Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA kombinasi mengerikan yang membuat kampus-kampus perguruan tinggi menjadi sarang tumbuhnya paham radikalisme berbasis dogma agama: gagalnya sistem pendidikan dan masifnya teknologi menyebarkan informasi. Munculnya Siska Nur Azizah di Markas Komando Brigade Mobil untuk membantu narapidana teroris menunjukkan kerentanan dua faktor itu. Siska adalah mahasiswa semester keenam Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siska menganggap para narapidana yang masuk kerangkeng Brimob di Kelapa Dua, Jawa Barat, karena membunuh dan mengebom orang lain sebagai bukan teroris. Perempuan 21 tahun ini bahkan mengidolakan Aman Abdurrahman, mantan pemimpin Jamaah Ansharut Tauhid yang kini membentuk Jamaah Ansharud Daulah, yang divonis mati karena menjadi dalang sejumlah peledakan bom. Siska mengaku belajar gerakan terorisme lewat Internet dan kanal-kanal diskusi di Telegram.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia sebetulnya seorang mahasiswa yang kritis: banyak bertanya akibat mendapat informasi yang sedikit. Ia mempelajari gagasan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) lewat kajian di kampusnya soal politik global. Alih-alih mendapatkan penjelasan tuntas tentang apa itu ISIS dari sejarah dan perspektif geopolitik, Siska hanya menerima kesimpulan dari dosennya bahwa ISIS itu jahat dan bentukan intelijen Amerika serta Israel.
Bingung dengan apa yang diterimanya, Siska berselancar di Internet. Ia menemukan informasi sebaliknya di ranah maya. Sudah lama kita tahu ISIS memakai Internet untuk propaganda. Mereka memakai mesin algoritma untuk mempermudah peselancar bertemu dengan konten-konten propaganda mereka. Dengan teknologi peramban, Siska dengan mudah mendapatkan informasi soal ISIS lewat kantor berita kelompok radikal itu.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menggolongkan Siska sebagai mahasiswa radikal dalam sikap dan tindakan. Ia sudah melampaui radikal dalam pikiran. Di luar Siska, penelitian BNPT dalam tiga tahun terakhir menemukan bahwa semua mahasiswa di perguruan tinggi negeri di Jawa dan Sulawesi telah terpapar paham radikalisme dalam tahap pikiran dan sikap. Mereka menerima begitu saja paham-paham yang bersumber pada tafsir kaku terhadap dogma agama, lalu mempraktikkannya dalam diskusi-diskusi di organisasi resmi yang diakui kampus.
Menurut BNPT, intoleransi merupakan awal radikalisme. Mereka yang radikal umumnya merasa paling benar. Intoleransi menutup sikap ragu pada keyakinan sendiri, lalu menolak suara lain yang berbeda-sebuah sikap yang bertentangan dengan norma perguruan tinggi.
Dengan cara itu, paham radikal cepat menyebar. Kendati BNPT menemukan persebarannya dimulai 30 tahun lalu, teknologi dengan masif mengamplifikasinya di zaman Google seperti sekarang. Para agen paham radikal tak harus bertemu dengan sasarannya atau menggelar diskusi untuk mengagitasi mereka. Propagandis radikalisme cukup menarik calon korban ke grup Telegram dan WhatsApp, lalu mencuci otak mereka dengan ideologi-ideologi sesat.
Pemerintah harus membuat strategi untuk menangkal penyebaran radikalisme lewat jaringan Internet. Salah satu yang terpenting: menguatkan perguruan tinggi sebagai pusat ilmu dan inovasi.
Pemerintah harus mencegah radikalisme sejak dari sumbernya: membuat kurikulum yang menguatkan logika agar siswa dan mahasiswa tak mudah teperdaya pada pelbagai dogma. Pelajaran humaniora dan pengetahuan pedagogik bagi guru harus diperbanyak agar siswa dan mahasiswa punya fondasi pikiran yang kokoh dalam mengarungi dunia teknologi yang penuh dengan aneka warna informasi ini.
Terorisme adalah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa. Menghadapinya perlu taktik dan strategi jangka panjang karena menyangkut ideologi dan pikiran. Universitas Pendidikan Indonesia bermaksud baik dengan membuka mata kuliah kajian geopolitik untuk membuka wawasan mahasiswa. Dalam kasus Siska, pelajaran itu menjadi malapetaka karena dosen tak mampu menjelaskan materi yang kompleks.
Sistem pendidikan, dengan kemampuan dosen dan kurikulum yang padu, akan menyelamatkan perguruan tinggi dari paparan radikalisme yang membunuh akal sehat. Program deradikalisasi tak boleh menjadi tanggung jawab BNPT semata, tapi sudah harus menjadi tanggung jawab lintas lembaga. Penanganan radikalisme di sekolah tak hanya akan menentukan wajah lembaga pendidikan kita, tapi juga masa depan Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo