Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI bandit yang tak pernah jera melanggar hukum, koruptor di negeri ini tak pernah kapok menggerogoti uang negara. Satu demi satu pejabat dipenjarakan, tapi syahwat melahap dana negara tak pernah surut. Contoh terakhir: dua pejabat Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi, akhir Agustus lalu, karena diduga menerima suap dari seorang pebisnis.
Pejabat itu telah kehilangan urat malu. Kita tahu, penyuapan ini dilakukan ketika perkara Nazaruddin, yang dituduh melakukan korupsi dana proyek di sembilan kementerian senilai Rp 8 triliun lebih, masih panas dibicarakan publik. Sungguh keterlaluan, pembongkaran megaskandal korupsi oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu seolah-olah tak memberi dampak apa pun. Sama sekali tak ada tanda-tanda pejabat yang terlibat kasus ini mengerem nafsunya menyelewengkan jabatan—juga harga dirinya.
Penyuapan kepada Kepala Bagian Program Evaluasi dan Pelaporan Kementerian Dadong Irbarelawan serta Sekretaris Direktorat Jenderal Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi I Nyoman Suisnaya itu hampir dipastikan hanya mata rantai dari kejahatan yang lebih besar. Duit Rp 1,5 miliar dari Dharnawati, kuasa direksi PT Alam Jaya Papua, diduga berkaitan dengan proyek infrastruktur transmigrasi di 19 daerah senilai Rp 500 miliar.
Sesungguhnya modus dugaan korupsi ini sama sekali tidak rumit, bahkan sudah "biasa" kita dengar. Pemenang tender sebuah proyek sudah dipastikan sejak awal. Lalu sang pejabat "mengawal" kemenangan si pengusaha sejak proses perencanaan sampai pengesahan anggaran oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagai imbalan, pengusaha membayar 10-20 persen dari nilai proyek untuk para pejabat di kementerian dan politikus di Senayan.
Sulit memberantas kejahatan model begini karena biasanya dikerjakan berombongan. Atasan bermental korup jelas tak mungkin menindak bawahan yang curang. Anak buah pun mustahil menghentikan tingkah polah atasan. Selain takut disingkirkan, mereka sering ikut bersukacita merayakan manisnya sistem yang korup.
Dalam perkara suap Kementerian Transmigrasi, kaitan antarpemain itu terlihat jelas. Menurut pengacaranya, Dharnawati kepada komisi antikorupsi membuka peran sejumlah anggota staf Menteri Muhaimin Iskandar. Mereka meminta imbalan 10 persen dari nilai proyek. Ada pula tudingan kepada seseorang yang diduga dekat dengan pemimpin Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembagi proyek.
Komisi Pemberantasan Korupsi sudah semestinya mengungkap dugaan keterlibatan para politikus itu. Selama proses ini, Menteri Muhaimin semestinya nonaktif. Ia perlu menyediakan waktu khusus untuk menghadapi perkara ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak cukup hanya meminta Menteri Muhaimin bersikap terbuka. Presiden harus mengistirahatkan Muhaimin. Sudah waktunya Presiden Yudhoyono memulai prosedur baru untuk menterinya yang tersangkut perkara. Jika tidak terbukti bersalah, sang Menteri bisa kembali menduduki jabatannya.
Untuk mencegah perkara serupa berulang, sudah semestinya ada pembenahan praktek penyusunan anggaran. Selama ini Badan Anggaran memiliki kewenangan luar biasa dalam menentukan alokasi anggaran untuk kementerian dan lembaga negara. Di tangan politikus yang bersih, kewenangan besar itu bisa dipakai untuk mengawasi penggunaan anggaran pemerintah.
Ketika Senayan diisi banyak politikus korup, wewenang itu justru menjadi pintu masuk penyimpangan. Banyak anggota Dewan kemudian "buka jasa" melayani pemburu anggaran: pejabat lembaga negara, kepala daerah, dan pengusaha. Sebagian besar waktu kepala daerah pun dihabiskan di Jakarta untuk "memancing" anggaran proyek dengan uang sogok. Badan Anggaran bahkan bisa menentukan perusahaan-perusahaan pelaksana proyek. Proses tender yang kemudian dilakukan pun sering hanya formalitas.
Proses penyusunan anggaran juga cenderung tertutup. Rapat Badan Anggaran banyak digelar di hotel. Maksudnya jelas, menjauhkan pemantauan publik. Pemimpin Dewan perlu melarang anggotanya menggelar rapat di luar Senayan. Gagasan agar setiap rapat penyusunan anggaran diawasi perwakilan Komisi Pemberantasan Korupsi layak dihidupkan kembali.
Selain itu, hukuman bagi koruptor perlu dibuat lebih berat. Di luar hukuman penjara, denda superbesar barangkali akan lebih efektif. Mungkin banyak pejabat tak jeri masuk penjara, tapi lebih takut jatuh miskin. Maka perlu terobosan hukum untuk "memiskinkan" pejabat yang terbukti korupsi. Harta mereka harus disita untuk negara.
Dengan kiat memiskinkan koruptor itu mungkin negeri ini bakal selamat dari kerakusan para "mafioso" mengisap uang negara. Hanya cara ekstrem yang mampu menangkal kejahatan korupsi yang sudah luar biasa ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo