Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kita Adu di DKPP

9 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJADI Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) memaksa Jimly Asshiddiqie sedikit membatasi diri bersinggungan langsung dengan urusan politik. Kamis pekan lalu, misalnya, dia meminta asistennya membatalkan agendanya menghadiri perayaan ulang tahun ke-68 Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat di Kompleks Parlemen, Senayan.

Sebelumnya, dia dan enam anggota DKPP juga pernah menolak undangan dari Komisi Pemerintahan DPR mengikuti rapat dengar pendapat bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). "Kami pengadilan. Nanti ditanya-tanya putusan, bisa marah saya," kata Jimly kepada Tempo.

Tugas Jimly memang gampang-gampang susah. Sebagai salah satu dari tiga lembaga yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu, DKPP tak bisa menghindari interaksi dengan partai politik. Tapi lembaga yang baru dibentuk setahun lalu itu memiliki kewenangan menangani urusan yang, menurut Jimly sendiri, cakupannya sangat luas, yakni etika. "Dengan DKPP, kami sedang memulai agenda besar memperkenalkan infrastruktur baru sistem etika dalam penyelenggaraan negara," ujarnya.

DKPP memang bukan lembaga pertama yang berurusan dengan etika. Sebelumnya, beberapa komite etik telah lahir, seperti Komisi Yudisial, di wilayah kehakiman; Komisi Kejaksaan, yang memantau kinerja penuntutan; dan Dewan Pers, untuk mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik. Namun keberadaan DKPP sebagai lembaga pengadilan etik paling kencang memancing pro-kontra, dari tata cara pengadilannya yang bersifat terbuka hingga putusan-putusannya yang dianggap telah melampaui kewenangan.

Bulan lalu, misalnya, ketika majelis yang dipimpin Jimly mengembalikan hak Khofifah Indar Parawansa dan Herman S. Sumawiredja sebagai salah satu pasangan dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur. Beberapa pengamat menilai DKPP semakin genit karena ikut campur dalam wilayah administrasi. Akibat tak jelasnya batasan itu, mereka khawatir DKPP justru mengganggu legitimasi karena dalam setahun ini saja sudah ada sekitar 70 anggota KPU dan Bawaslu yang diberhentikan karena dinilai melanggar kode etik.

Kamis siang dua pekan lalu, Jimly menerima wartawan Tempo Agoeng Wijaya dan Widiarsi Agustina di kantornya, yang masih menumpang kantor Bawaslu, di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat. Selama hampir tiga jam wawancara, Jimly sesekali harus menandatangani beberapa dokumen. Berkas pengaduan pelanggaran etika menggunung di atas mejanya, yang tampak lebih sederhana dibanding ketika ia masih berkantor di Mahkamah Konstitusi.

Dari memimpin Mahkamah Konstitusi, kini Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum, apakah Anda tidak merasa turun kelas?

Siapa bilang? Lembaga ini justru lebih penting. Sebab, Mahkamah Konstitusi itu dalam sejarah lahir nomor 79 di dunia, setelah Thailand. Nah, DKPP ini yang pertama di dunia.

Tidak ada negara lain yang memiliki lembaga etik untuk penyelenggara pemilihan umum?

Tidak ada. DKPP ini lahir secara kebetulan saja dalam praktek penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Dulu muncul pemikiran Panitia Pengawas Pemilu harus independen, maka dibentuklah Bawaslu. Pada saat bersamaan, Dewan Kehormatan KPU dirasa harus independen juga, jadilah DKPP. Akhirnya, hanya kita yang mempunyai tiga lembaga urusan pemilu. Orang Indonesia ini kan kreatif bikin lembaga baru.

Tidak ada di negara lain itu mungkin karena lembaga seperti ini memang tidak diperlukan?

Hidup itu kan tidak harus final, pokoke, titik. Kok, sampai jadi tiga lembaga? Kan, tidak ada di negara lain? So what? Siapa tahu, kalau lembaga ini nanti sukses, bisa menjadi model untuk dunia. Emangnya Indonesia tidak boleh menjadi model di dunia? Sebagai negeri besar, kita seharusnya bisa.

Sebenarnya, apa pentingnya keberadaan DKPP?

Dengan DKPP ini, kita sedang memulai agenda besar memperkenalkan infrastruktur sistem etika dalam penyelenggaraan negara. Dengan adanya sistem etika ini, orang akan menjadi lebih berhati-hati. Jangan melanggar etika, apalagi hukum.

Banyak kalangan menentang campur tangan negara terhadap etika. Bukankah urusan etika ada di dalam diri, bukan di luar yang memaksa seseorang agar tak melanggarnya?

Benar. Tapi itu teori lama. Pada 1996, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa merekomendasikan agar semua negara anggota membangun infrastruktur etika untuk kantor pelayanan publik. Apa yang disebut infrastruktur? Yaitu kode etik dan lembaga penegakannya. Makanya kita sudah mengadopsinya dengan membentuk Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Dewan Kehormatan DPR, bahkan untuk media ada Dewan Pers.

Mengapa urusan etika begitu penting dilembagakan? Bukankah sistem hukum sudah cukup?

Keberadaan penegakan etika ini akan membantu beban hukum. Semakin lama hukum juga semakin tumpul. You tahu penjara itu bagaimana? Penuh. Apalagi di Indonesia, sudah gawat. Selain itu, jenis kejahatan semakin banyak. Sebab, banyak kejahatan yang diciptakan oleh undang-undang. Apa contohnya? Ganja. Daun itu kan sayur, enak sekali. Tapi, ketika ada penyalahgunaan, sekarang mencangkul, menanam, memakan, apalagi menjual-belikannya dianggap kejahatan luar biasa. Jadi, kalau kita hanya mengandalkan hukum, repot!

Kok repot?

Hukum itu formalistis, kaku, proses pembuktiannya ribet dan memerlukan waktu sangat lama seperti di Indonesia. Itulah sebabnya perlu ada penegakan etika, terutama untuk penyelenggara negara.

Mengapa?

Untuk mengusut pelanggaran oleh pejabat publik, yang harus juga dipikirkan adalah kepercayaan dan kehormatan jabatan atau lembaga. Kalau harus menunggu pembuktian hukum, citra lembaga publik itu sudah hancur dan rusak sebelum pejabatnya dinyatakan bersalah atau tidak. Ini yang dilindungi oleh penegakan etika. Seperti DKPP. Kami menjaga kehormatan institusi KPU dan Bawaslu, bukan orang-orang di dalamnya.

Apakah penegakan etika tidak akan mereduksi peran penegakan hukum?

Tidak. Etika dan hukum itu berjalan bersamaan. Sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum. Sebaliknya, sesuatu yang tidak melanggar hukum belum tentu tidak melanggar etika. Misalnya, seorang hakim didapati bermain golf dengan pengacara yang sedang beperkara. Jika dilihat dari hukum saja, perlu waktu lama membuktikan apakah benar ada praktek suap. Tapi, lewat pemeriksaan etik, jika benar mereka bermain golf, si hakim bisa dinonaktifkan atau bahkan dipecat untuk melindungi kehormatan lembaga peradilan. Urusan ada suap atau tidak itu urusan lain, bisa diteruskan pemeriksaannya oleh penegak hukum.

Karena menganggap etika sebagai urusan privat, banyak kalangan mempersoalkan tata cara pengadilan etik DKPP yang terbuka. Bagaimana menurut Anda?

Dalam pengadilan etika yang tertutup, kultur pakewuh mendominasi. Tapi, kalau terbuka, kontrol publik berpengaruh besar. Coba kita lihat ketika Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung meniru DKPP menyelenggarakan sidang terbuka atas kasus hakim Achmad Yamanie. Hasilnya, Yamanie menjadi hakim agung pertama dalam sejarah Indonesia yang dipecat gara-gara melanggar kode etik.

Bukankah DKPP pernah dilaporkan oleh anggota KPU daerah yang merasa namanya tercemar akibat persidangan terbuka?

Pernah ketika DKPP masih berupa Dewan Kehormatan KPU. Tapi itu tidak dilanjutkan karena saya tegaskan kepada kepolisian bahwa ini amanah undang-undang. Lagi pula, pada era Twitter seperti sekarang ini, sekali seseorang dituduh melanggar etika, dalam lima menit seluruh dunia tahu. Dia di-bully. Nah, kalau seseorang itu membela diri secara tertutup, apakah menyelesaikan masalah? Tidak, orang tidak akan percaya. Makanya, pembuktian harus terbuka juga. Inilah yang kami perkenalkan di DKPP dengan menerapkan semua sistem peradilan modern.

Karena banyak putusan yang memberhentikan penyelenggara pemilu, kini KPU daerah menganggap DKPP sebagai malaikat pencabut nyawa.

Itu joke saja.

Ada yang beranggapan, kalau kecewa kepada KPU, misalnya calon legislator yang merasa dirugikan dan ingin balas dendam, tinggal melapor ke DKPP.

Ya, silakan. Kita adu di sini. Kultur demokrasi Indonesia ini memang belum matang. Teori di atas kertas mengatakan siap menang dan siap kalah. Tapi, dalam prakteknya, menang saja tidak siap. Kami tahu itu. Tentu saja kami harus pandai-pandai memeriksa. Sebab, kalau kami memperturutkan hawa nafsu pelapor, bisa repot. Harus ketat. Itulah sebabnya, dari 300 laporan selama ini, cuma sekitar 100 laporan kami sidangkan.

Apalagi undang-undang memang memperbolehkan semua orang melaporkan pelanggaran kode etik KPU atau Bawaslu kepada DKPP?

Ya, itulah, kadang-kadang undang-undang terlalu gawat kalau diikuti letterlijk. Semua orang boleh mengadu, termasuk pedagang rokok di pinggir jalan. Ini memang keterlaluan. Makanya, kami telah mengatur di lingkup internal DKPP bahwa kami hanya menangani dugaan pelanggaran komisioner KPU dan Bawaslu. Sedangkan pelanggaran di tempat pemungutan suara diurus KPU dan Bawaslu setempat. Begitu pula, mulai Juli lalu, komisioner yang boleh dilaporkan hanya pusat dan provinsi. Adapun untuk kota atau kabupaten kami anjurkan diselesaikan di Bawaslu provinsi.

Apakah itu tidak melanggar undang-undang?

Undang-undang memang tidak melarang laporan kepada DKPP. Bisa saja kami terima, tapi akan kami kirim dulu ke Bawaslu setempat untuk diverifikasi supaya ada filternya. Kami kan tidak punya kaki tangan di daerah. Jadi memang belum ditemukan pola yang pas untuk urusan ini. Tapi tidak apa-apa, jalan saja. Barang baru seperti ini pasti ada persoalan. Semuanya akan diperbaiki bertahap. Yang terpenting, kami paham ada titik lemah yang harus diperbaiki.

Pada sisi lain, beberapa kalangan menganggap DKPP sebagai lembaga superior karena mereka menilai banyak putusan di luar urusan etika.

Ahhh… tidak. Itu pengamat yang bodoh. Coba sebutkan mana yang salah! Semua itu bisa dijelaskan.

Misalnya, November tahun lalu, DKPP dianggap ikut campur dalam penahapan karena memerintahkan KPU memverifikasi ulang 18 partai calon peserta pemilu yang sebelumnya dinyatakan tak lolos verifikasi administrasi.

Baca dulu putusannya sebelum ambil kesimpulan. Saat itu, kami hanya membenarkan rekomendasi Bawaslu yang meminta 12 partai diikutsertakan dalam verifikasi faktual. Kami anjurkan KPU melaksanakannya. Tapi, demi keadilan, enam partai lainnya kami pertimbangkan juga karena, meski mereka tidak mengajukan gugatan formal, bukan berarti tidak punya hak. Yang memutuskan KPU sendiri, bukan DKPP. Kami cuma menyuruh mereka melaksanakan keadilan.

Apa alasannya?

Kalau verifikasi itu tak diulang, pemilu ini bubar, enggak ada pesertanya. Sebab, sebenarnya yang lolos hanya satu partai. Mana ada pemilu kalau pesertanya cuma satu? Mau begitu?

Kok, bisa hanya satu yang sebenarnya lolos?

Ini kan semula gara-gara dipersulitnya syarat administrasi untuk menghalangi partai baru. Aturan itu diuji ke Mahkamah Konstitusi, yang kemudian memutuskan partai lama harus mengikuti proses yang sama dengan partai baru. Ke­labakan mereka.

Ada juga yang mempertanyakan putusan DKPP mengabulkan pengaduan Khofifah.

Kadang kita bertitik tolak pada aturan. Secara aturan memang tidak ada yang dilanggar. Ada sekretaris jenderal di dua partai kecil pendukung Khofifah berbalik mendukung lawannya. Sedangkan ketua umumnya tetap mendukung Khofifah. Itu kan mudah sekali membuat konflik di antara mereka. Secara legal formal, partai itu menjadi tidak sah mencalonkan Khofifah karena ada dukungan ganda. Tapi baunya sudah jelas ada yang tidak beres.

Apa yang tidak beres?

Khofifah ini kan dikerjain, jegal-menjegal. Sebab, untuk pihak lawan Khofifah, kedua partai itu tidak ada faedahnya juga karena mereka tak memerlukan lagi dukungan dari partai lain. Kami tidak perlu mempersoalkan siapa lawannya. Tapi dari motif bisa dilihat siapa yang untung jika Khofifah gagal menjadi calon gubernur. Kasus seperti itu banyak karena praktek kita berpolitik memang belum beretika. Misalnya, di daerah ada inkumben memborong dukungan partai untuk menghalangi pesaingnya. Ada juga yang bikin calon boneka. Tidak fair!

Apakah anggota DKPP selalu satu suara dalam setiap putusan perkara?

Sempat beberapa kali ada dissenting opinion. Hanya, karena ini lembaga baru, kami berpikir jangan dulu diumumkan soal siapa saja yang berbeda pendapat. Mungkin nanti pada tahun kedua, atau sekarang, bolehlah. Menurut pendapat saya, jangan dikompor-komporin. Sebab, bisa saja hakim itu mau menikmati popularitas. Itu jauh lebih berbahaya. Apalagi kalau hakimnya punya naluri politik. Itu sebabnya saya tidak mau diundang ke DPR.

Beberapa waktu lalu, Anda mengumpulkan komisi etik di berbagai lembaga untuk menggagas penyatuan sistem peradilan etik. Bagaimana konsepnya?

Kami sudah menyiapkan rancangan undang-undangnya. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi juga. Jadi nanti semacam mahkamah etik. Lembaga etik yang ada di lembaga-lembaga seperti DKPP ini nanti bisa dijadikan pengadilan tingkat satu. Kalau ada yang tidak puas, bisa minta banding di tingkat selanjutnya.

Apakah nanti mahkamah etik itu akan setara dengan Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi?

Tidak usah dipikirkan strukturnya lebih dulu. Nanti orang-orang malah ribut. Jangan mendahulukan derajatnya, tapi substansi bahwa hukum dan etika seharusnya tak bisa dipisahkan. Jadi setiap orang jangan hanya berbicara soal benar-salah, tapi juga baik-buruk.

Anda tidak tertarik terjun ke dunia politik? Kabarnya, sudah ada yang menawari Anda ikut konvensi Partai Demokrat.

Ya. Tokoh-tokoh Demokrat, seperti Pak Syarief Hasan, memang sudah menghubungi. Tapi masak Ketua DKPP ikut konvensi? Enggak bisa, dong. Bukannya saya enggak mau jadi presiden. Mau saja. Mampu juga kayaknya. Wong, begitu-begitu saja. Enak jadi presiden, semua dikerjain orang lain.

Jimly Asshiddiqie
Tempat dan tanggal lahir: Palembang, 15 April 1956, Pendidikan: l Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta (1982) l Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta (1984) l Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta (1986-1990) l Program Doktor Ilmu Hukum Van Vollenhoven Institute, Rechts-faculteit, Universiteit Leiden (1990) l Post-Graduate Summer Refreshment Course on Legal Theories, Harvard Law School, Cambridge, Massachusetts (1994), Karier: l Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (2012-2017) l Ketua Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (2009-2010) l Ketua Mahkamah Konstitusi (2003-2008) l Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (2010) l Penasihat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (2008-2012) l Asisten Menteri Riset dan Teknologi (2010-2014) l Asisten Wakil Presiden (1998-1999) l Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (1998)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus