Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GAGASAN agar nama jalan Medan Merdeka Timur diganti dengan nama "Jalan Soeharto" bisa dianggap merupakan "kreativitas" mengada-ada. Harus diingatkan kepada siapa pun, mendukung ide itu merupakan pelecehan terhadap semangat Sukarno, yang memberi langsung nama jalan Medan Merdeka sebagai ungkapan kebenciannya terhadap kolonialisme.
Pada masa penjajahan Belanda, kawasan Merdeka Utara-Timur-Selatan-Barat merupakan lapangan besar yang dikenal dengan nama Koningsplein—alias Lapangan Raja. Setelah Indonesia bebas dari cengkeraman Belanda, Sukarno menggantinya dengan kata "Merdeka". Di tengahnya kemudian didirikan Monumen Nasional—sebuah ikon kemerdekaan.
Berbahaya bila jalan yang memekikkan hasrat kebebasan itu ditahbiskan dengan nama Soeharto—yang sampai akhir hayatnya memikul sejumlah beban sejarah. Sederet perkara, dari pelanggaran terhadap hak asasi manusia sampai pengayaan keluarga, masih menggantung sampai saat ini. Apa kata dunia jika nama itu kita sematkan pada salah satu jalan protokol terkemuka di negeri ini?
Menahbiskan namanya bisa pula dianggap menerima rekonsiliasi yang membasuh semua kesalahannya, sekaligus merupakan penghinaan bagi jutaan korban kekuasaan rezimnya. Sebab, sampai kini pun secara resmi pemerintah belum menyatakan permintaan maaf atas pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan pada era Soeharto: tragedi 1965, penindasan dan penumpasan di Aceh, Lampung, Papua, dan sebagainya.
Deretan gedung yang berada di Jalan Medan Merdeka Timur sendiri kita tahu: Gedung Kostrad, Pertamina, Gereja Immanuel, dan Galeri Nasional. Pemberian nama dapat menimbulkan kesan bahwa pikiran dan tindakan Soeharto masih diagungkan di Kostrad dan Pertamina. Yang bakal keras bereaksi tentu juga para seniman. Sang Jenderal di masa hidupnya dikenal banyak memberangus pameran seni dan pementasan teater serta membungkam buku dari peredaran. Sangat tak masuk akal pula Galeri Nasional berada di jalan dengan nama orang yang gemar memberangus seniman dan karya seni.
Jimly Asshiddiqie, Ketua Panitia 17—panitia yang mengkaji nama jalan-jalan baru itu—sebaiknyalah berpikir ulang. Bila mengambil sikap plinplan, ia mempertaruhkan kredibilitasnya sebagai cendekiawan yang memihak reformasi dan demokrasi. Sekali ia bersikap ragu, "gerakan merehabilitasi" nama Soeharto ini akan menular ke kota-kota lain, karena sesungguhnya sisa-sisa pendukung Orde Baru masih beredar di mana-mana.
Pemerintah Kota Padang, misalnya, juga merencanakan nama Soeharto untuk seruas jalan sepanjang sembilan kilometer dari pusat kota Aie Pacah sampai Lubuk Begalung. Di jalan itu juga akan dibangun air mancur seperti di Bundaran Hotel Indonesia. Jangan-jangan di sini memang terkandung strategi yang diluncurkan para Soehartois. Diam-diam mereka bergerilya, dimulai dengan memasang spanduk bergambar "bapak pembangunan" dengan teks: "Masih enak jamanku, tho?"
Maka tak ada kata lain: gagasan ini harus ditolak. Mungkin saja nama Soeharto masih layak diabadikan untuk mengenang otentisitas kehadirannya dalam perjalanan sejarah bangsa, misalnya di kampung kelahirannya di Kemusuk. Atau di Kabupaten Karanganyar, yang dulu berinisiatif mengusulkan pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo