah perusahaan plastik yang nyaris bangkrut di Thailand. Sudah tentu hal ini merupakan fenomena "bunga sakura" baru setelah beberapa lama kita tidak mendengarnya.

Tapi, pada saat banyak orang menunggu lapangan kerja baru di Indonesia, rencana investasi perusahaan tersebut di Vietnam sungguh mengusik hati nurani kita. Ini tentunya berbeda dengan dunia usaha di Jepang, yang dalam situasi akan lebih menguntungkan melakukan investasi di luar negeri memutuskan melakukan investasi kembali di negara mereka sendiri. Pada akhirnya kepedulian mereka atas masa depan negara merupakan faktor penting yang mendasari keputusan investasi mereka. Perusahaan pada akhirnya bukan merupakan institusi yang mati, melainkan digerakkan oleh orang yang memiliki hati nurani.

Untungnya kita mengetahui bahwa tidak semua pengusaha Indonesia berpikir seperti itu. Sebaliknya, fenomena lain pun mulai bermunculan, yaitu adanya arus balik untuk kembali melakukan investasi di Indonesia. Sebuah bank Indonesia baru-baru ini menjual anak perusahaannya di Cina dan menanamkan kembali uangnya untuk keperluan ekspansi bagi bank induknya di Indonesia. Pasar modal Indonesia juga kembali diwarnai hadirnya banyak pemain asing, yang sebagian ditengarai asal Indonesia. Di kalangan dunia usaha Indonesia juga muncul satu fenomena baru, yaitu keengganan menggunakan kredit perbankan dan lebih mengutamakan sumber dana lain yang mereka miliki. Bahkan berkembang cerita di kalangan dunia usaha tawaran-tawaran penggunaan dana "antarteman" dengan bunga hanya satu persen satu bulan.

Apa pun indikasinya, tampaknya sebagian dana dunia usaha Indonesia yang ditanamkan di luar negeri sudah menunjukkan tanda pulang kandang. Jika Pemilu 2004 berhasil melahirkan pemerintahan yang kredibel, bukan tidak mungkin arus balik tersebut akan membesar. Ini tentunya sangat penting untuk meneguhkan optimisme yang sudah mulai terbangun. Jika hal ini benar, saya menjadi makin yakin akan prediksi salah satu tokoh bisnis Indonesia yang mengatakan bahwa tahun 2004 ini akan lebih baik dari 2003, sedangkan pada 2005-2009 kita akan mengalami "boom" kembali. Saya selalu percaya optimisme semacam ini, jika dimiliki banyak pihak, akan menjadi kenyataan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus