Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penangkapan Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun kembali menunjukkan bahwa proyek reklamasi tak hanya kontroversial, tapi juga rawan menjadi bancakan. Komisi Pemberantasan Korupsi harus membongkar kasus suap ini sampai ke akar-akarnya.
Tim KPK menangkap politikus Partai NasDem itu dan lima pelaku lain pada 10 Juli lalu. Penyidik menyita uang Sin$ 6.000 yang diduga suap untuk memuluskan perizinan serta penguasaan eksklusif atas lahan hasil reklamasi. Modusnya mirip dengan kasus suap reklamasi Teluk Jakarta. Bedanya, di Kepulauan Riau, yang tertangkap lebih awal adalah pejabat eksekutif, bukan legislatif.
Di bawah kepemimpinan Nurdin, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau mengebut proyek reklamasi di Pulau Batam, Bintan, Nipah, dan Karimun. Proyek yang paling kontroversial adalah reklamasi Gurindam 12 di Tanjungpinang, Pulau Bintan. Proyek ini tak masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kepulauan Riau 2016-2020. Namun, begitu Nurdin menjabat, proyek ini langsung menjadi prioritas untuk periode 2018-2020.
Reklamasi Gurindam 12 bukanlah kebutuhan yang mendesak. Di Kepulauan Riau, lahan kosong terbentang luas di banyak tempat. Kepadatan penduduk Kepulauan Riau hanya 253 jiwa per kilometer persegi. Bandingkan dengan Jakarta yang kepadatan populasinya di atas 15 ribu jiwa per kilometer persegi.
Proyek reklamasi amat rawan korupsi karena anggarannya yang superjumbo, dengan perhitungan yang susah dipahami awam pula. Anggaran reklamasi Gurindam 12 seluas 15 hektare mencapai Rp 886 miliar. Ini besar pasak daripada tiang. Sebab, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2019 Kepulauan Riau hanya Rp 3,6 triliun.
Pantas saja bila beberapa fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kepulauan Riau sempat menolak proyek yang diprediksi membuat defisit APBD sekitar Rp 500 miliar itu. Anehnya, Dewan akhirnya menyetujui proyek reklamasi dengan memangkas anggaran di berbagai dinas.
Ketimbang dipakai untuk proyek reklamasi yang hanya menguntungkan segelintir orang, anggaran ratusan miliar rupiah itu seharusnya digunakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hingga Maret lalu, tercatat 131 ribu orang yang hidup di bawah garis kemiskinan di Kepulauan Riau atau sekitar 6,2 persen penduduk provinsi itu.
Di samping menyuap gubernur dan pejabat lain, pengembang reklamasi diduga mencampuri pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Pulau-Pulau Kecil di DPRD. Tujuannya antara lain agar sejumlah titik pantai yang semula merupakan wilayah konservasi bisa diuruk untuk perluasan daratan.
Dengan bau amis yang telanjur menguar, pembahasan rancangan peraturan daerah di DPRD itu harus dihentikan. Selanjutnya, pemerintah pusat perlu melakukan moratorium semua proyek reklamasi di Kepulauan Riau, seperti ketika korupsi reklamasi Teluk Jakarta terbongkar. Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus bergegas mengevaluasi semua izin serta analisis dampak lingkungannya. Segala penyimpangan, sekecil apa pun itu, tak boleh ditoleransi.
Pengusutan korupsi proyek reklamasi Kepulauan Riau tak cukup hanya dengan menyeret pejabat lokal ke pengadilan. Proyek berskala besar seperti reklamasi kemungkinan besar terhubung dengan jaringan elite politik dan pengusaha di Jakarta. Untuk itu, penyidik KPK harus lebih gigih membongkar peran aktor yang lebih besar dalam perkara ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo