Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly: Tentara Tak Bisa Langsung Bertindak

TAK sampai dua pekan setelah teror mengguncang Surabaya, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat merampungkan revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

27 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK sampai dua pekan setelah teror mengguncang Surabaya, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat merampungkan revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sejumlah pihak masih mempersoalkan berbagai ketentuan, seperti keterlibatan Tentara Nasional Indonesia dalam penanganan terorisme. Kepada Raymundus Rikang, Stefanus Pramono, dan Wayan Agus Purnomo dari Tempo yang menemuinya pada Kamis pekan lalu di kantornya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly menjelaskan payung hukum penanganan terorisme.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kenapa TNI akhirnya dilibatkan dalam penanganan terorisme?

Dalam Undang-Undang TNI, itu dimungkinkan, yaitu peran di luar operasi perang untuk menangani terorisme. Ini bukan militerisasi. Tapi, manakala polisi butuh bantuan saat ada peristiwa terorisme, harus dimungkinkan. Ini sudah pertama terjadi dalam operasi Tinombala di Poso, Sulawesi Tengah. Saat itu Presiden bilang TNI masuk membantu polisi.

Bukankah penanganan terorisme itu ranah polisi?

TNI memang tak terkait dengan penegakan hukum, melainkan menjadi alat pertahanan untuk menjaga kedaulatan negara. TNI merujuk pada undang-undang mereka, bahwa kalau sudah membahayakan negara mereka harus dilibatkan. Maka nantinya TNI tetap berbarengan dengan Polri karena penanganan terorisme masuk penegakan hukum. Polisilah yang ditugasi untuk menegakkan hukum. Bahwa saat menangkap itu polisi bersama-sama dengan TNI, iya.

Jadi tentara tidak bisa bertindak langsung?

Tidak bisa. Itu diatur jelas di Undang-Undang TNI. Keterlibatan itu harus melalui keputusan politik presiden. Bisa saja polisi meminta bantuan atau ada diskresi presiden sudah saatnya TNI membantu. Presiden berpandangan sama seperti kami. Kalau gradasinya sudah tinggi, peran TNI diperlukan.

Nantinya TNI di bawah komando Polri?

Bersama-sama. Resources kita di TNI kalau untuk hal-hal yang baik dan gradasinya sudah mengkhawatirkan, ya, dipakai saja. Tapi tetap harus berupa penegakan hukum. Teknis pelibatan TNI nanti diatur melalui peraturan presiden yang segera kami bikin.

Kuncinya di peraturan presiden?

Iya. Di situ akan diatur bagaimana presiden mengambil keputusan, bagaimana pelibatannya, apa saja yang dilakukan dan sejauh mana, siapa yang memegang kendali operasi.

Termasuk Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) juga diatur di peraturan presiden?

Kalau untuk keperluan khusus mengatasi terorisme, pastilah kami atur di perpres. Koopsusgab itu kan merupakan satu bentuk kesiapan untuk mengantisipasi keadaan, bisa dimobilisasi secara cepat. Ini kan belum ada pengaturannya.

Ada kekhawatiran masuknya TNI bakal mengulangi kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia....

Memang ada pandangan demikian. Ada trauma di masyarakat. Tapi negara ini sudah sangat maju dan kita ini negara hukum. Maka kami harus menjembatani bagaimana melibatkan TNI supaya jangan ada kesan ini jadi operasi militer.

Kewenangan polisi dalam aturan baru dianggap terlalu besar....

Terorisme tergolong kejahatan luar biasa dan saat ini sudah sampai taraf mengerikan, seperti melibatkan istri dan anak. Pemerintah harus menjaga negara ini supaya jangan timbul lagi korban. Revisi ini dibahas dengan tetap memperhatikan hak-hak individu, HAM, dan mekanisme hukum beracara. Kalau ada yang tidak benar dalam cara polisi menangkap, silakan bawa ke praperadilan. Pengawasannya kan ada. Dalam undang-undang ini, nantinya polisi yang sewenang-wenang dapat dipidana.

Ihwal penahanan narapidana terorisme, apa rencana Anda setelah peristiwa di Markas Komando Brimob?

Kami masih membangun penjara supermaximum security di Nusakambangan, progresnya sudah 40 persen dan ditargetkan selesai akhir tahun ini. Presiden sudah minta itu dipercepat. Pengamanannya lengkap dengan sensor tubuh, dijaga TNI dan polisi. Para napi akan diklasifikasikan oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) sesuai dengan tingkat risikonya. Untuk yang jadi ideolog, misalnya, akan ditahan di blok khusus dengan satu sel untuk satu napi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus