Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kemarau Kerontang, Hujan Banjir

Baru seperlima penduduk Indonesia punya akses air bersih. Pemerintah perlu segera membenahinya.

12 September 2011 | 00.00 WIB

Kemarau Kerontang, Hujan Banjir
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Krisis menerpa hampir sejuta warga Jakarta pekan lalu. Air bersih di kota yang dialiri 13 sungai ini mendadak menjadi komoditas langka. Gubernur, bahkan istana, pun merasakan ketidaknyamanan akibat bobolnya pintu limpasan air di Tarum Barat, yang perlu empat hari untuk diperbaiki. Hampir sejuta warga Ibu Kota tiba-tiba disadarkan tentang betapa buruknya manajemen air bersih di negeri ini. Bayangkan, Jakarta di musim hujan selalu kebanjiran, tapi di musim kemarau semakin kekurangan air.

Indonesia, yang menurut sejumlah pakar merupakan satu dari dua negara yang paling membeludak ketersediaan air tawarnya di dunia, jadi seperti tak mensyukuri keberuntungannya. Air memang tidak menghilang seperti di Gurun Sahara. Hanya, yang layak dipakai mandi atau jadi sumber untuk minum semakin sulit didapat karena sungai dan air tanah semakin tercemar berbagai limbah. Soalnya, sungai dan saluran air dijadikan tempat sampah umum, pemerintah pusat dan kota amat lelet membangun jaringan drainase, sementara jumlah penduduk terus bertambah.

Kerugian masyarakat akibat kelalaian pemerintah mengelola air bersih ini semakin lama semakin besar. Penduduk yang tak tersambung jaringan pipa air ledeng tak punya pilihan selain mengambil air tanah atau membeli ke perusahaan penyedia air minum komersial. Ini mengakibatkan permukaan tanah terus menurun dan biaya pengadaan air terus meningkat.

Biaya mahal pengadaan air ini tak merata diderita masyarakat. Mereka yang miskin, yang biasanya tak tersambung jaringan pipa ledeng, membayar paling sedikit lima kali lipat lebih mahal ketimbang penduduk kaya di rumah mewah. Maklum, kaum miskin terpaksa membeli air isi ulang yang harganya Rp 3.000 per galon, padahal tarif air ledeng untuk volume yang sama tak sampai Rp 15.

Mahalnya air bersih bagi orang miskin ini menyebabkan mereka terpaksa menggunakan air kotor yang ada untuk keperluan sehari-hari dan, akibatnya, mereka mudah terkena berbagai penyakit, seperti diare, terutama kalangan anak balita. Wajar kalau mereka percaya saat melantunkan lagu "ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri".

Kekejaman ini sebenarnya tak akan terjadi jika pemerintah serius membangun sarana pengadaan air bersih bagi warganya, yang saat ini baru menjangkau seperlima penduduk. Biayanya pun tak akan membuat pemerintah bangkrut. Soalnya, teknologi termahal saat ini, pengadaan air tawar dari laut, hanya sekitar Rp 4.500 per meter kubik alias Rp 17 per galon. Bandingkan dengan besarnya subsidi Premium yang dinikmati para pemilik mobil pribadi, yang mencapai Rp 4.000 seliter.

Jika pengadaan air bersih ini dilakukan, tingkat kesehatan masyarakat akan meningkat pesat, usia rata-rata penduduk Indonesia akan semakin tinggi, dan tingkat produktivitas pun melompat.

Maka, jika pemerintah berani mencanangkan pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt, mengapa tak berani menyatakan pembangunan sarana air bersih 10 juta meter kubik sehari?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus