Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sopir adalah bagian yang dilupakan dari modernitas di tengah kita. Andai kita di Yogyakarta di awal tahun 1930-an, kita akan sadar bahwa dunia modern telah didatangkan—secara fisik, tapi sekaligus juga sebagai sebuah alegori—dalam bentuk jalan aspal yang lurus. Para sopir adalah pelaku di dataran baru itu.
Di awal tahun 1930-an itu, para sopir Yogyakarta menerbitkan majalah: Sopir. Saya tahu tentang ini berkat Rudolf Mrazek. Dalam Engineers of Happy Land—sejarah masuknya teknologi ke kehidupan Indonesia—sejarawan Cek itu menyusun sebuah montase dengan pernik-pernik hasil penelitian yang menarik, dan menjadikan bukunya serangkai corat-coret tentang hal penting dan tak penting yang terkait secara tak disangka-sangka: para sopir, jalan aspal, pembuatan peta, perekaman sidik jari, jalan kereta api, gaya arsitektur—dan lain-lain jejak kekuasaan kolonial dan modernisasi.
Ada sebuah kata yang jadi penting: "gerakan". Atau "pergerakan", kata yang dikenal sejak 1914, sejak Mas Marco Kartodikromo menerbitkan surat kabar Doenia Bergerak. Di awal 1930-an itu, "gerakan" atau "pergerakan" tampaknya bisa punya arti kiasan tapi juga harfiah.
Jalan-jalan modern dan rel kereta api, tulis Mrazek, adalah pembuluh darah dan urat nadi "gerakan". Di sanalah terpusat "pedih dan pengharapan" dari "gerakan" itu….
Para sopir Yogya itu misalnya. Mereka mendirikan Persatoean Chauffeur Mataram (PCM). Seperti organisasi lain sebelumnya—Boeroeh Bergerak (1920) dan Ra'jat Bergerak (1923)—para sopir hendak menyatakan diri. Dalam majalah Sopir, menurut catatan Mrazek, ada dua kata yang sering muncul: "kesopiran" dan "kebangsaan".
Di masa itu, mayoritas sopir adalah "bangsa Indonesia" (waktu itu artinya praktis sama dengan "orang bumiputra"). Dulu orang Belanda dan "orang Cina" mau jadi pengemudi, ketika gaji masih tinggi. Tapi menurut artikel yang berjudul "Nasib kaoem Sopir", martabat pekerjaan ini merosot. Tak banyak lagi orang Belanda dan "orang Cina" yang melakukannya. "Bangsa Indonesia" pun akhirnya pegang "monopoli".
Dalam keadaan itu, mereka menjual kerja mereka, di sebuah dunia di mana teknologi dan kekayaan berkuasa. Kaum Marxis akan menjadikannya bukti bahwa para sopir itu—bagian dari proletariat—berbeda dengan petani di udik; mereka membentuk organisasi modern. Tapi ada yang tampaknya tak mengikuti teori itu: proletariat ini (setidaknya para sopir Mataraman) tak akan jadi pelopor revolusi.
Ada yang tak disebutkan Mrazek secara eksplisit: PCM (dan mungkin juga HCM, Himpoenan Chauffeur Minangkabau) adalah organisasi konservatif. Mereka membuat "gerakan", tapi makna politik kata itu bertentangan dengan "gerakan" dalam arti mekanik.
Majalah Sopir menguraikan bahwa salah satu ciri "kesopiran" adalah kesadaran "menjaga keselamatan" kendaraan. Tak kurang penting: mengikuti aturan hukum. Tak ada perlawanan. Simbol PCM bukan tangan buruh yang kukuh, melainkan gambar mobil.
Seperti diterangkan dalam Sopir, radiatornya—yang berfungsi mendinginkan air—melambangkan tenaga untuk mengontrol dan menyejukkan. Lampunya: pembawa terang yang melenyapkan gelap. Dengan kata lain, bagi PCM, yang modern adalah yang tak berapi-api, tak bergejolak, dan jelas. Yang modern adalah yang terkendali, terang, dan persis.
Para redaktur Sopir misalnya menegaskan bahwa "kesopiran" tak sama dengan sikap para sais gerobak atau sado. Mereka yang kuno ini sering dianggap sebagai ancaman bagi keselamatan di jalan. Sebuah majalah lain masa itu, Motorblad, bahkan menyerukan agar para kusir diharuskan punya rijbewijs.
Dengan kata lain, gubernemen dipersilakan jadi sumber disiplin dan kontrol. Modernitas menghendakinya. Seakan-akan tak ada sisi lain dari zaman baru yang gemuruh itu: hilangnya rambu-rambu lama, runtuhnya aura kekuasaan tradisi, keresahan sosial dalam menampik dan mencari sebuah kehidupan yang lebih bebas. Seakan-akan di masa itu telah lenyap sebuah zaman yang cuma beberapa tahun sebelumnya digambarkan Haji Misbach, tokoh komunis yang bergelora itu, sebagai djaman balik boeono—zaman ketika dunia terbalik.
Tapi bagi mereka yang tak mengakui guncangan itu hidup baru adalah jalan lurus, beraspal, tanpa lumpur, tanpa genangan air, apalagi banjir dan arus yang tak terduga mencampur-aduk semua. "Memerintah negeri jajahan, menjadi modern… berarti mengurung arus," tulis Mrazek.
Arus dan khaos membuat sang pemerintah waswas. Maka segalanya dibuat rata, terang, dapat dihitung pasti, bersih dari najis—dan najis sering berarti "inlander", alias yang-lain. Bumi pun disalin dalam topografi yang terukur, penduduk dipisahkan ke dalam identitas-identitas yang seakan-akan kekal, dan hampir semua dituliskan hitam di atas putih dan diarsipkan dalam lajur-lajur yang tegar.
Tapi kita tahu, kekuasaan kolonial yang waswas itu—ya, tiap kekuasaan yang melihat diri sebagai "orde"—akhirnya gagal. Sejak mula. Ann Laura Stoler menulis Along the Archival Grain: Epistemic Anxieties and Colonial Common Sense (2009) dengan pembukaan yang menunjukkan betapa sia-sianya kecemasan kolonial itu: lajur-lajur yang dibentuk untuk membuat semua hal bisa dimengerti, grids of intelligibility, sebenarnya disusun dari pengetahuan yang guyah. Ketakpastian epistemik berulang kali mengguncang keangkuhan imperial yang mengasumsikan bahwa semua tertata.
Semua? Mana mungkin? Di bawah tiap hukum dan kekuasaan selalu ada yang tak tertata, yang membuat kemutlakan hanya ilusi.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo