Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMENTERIAN Energi dan Sumber Daya Mineral wajib menyelesaikan perselisihan Pertamina dan PT Adaro Energy di Lapangan Tapian Timur, Blok Tanjung, Kalimantan Selatan. Pegangan Kementerian dalam bertindak sesungguhnya gamblang diatur Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara: memihak kepentingan bangsa. Konsumsi minyak Indonesia jauh melebihi produksi dalam negeri, maka Kementerian semestinya membela setiap usaha meningkatkan produksi minyak nasional. Penambangan batu bara bisa menunggu.
Seandainya Kementerian berpegang teguh pada aturan tersebut, gesekan kedua perusahaan yang bermula pada 2010 itu tak perlu terjadi. Ketika itu, Pertamina mengoperasikan puluhan sumur minyak di Tapian dengan menggeber upaya maksimalisasi sumur-sumur tua untuk menambah produksi. Ternyata kawasan itu juga merupakan lahan kuasa pertambangan batu bara milik PT Adaro. Sikap Kementerian yang kurang jelas membuat persoalan tumpang-tindih itu tak kunjung selesai.
Pertamina berulang kali meminta Kementerian serta Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) turun tangan. Rombongan pejabat hilir-mudik datang ke lokasi. Toh, keputusan tegas tak juga keluar.
Patut disesalkan, dalam ketidakjelasan itu, Adaro memilih terus beraksi. Tanah di Lapangan Tapian Timur itu terus digali seiring dengan melajunya permintaan batu bara. Akibatnya, pipa sumur-sumur minyak tua Pertamina itu tampak merana seperti tiang-tiang pancang tanpa tanah yang menopang sekeliling sumur.
Langkah Adaro itu berisiko mengganggu produksi minyak di Tapian. Padahal revitalisasi sumur tua ini vital demi menggenjot target perolehan minyak nasional. Sumur Tapian yang semula hanya menghasilkan 300 barel minyak per hari, dengan program maksimalisasi, ditargetkan mengucurkan 700 ribu barel. Selanjutnya, awal tahun depan, produksi Tapian diharapkan menembus seribu barel sehari. Target ini mungkin saja tak tercapai jika perselisihan Pertamina dengan Adaro berkepanjangan.
Pertamina dan Adaro sama-sama beralasan bahwa eksplorasi yang dilakukan di Tapian demi menjaga stabilitas pasokan energi. Secara teknis, eksplorasi batu bara lebih gampang ketimbang minyak. Mungkin itu sebabnya tim teknis yang dibentuk Kepala Biro Hukum Kementerian Energi merekomendasikan agar pemerintah mendahulukan pengerukan batu bara Adaro. Produksi minyak Pertamina diminta sabar menunggu.
Ada yang aneh dalam surat tim teknis itu. Pertama, menurut undang-undang, Menteri Energi Jero Wacik seharusnya mewakili pemerintah dalam penyelesaian konflik ini dan tidak menyerahkan urusan kepada pejabat menengah. Kedua, pertimbangan tim teknis yang tidak berpihak pada kepentingan ekonomi nasional patut dipertanyakan. Tim teknis seakan-akan tak mempedulikan pelemahan kurs rupiah terhadap dolar, yang bakal membuat beban subsidi pemerintah atas bahan bakar minyak semakin berat. Tim tak pula menggubris ketegangan di berbagai kawasan dunia yang membuat harga minyak mentah dunia meroket hingga di atas US$ 100 per barel.
Sepak terjang Kementerian Energi dalam kasus ini layak mendapat perhatian serius, misalnya dari Dewan Perwakilan Rakyat. Di tengah ekonomi dunia yang bergejolak, semua pihak semestinya mengamankan target perolehan minyak nasional, agar beban subsidi bahan bakar pemerintah bisa berkurang. Merupakan tanda tanya besar bila Menteri tidak memberikan prioritas pada revitalisasi sumur-sumur tua di Tapian itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo