Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Ming

Tipe seorang tiran lewat tokoh ming dalam komik flash gordon karya ales raymond hanya ada dalam cerita fantasi. tak ada bangsa di dunia ini yang mampu berkuasa mutlak dalam kurun waktu lama.(ctp)

27 April 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FLASH Gordon terbang dari planet ke planet. Matanya biru, kulitnya putih, rambutnya pirang terang. Flash Gordon terbang dari planet ke planet, dan dialah sang pembebas antariksa. Dialah si "baik". Dan dalam komik termasyhur karya Alex Raymond ini, sebagaimana seharusnya wiracarita klasik atau modern, tentu harus ada si "jahat". Tokoh mahadahsyat untuk peran ini adalah Ming. Ming, maharaja planet Mongo, merupakan tipe sempurna seorang tiran yang sering kita dengar dalam sejarah bumi. Ia memerintah mutlak, sewenang-wenang, dan licik. Rakyat diinjak dan dibungkam. Agaknya, imajinasi, dalam hal ini, tak berangkat dari ruang hampa. Pada akhirnya memang, kisah fantastis ini berangkat dari prasangka-prasangka orang Amerika, orang Barat, yang - apa boleh buat - tampaknya berakar kukuh di kesadaran. "Ming": nama itu berdering sebagai sesuatu dan Timur yang jauh. "Mongo": dengan mudah kita teringat akan Mongol - sebuah nama yang, bagi Raymond dan rata-rata orang Barat, tak menunjuk ke suatu negera tertentu, melainkan bangsa tertentu, yang tidak pirang, tak berkulit putih, tak bermata biru. Flash Gordon diciptakan Raymond dan muncul pada tahun 1934. Di tahun 1980, seorang komentator dari Prancis - tempat cerita komik pun dibahas secara serius -mengulas soal "organisasi politik dan masyarakat Mongo". Setelah menguraikan kehidupan di bawah tirani planet itu, sang komentator, Edouard Francois, menyimpulkan: " . . . pasti bukan tanpa alasan Alex Raymond menamakan planet itu Mongo, penguasa tertingginya Ming, dan melukiskan penghuninya sedikit berwarna kuning dan wajahnya bercorak Asia." Sebab, Mongo adalah "sebuah tirani oriental", dan Ming - dengan kebuasan dan kecurangannya - telah menunjukkan adat "keraton Mongol ". Singkatnya, Timur adalah ketidakbebasan, kekuasaan mutlak, kesewenang-wenangan. Sebaliknya, Barat: kemerdekaan, kemanusiaan yang penuh. Dan tentu saja kita ingat Wittfogel: ia menyebut kekuasaan yang absolut dalam sejarah manusia sebagai "despotisme timur". Tapi, sebagaimana umumnya purbasangka - dengan teori tentang ras dan "nilai-nilai budaya" - anggapan sejenis itu menyesatkan, ketika harus berhadapan dengan kenyataan. Diperlukan tidak sekadar warna kulit, bentuk wajah, dan pandangan hidup, untuk membuat seorang penguasa menjadi despot yang absolut. Atau sebaliknya. Contoh yang penting dapat dilihat dalam sejarah Jawa. Mereka yang menyangka bahwa raja Jawa adalah seorang Ming biasanya mengambil sumbernya dari Amangkurat I, yang memerintah Mataram, menggantikan Sultan Agung, tahun 1646-1677. Memang, Amangkurat yang satu ini mengerikan. Ia pernah memerintah bunuh secara masal 5.000 sampai 6.000 orang, pria, wanita, anak-anak, di alun-alun. Tugas berdarah itu diselesaikan dalam waktu setengah jam. Tapi kita tahu apa akibat cara memerintah dengan pembunuhan-pembunuhan itu. Pemberontakan besar meletus, dan sang susuhunan lari, untuk mati di sebuah tempat yang jauh. Karena itulah, dalam Babad Giyanti Pangeran Mangkubumi mengkritik tindakan kakaknya, Pakubuwana 11, yang pada tahun 1743 memutuskan sendiri untuk menyewakan daerah pesisir kepada VOC. "Tidakkah Paduka ingat," katanya lirih, "bahwa kewajiban seorang raja adalah hanya bertakhta?" Punapa tan kaenge-an, lamun jenenging Narpati, mung darma mengku kewala? Dalam konsep ini, kekuasaan mengatur negeri, bangbang lumalum ing nagri, berada di pundak patih, para nayaka, dan tumenggung. Tiap keputusan penting seharusnya dimusyawarahkan dengan para pembesar lain. kesalahan Amangkurat 1, yang oleh Babad Tanah Jawi juga diakui sebagai melanggar adat. Dan itu pula kesalahan Pakubuwana II, hingga akhirnya Mangkubumi pun berontak. Dan itulah kesalahan pejabat Belanda seperti Gubernur Jenderal G.W. van Imhoff, seperti disinggung oleh karya Sejarawan M.C. Ricklefs tentang Yogyakarta antara tahun 1749 dan 1792: sang susuhunan dalam kenyataannya bukanlah seorang raja dengan kuasa mutlak. Tapi siapa tahu orang Belanda, khususnya Van Imhoff, terlalu banyak membaca risalah Barat tentang raja-raja Timur. Siapa tahu studi mereka hanya sampai pada Machiavelli. Pemikir politik Italia ini pernah membandingkan penguasa Turki dengan penguasa Prancis. Yang pertama, kata Machiavelli, penguasa tunggal. Yang kedua seorang raja yang dlkelilingi banyak orang besar, para feodal yang tak bisa ia habisi kekuasaannya tanpa menimbulkan kesulitan. Mungkin Machiavelli benar, untuk masanya. Tapi kiranya tak ada bangsa yang tetap, dengan susunan yang sama, berabad-abad. Prancis, di bawah Louis XIV, sang "Raja Matahari", justru menjadi monarki absolut. Turki, pada akhir abad ke-18, berubah. Seorang duta Prancis, Choiseul-Gouffier mencatat di tahun 1786 bahwa lain Prancis lain Turki - tapi kebalikan dari yang dikatakan oleh Machiavelli. Maka, di manakah Ming menetap ? Di manakah ia abadi - kecuali dalam sebuah cerita fantasi? Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus