Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERNYATAAN Jaksa Agung Basrief Arief bahwa kasus Munir sudah selesai benar-benar tak masuk akal dan mencederai rasa keadilan. Pernyataan itu makin membuktikan sikap kejaksaan yang sejak dulu sebetulnya layak dicurigai: mereka tak pernah serius mengusut kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia yang menjadi perhatian dunia internasional ini.
Basrief mengemukakan sikap lembaganya tepat tujuh tahun tewasnya Munir, pekan lalu. Munir Said Thalib, yang juga pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), tewas diracun pada 7 September 2004 dalam pesawat Garuda penerbangan Singapura-Belanda. Di Belanda, nama Munir bahkan dijadikan nama jalan—sebagai penghormatan.
Jaksa Agung menyatakan perkara Munir sudah selesai karena Pollycarpus, yang kini mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, sudah divonis 20 tahun penjara. Pengadilan sebelumnya menyatakan pilot Garuda itulah yang meracun Munir, menggunakan arsenik, ketika pesawat transit di Bandara Changi, Singapura.
Muchdi Purwoprandjono, bekas Deputi Penggalangan Badan Intelijen Negara, yang diseret ke pengadilan dengan tuduhan memerintahkan pembunuhan tersebut, dinyatakan tidak bersalah, baik di pengadilan negeri maupun di tingkat kasasi. Berbekal putusan-putusan itulah Basrief menyatakan perkara ini selesai dan kejaksaan telah melakukan tugasnya secara maksimal.
Inilah yang sangat kita sesalkan. Sebab, sejumlah fakta yang muncul di seputar pembunuhan Munir belum benar-benar digali tuntas oleh penyelidik kepolisian dan kejaksaan. Hakim juga cenderung hanya menerima bukti-bukti yang disodorkan jaksa, tanpa inisiatif memerintahkan jaksa menghadirkan bukti lain yang bisa mengungkap otak (intellectuele dader) pembunuhan ini.
Misalnya perihal hubungan telepon (call data record) antara Polly dan Muchdi sebanyak 41 kali di hari-hari tewasnya Munir; kesaksian agen BIN, Budi Santoso, yang menyatakan pernah memberi Polly Rp 10 juta atas perintah Muchdi dan mengaku berkali-kali mendengar keinginan Polly menghabisi Munir; serta misteri tak berfungsinya puluhan CCTV di Bandara Soekarno-Hatta pada hari pembunuhan Munir.
Fakta yang tak diungkap itulah yang antara lain membuat Muchdi lolos. Hakim menerima begitu saja argumentasi Muchdi bahwa telepon selulernya biasa dipakai orang lain, tanpa memerintahkan jaksa menghadirkan "orang lain" itu. Demikian pula soal pengakuan Budi yang sangat penting. Jaksa tak bisa menghadirkan Budi dengan alasan berada di luar negeri. Padahal hakim bisa mendengarkan kesaksian Budi melalui teleconference. Cara ini pernah dilakukan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan delapan tahun silam ketika mendengarkan kesaksian B.J. Habibie, yang kala itu berada di Jerman, dalam kasus penyelewengan dana Bulog.
Melihat sistem peradilan yang tidak berjalan dalam perkara Munir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mesti turun tangan dan bertindak tegas terhadap bawahannya. Presiden harus memerintahkan kejaksaan, kepolisian, dan semua lembaga penegak hukum terkait mengkaji kembali perkara ini dengan melibatkan mereka yang tahu banyak perihal pembunuhan Munir, termasuk aktivis Kontras. Presiden mesti memerintahkan Jaksa Agung melakukan upaya hukum peninjauan kembali atas bebasnya Muchdi.
Presiden SBY tidak bisa membiarkan kasus Munir menggantung. Apalagi, di awal pemerintahannya, Yudhoyono pernah berjanji akan mengungkap kasus ini, bahkan menyebutnya sebagai "the test of our history". Sejarah akan mencatat: justru SBY kini sedang diuji!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo