Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGADILAN tindak pidana korupsi rupanya gemar mengulang yang sudah-sudah: merabat hukuman. Cerita terbaru datang dari persidangan Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Bekas Kepala Korps Lalu Lintas Markas Besar Kepolisian itu dinyatakan terbukti korup dalam proyek pengadaan simulator kemudi pada tahun anggaran 2011. Ia juga menyembunyikan aset berupa tanah, rumah, pompa bensin, dan kendaraan dengan mengatasnamakan istri, anak, serta mertua. Tapi majelis hakim tak menghukum maksimal perbuatan lancung itu.
Dituntut 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar, Djoko cuma divonis 10 tahun dan denda Rp 500 juta. Hakim juga tidak menagih uang pengganti kerugian negara. Padahal, dalam putusan, Djoko disebut terbukti menikmati uang Rp 32 miliar dalam proyek senilai Rp 196 miliar. Semestinya perampasan aset, yang juga diputuskan hakim, tak bisa begitu saja menggantikan kerugian negara. Komisi Pemberantasan Korupsi harus mengajukan permohonan banding terhadap putusan ini.
Majelis hakim memang melakukan terobosan yang bisa menjadi model ke depan dalam menangani kasus korupsi dan pencucian uang, berupa pengintegrasian undang-undang tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Hakim bahkan tidak hanya menggunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, tapi juga memakai undang-undang pencucian uang yang lebih dulu terbit, yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Dengan terobosan itu, hakim merampas 48 item kekayaan Djoko senilai Rp 120 miliar dalam nilai buku, atau sekitar Rp 200 miliar dalam nilai pasar. Jumlah ini terbesar dalam sejarah peradilan korupsi.
Bergegas minta banding tentu amat penting dilakukan KPK. Bukan saja untuk merevisi vonis Djoko, melainkan juga buat mengamankan aset sang Jenderal. Eksekusi terhadap aset Djoko jelas tak bisa dijalankan sebelum ada putusan in kracht. Jika KPK lelet mengajukan permohonan banding, bukan mustahil aset-aset itu berpindah tangan. Tanah dan bangunan seluas 897 meter persegi di Jalan Margasatwa Raya, Jakarta Selatan, misalnya, dikabarkan sudah beralih kepemilikan pada Februari lalu.
Majelis hakim juga sangat disesalkan terkesan mengabaikan pertimbangan bahwa Djoko merupakan pejabat negara dan polisi. Sebagai penegak hukum, apalagi pejabat tinggi kepolisian, seharusnya ia memberi contoh terpuji, bukan sebaliknya. Para penegak hukum yang melanggar hukum selayaknyalah dihukum lebih berat dibandingkan dengan penduduk sipil.
Vonis sesuai dengan tuntutan jaksa, bahkan melebihi tuntutan, bukan tak pernah ada. Lima tahun lalu, pengadilan menghukum jaksa Urip Tri Gunawan 20 tahun penjara. Putusan ini lebih tinggi lima tahun daripada tuntutan jaksa. Dalam kasus mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh, hakim memvonis 10 tahun bui pada 2005. Tuntutan jaksa cuma 8 tahun. Padahal, dibandingkan dengan Djoko, nilai korupsi Puteh jauh lebih rendah, yaitu Rp 13,8 miliar.
Semestinya hakim kasus Djoko lebih berani mengambil putusan tinggi. Serial hukuman relatif ringan, seperti pada kasus Artalyta, Nazaruddin, Angelina Sondakh, Nunun Nurbaetie, dan Wa Ode Nurhayati, selayaknya tak berlanjut. Begitu pula preseden memalukan pengadilan korupsi di daerah, yang belakangan "gemar" membebaskan terdakwa kepala daerah. Hukuman ringan, apalagi membebaskan koruptor, jelas mencerminkan pelecehan lembaga peradilan terhadap pemberantasan korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo