INI bukan dongeng. Di seluruh perkebunan yang ada di Malaysia seluas 4,2 - juta ha, lebih gampang ditemukan tenaga kerja Indonesia daripada Malaysia. Hitung saja Serikat buruh perkebunan Malaysia punya 120.000 anggota, 800 di antaranya warga negara Indoncsia. Lalu ada sekitar 500.000 tenaga kerja kita yang masuk secara gelap ke sana. Maka, tiap seorang buruh Malaysia setidaknya didampingi empat buruh Indonesla. Karena itu, bisa dimengerti adanya pembatalan rencana pemulangan 20.000 buruh gelap Indonesia di Malaysia, pekan lalu. Para pengusaha perkebunan Malaysia berkeberatan: bisa-bisa produksi minyak sawit dan karet menurun. Padahal, 23% nilai ekspor negara tetangga itu diperoleh dari hasil perkebunan. Sebenarnya ini cerita lama. Sudah sejak tahun 1950-an ada orang Indonesia yang mencari kerja di Malaysia tanpa lewat pintu resmi. Tapi baru tiga-empat tahun lalu imigran gelap Indonesia ke Malaysia meningkat. Sebabnya, memang ada kekurangan buruh perkebunan - dan buruh bidang konstruksi - di sana. Ini ditandai antara lain olch produksi perkebunan yang menurun. Pada 1981, misalnya, produksi karet menurun senilai 28 juta ringgit (1 ringgit=sekitar Rp 440) dan kelapa sawit menurun 46 juta ringgit, kata Mohamed Salleh, Deputi Sekjen Kementerian Dalam Negeri Malaysia, kepada TEMPO. Dan lewat satu kerja sama penelitian oleh Kementerian Perburuhan dan Industri Primer pada awal 1980-an, kekurangan pekerja itu memang terbukti. Tapi tentu, yang diharapkan oleh Malaysia bukanlah "pendatang haram". Dan bila Mei tahun lalu diteken perjanjia penyediaan tenaga kerja Indonesia oleh Menteri Tenaga Kerja Sudomo dan Wakil Perdana Menteri Datuk Musa Hitam (TEMPO, 19 Mei 1984), memang ada sebabnya. Yakni, makin seringnya pihak polisi dan imigrasi Malaysia menangkap pekerja Indonesia di sana tanpa surat-surat resmi. Lain daripada itu, memang ada juga protes dari para buruh Malaysia sendiri karena pendatang haram menyebabkan upah buruh menurun. Ini tak berarti bahwa Malaysia, yang kini berpenduduk 15,8 juta jiwa, kekurangan orang. Di Kementerian Buruh dan Tenaga Rakyat kini tercatat 60.000 warga Malaysia mencari pekerjaan. "Tapi orang Malaysia hanya mau bekerja di kota." kata Tun Tan Siew Sin, presiden Asosiasi Perkebunan Malaya. Itu sebabnya, meski diancam denda atau kurungan, para pengusaha perkebunan tetap nekat memakai pendatang haram, katanya. Upah di perkebunan Malaysia memang terhitung lumayan. Pemetik kelapa sawit, misalnya, dibayar 15 ringgit per hari, atau 390 ringgit per bulan dengan 26 hari kerja. Jumlah itu lebih besar daripada gaji pekerja kantor yang hanya 250 ringgit per bulan. Tapi pihak Serikat Buruh Perkebunan Nasional (Malaysia, tentu saja) membantah. Bukannya pekerja Malaysia tak mau masuk pelosok, tapi karena upah di perkebunan terlalu rendah dengan fasilitas yang minim pula. Konon, standar upah yang dituntut Serikat Buruh 30 ringgit per hari. "Kalau mereka tak mau kerja, mengapa banyak buruh Malaysia kerja di hutan-hutan Brunei dan Kalimantan," kata Kunasekaran Nachiappan, juru bicara Serikat Buruh itu. Karena posisi mereka, pekerja gelap Indonesia terpaksa menerima upah yang rendah itu, tambahnya. Cuma, tak disebutkannya berapa jumlah buruh Malaysia di Brunei dan Kalimantan, dan mengapa 60.000 pencari kerja tak melamar kerja ke dua daerah itu. Yang kemudian diceritakan oleh Kunasekaran ialah kisah sedih yang dialami sekitar 100 pendatang haram dari Indonesia. Mereka dikirimkan oleh sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja di Bandung, Indonesia. Konon, mereka semua mendaftar untuk kerja di Arab Saudi. Tapi dikirim ke Malaysia. Katanya, untuk latihan kerja. Tak tahunya, kemudian dimasukkan ke perkebunan kelapa sawit di Keratong, Johor. Maka, tragedi pun mulai. Mereka disuruh memetik kelapa sawit, per tandan dibayar cuma 9 sen. Memang mereka ditempatkan di perumahan perkebunan tanpa bayar. Tapi, warung makan yang ada memasang harga tinggi. Sementara itu, kalau jatuh sakit, harga obat dipotongkan kc upah. Mereka bekerja dari matahari terbit hingga matahari terbenam di daerah yang jauh dari keramaian itu.Lari? Selain paspor dipegang pihak perkebunan, ada pula centeng-centeng yang siap menangkap dan menghajar mereka. Memang tak semua perusahaan melakukan pemerasan seperti itu. Yang diketahui Kunasekaran, bila pihak perkebunan mencari tenaga kerja, biasanya menyerahkannya kepada kontraktor. Pihak perkebunan cuma tahu beres. Bukan cuma di saat kontrak awal, tapi ternyata selama para buruh itu bekerja hubungan dengan pihak perkebunan selalu lewat kontraktor, dari upah dan pembagian kerja sampai laporan sakit. Para kontraktor itulah yang lalu main peras. Susahnya, kata K. Mariasoosai, sekjcn Scrikat Buruh Perkebunan, "Bila mereka tak menjadi anggota kita, sulit kita mau membelanya " Apalagi bagi yany datang "naik samping" - istilah Malaysia untuk pendatang haram. Repotnya lagi, perjanjian Medan, Mei tahun lalu, ternyata belum efektif. Baru sekitar 100 pekerja Indonesia dikirimkan sebagai percobaan empat bulan lalu. Ditambah, 100 lagi belum lama ini. Tapi jumlah itu masih jauh bila dibandingkan dengan 20.000 imigran gelap yang mau dipulangkan, apalagi dibandingkan dengan jumlah keseluruhan tenaga kerja Indonesia yang datang "naik samping" kesana. Padahal, perjanjian itu benar-benar untuk keuntungan pekerja itu sendiri. Misalnya dijamin pekerjaan sesuai dengan kemampuan. Upah merupakan hasil perjanjian kedua belah pihak - buruh dan pemilik perkebunan - tapi pemerintah Malaysia akan ikut mengawasi, kata Deputi Sekjen Kementerian Dalam Negeri Malaysia. Bisa diduga, sebelum kebutuhan pekerja perkebunan di Malaysia tercukupi Iewat perjanjian Medan, masih akan tetap banyak orang Indonesia yang "naik samping" ke Malaysia. Dua pihak saling membutuhkan: pemilik perkebunan dan orang-orang yang mencari upah - menurut gambaran mereka - yang layak. Sayangnya, masalah ini dicampuri pihak taikong atau calo atau kontraktor tenaga kerja yang suka mengambil kesempatan. Dan masalah ini memang hanya menyangkut pekerja Indonesia. Para pekerja dari lain negara Asia Tenggara, Muangthai misalnya, biasanya lewat pintu resmi - dan mereka memang tak sebanyak pencari kerja dari Indonesia. Bmabang Bujono Laporan Ekram Attamimi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini