Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GAYANYA santai—seolah-olah tanpa beban. Mengenakan sarung, Abdullah Hehamahua berdiri di depan tukang sate di mulut gang di daerah Matraman, Jakarta Selatan, Rabu malam pekan lalu. Dia seperti tak sedang berada dalam pusaran kasus korupsi yang melibatkan bekas Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.
Sebagai Ketua Komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi, Abdullah sedang menelisik ucapan Nazaruddin yang mengaitkan sejumlah nama pemimpin Komisi dengan sang tersangka. Nazaruddin melontarkan bola panas itu setelah menyebut pertemuannya dengan pemimpin KPK, Chandra Hamzah.
Namun, ketika diperiksa Komite Etik KPK, sang tersangka bungkam. Komite tak bisa mengorek keterangan dari Nazaruddin. "Saya sudah mengeluarkan berbagai jurus," kata Abdullah. "Anggota komite yang lain juga sudah mengeluarkan keahliannya."
Komite Etik meliputi tujuh orang yang menyelidiki kemungkinan pelanggaran etik pemimpin KPK. Komite terdiri atas berbagai unsur: Syahruddin Rosul dari Universitas Padjadjaran, Marjono Reksodiputro dari Universitas Indonesia, penasihat KPK Said Zainal Abidin, Komisioner Bibit Samad Rianto, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafi’i Ma’arif, dan konsultan hukum Nono Anwar Makarim.
Syafi’i dan Nono masuk menggantikan Busyro Muqoddas dan Haryono Umar, karena keduanya pernah disebut Nazaruddin. "Kita sudah memutuskan tak ada gunanya memeriksa lagi, karena akan tambah membesarkan Nazaruddin," kata Abdullah.
Rabu malam itu, Abdullah menerima Yandi M. Rofiyandi, Anton Aprianto, Anton Septian, Gita Lal, dan fotografer Dwianto Wibowo dari Tempo di rumah kontrakannya di kawasan Matraman, Jakarta Timur. Ia menjemput Tempo karena rumahnya di dalam gang.
Abdullah mengontrak rumah itu sejak tiga tahun lalu, agar bisa selalu datang sebelum pukul tujuh pagi di kantor. Rumahnya sendiri berada di Depok, Jawa Barat. Sebelum tinggal di Matraman, Abdullah indekos di belakang penjara Salemba, Jakarta Pusat.
Sambil duduk lesehan di ruang depan berukuran sekitar 3 x 4 meter, Abdullah menuturkan berbagai persoalan pemberantasan korupsi. Kipas angin membantu mengusir gerah di rumah tanpa penyejuk udara itu. Di tengah wawancara, Abdullah tergopoh mengeluarkan suguhan. "Aduh, saya lupa," katanya sambil mengeluarkan dua toples kue dan kurma. "Maklum, seperti bujangan."
Mengapa Komite tak bisa mengorek keterangan dari Nazaruddin?
Saya pernah menjadi wartawan dan sudah menggunakan semua jurus untuk mengorek keterangannya. Komite etik juga memiliki profesor, doktor, dan guru besar yang sudah mengeluarkan keahlian masing-masing. Nazaruddin memang cerita macam-macam, tapi begitu sampai materi, langsung diam.
Apa yang diceritakan Nazaruddin?
Saya bertanya bagaimana bisnis di Pekanbaru bisa berkembang. Dia menjelaskan strategi usaha dan mengatasi persoalan perusahaan. Dia menjelaskan sangat sistematis. Padahal kami tahu, untuk orang seperti dia, kata-katanya yang bisa dipegang tak sampai sepuluh persen. Nazaruddin berani bersumpah dan mengatakan "ini bulan puasa". Makin dia begitu, makin saya tak percaya.
Apakah dia terlihat stres selama pemeriksaan?
Pertama agak seperti tertekan. Tapi, setelah masuk ke pertanyaan umum atau semacamnya, dia bisa menjelaskan dengan lancar. Dia tertawa, salat berjemaah, dan tetap puasa. Menurut pengalaman saya konseling, orang stres itu tidak salat.
Setelah proses pemeriksaan, bagaimana Anda melihat sosok Nazaruddin?
Dia ini luar biasa. Baru saya temukan orang Indonesia seperti dia. Rapat eksekutif di perusahaannya tak boleh pakai alat tulis dan alat komunikasi. Semua tak boleh dicatat. Hanya satu orang yang memakai laptop, Yulianis. Jadi, data tak keluar. Intelijen saja belum tentu seperti itu. Nazaruddin juga bisa hafal semua angka. Tapi, bagaimanapun hebatnya, dia pasti tak sendiri. Pasti ada yang mengkonsep seperti itu. Mungkin itu yang membuat dia belum mau ngomong.
Dengan bungkamnya Nazaruddin, bagaimana membuktikan adanya pelanggaran etik pemimpin KPK?
Nazaruddin kan baru satu sumber. Kita memiliki banyak sumber. Kami tahu Nazaruddin pembohong, jadi informasinya tak akan digunakan lagi. Contohnya, Nazaruddin bilang Yulianis bekerja sembilan tahun, padahal baru enam tahun. Kepada kenalannya, Yulianis diperkenalkan sebagai mitra, padahal pegawai. Saya pikir ini iblis tandingan. Wajahnya seperti tanpa dosa.
Jadi, Nazaruddin tak akan dimintai keterangan lagi?
Kita sudah memutuskan tak ada gunanya lagi, karena akan tambah membesarkan dia. Ada beberapa fakta, tapi tak bisa dijadikan bukti hukum, seperti pertemuan dengan Chandra, Ade Rahardja, atau Chandra dengan Anas Urbaningrum. Faktanya memang Chandra bertemu dengan Anas pada sekitar 2007. Tapi ini tak bisa dijadikan fakta hukum bahwa Chandra melanggar kode etik. Harus dilihat juga substansi pertemuannya.
Kalau ada fakta pertemuan itu, bukankah ada potensi pelanggaran etik?
Berpotensi karena tidak bertemu di kantor. Dalam kode etik, pemimpin bisa bertemu di mana saja kalau sedang menjalankan tugas. Misalnya, datang ke rumah pelacuran karena tugas. Kalau bukan tugas, tak boleh ke tempat begitu. Bila bertemu orang tertentu yang diprogramkan, pemimpin juga harus lapor pemimpin lain sebelum atau sesudahnya. Kalau ketemu di jalan, misalnya di kereta api, terus mengobrol, tidak dikategorikan melanggar karena kebetulan dan tak diprogramkan.
Nazaruddin selalu mengatakan jangan membawa-bawa istrinya, Neneng Sri Wahyuni. Benarkah istrinya tak ada kaitan dalam kasus ini?
Dia bilang istrinya tak terlibat, padahal ini bohong besar. Dari pengakuan saksi, hanya ada empat orang yang bisa membuka brankas, yaitu Nazaruddin, istrinya, Yulianis, dan Oktarina Furi alias Rina. Uang kas bisa sampai Rp 30 miliar sehari, yang disimpan dalam empat brankas. Perusahaan apa pun di dunia, baru lihat cash opname sampai Rp 30 miliar. Uang yang dibundel sering dipakai main bola saking bosan melihatnya setiap hari.
Yulianis menyebut inisial CDR, apakah yang dimaksud orang KPK?
Saya tanya soal inisial ini karena seperti "Chandra". Padahal kita tahu kan inisialnya CMH. Saya menyebutkan semua pemimpin KPK dan Yulianis mengatakan bukan. Nazaruddin memang banyak menyebut kode, misalnya "A" Nazaruddin, "B" istrinya, "C" adiknya, dan "D" Yulianis. Pihak luar juga diberi kode, dan hanya Nazaruddin yang tahu.
KPK sering disebut tebang pilih dalam menangani kasus....
Bukan tebang pilih, tapi tebang matang. Dalam sosialiasi antikorupsi, saya menggunakan istilah tebang matang. Kalau tebang mentah, begitu dimakan sakit perut. Tebang matang bisa dilakukan setelah ada dua alat bukti. Prioritas penanganan perkara ini berdasarkan alat bukti. Korupsi disebut kejahatan luar biasa karena transnasional dan sebagian besar korupsi adalah penyuapan yang sulit dicari buktinya. Koruptor juga selalu memiliki modus baru.
Banyak sinyalemen tentang "masuk angin"-nya petugas KPK, terutama di level bawah....
Tak ada malaikat di KPK, dari atas sampai bawah. Tapi, perbedaan KPK dengan instansi lain, begitu ketahuan segera ditindak. Ada juga persoalan anggaran dan sumber daya manusia. Sudah tahun ketiga kita tak merekrut tenaga analisis penyimpangan dalam proses penyidikan dan penyelidikan, atau eksaminasi. Tenaga ini harus punya latar belakang polisi atau jaksa, sehingga mengerti hukum. Tapi tak ada karena tak memenuhi syarat. Kita prinsipnya profesional dan punya integritas.
Dalam beberapa kesempatan, Anda selalu mengatakan pentingnya penyidik independen....
Dalam kasus "Cicak versus Buaya", penyidik dari polisi dan jaksa paling kasihan. Mereka mengalami konflik batin. Di instansinya dianggap pengkhianat, di KPK dicurigai. Saya mengusulkan amendemen peraturan pemerintah tentang sistem manajemen KPK. Peraturan itu menyebutkan pegawai negeri sipil, polisi, jaksa, dan auditor yang dipekerjakan di KPK diberhentikan sementara dari instansinya dan bertugas selama empat tahun di KPK. Tapi kariernya tetap ditentukan di sana. Jadi, kalau mau serius, bagaimana nanti kariernya di sana.
Apakah idealnya pemimpin KPK juga harus melepaskan diri dari instansinya semula?
Saya termasuk yang tak setuju polisi dan jaksa aktif menjadi pemimpin KPK. Kalau pensiun, tak ada persoalan.
Bagaimana nanti Anda berkoordinasi dengan polisi atau jaksa aktif, seandainya terpilih menjadi pemimpin KPK?
Ada pertanyaan di panitia seleksi, bagaimana bisa koordinasi dengan mitra seperti polisi dan jaksa, padahal Anda kaku dan keras. Saya menjawab bahwa keras ketika di media massa. Saya menjadi ketua komite etik pertama dan mampu menyelesaikan persoalan. Kalau keras, tak mungkin menuntaskan soal etik. Kesalahan kita selama ini, sering menganggap polisi dan jaksa penjahat. Bisa diibaratkan korban narkotik dan obat-obatan. Ketika keluar dari penjara, dia malu kepada keluarga dan lingkungannya sehingga kembali lagi. Untuk itu, kita perlu mengayomi dan menerima mereka.
Bagaimana dukungan undang-undang dalam pemberantasan korupsi di Indonesia?
Undang-undang sekarang, paling tidak setelah Orde Baru, banyak yang dibuat setengah hati. Naskah akademis bagus, tapi ketika di DPR dibuat celah untuk kepentingan kelompok tertentu.
Wacana pembubaran juga masih terus terjadi setelah KPK muncul?
Saya membagi pengalaman selama di KPKN kepada pemimpin KPK. Saya memiliki hipotesis bahwa, di Indonesia, kalau Istana bergabung dengan Senayan, apa pun akan dilibas dan dihabisi. Karena itu, KPK harus menjaga supaya Istana jangan sampai bergabung dengan Senayan. Lihat saja, judicial review Undang-Undang KPK saja sampai 11 kali. Itu yang saya namakan corruptors fight back.
Mengapa Anda bersedia mengikuti seleksi pemimpin KPK?
Saya tadinya merencanakan pensiun agar bisa mengajar. Lima hari menjelang penutupan seleksi, Pak Said, penasihat KPK, masuk ruangan mengusulkan saya mendaftar. Saya menolak karena prinsip tak boleh memberikan jabatan kepada yang meminta. Saya belum dapat fatwa ulama yang bisa meleburkan hati. Pak Said mengatakan hadis berlaku dalam keadaan normal. Dalam keadaan perang, justru kita menawarkan diri. Malamnya, saya membuka buku Riyadhus Shalihin karya Imam Nawawi, dan menemukan kisah Nabi mengenai orang cacat yang ingin perang dan mati syahid. Besoknya saya mendaftar.
Anda yakin bisa lolos dari DPR?
Saya menyampaikan kepada teman-teman di KPK, sebenarnya tak yakin bisa lolos di DPR. Tapi kita harus mengawal dan menyelamatkan delapan orang terbaik.
Abdullah Hehamahua Tempat dan tanggal lahir: Saparua, Maluku Tengah, 18 Agustus 1948 Pendidikan: Institut Teknologi Bintang, Malaysia, 1992 l Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, 2007 l Magister Manajemen Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, 2010 l Mahasiswa S-3 Universitas Negeri Jakarta Pekerjaan: Guru SMA Kristen Makassar, 1971-1974 l Wartawan dan redaktur harian KAMI, 1971-1974 l Wartawan dan penyiar radio Arif Rachman Hakim, 1975-1976 l Editor majalah Cipta Kementerian Pekerjaan Umum, 1976-1979 l Staf ahli Lembaga Islam untuk Penelitian dan Pengembangan Masyarakat, 1982-1984 l Guru Institut Zahari Malaysia, 1992-1993 l Manajer pemasaran dan editor penerbit buku Pustaka Dini, Selangor, Malaysia, 1993-1995 l Penyelia Program Motivasi Institut Muhammadiyah Singapura, 1995-1999 l Dosen terbang Akademi Dakwah Singapura, 2000-2001 l Wakil Ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, 2001-2004 l Penasihat KPK, 2005-sekarang |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo