Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Musik silang

Perkembangan musik indonesia bermula dari masuknya musik eropa lewat bangsa portugis. kemudian tahun 1930-an masuk musik amerika yang segar dan mendesak musik eropa.

18 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG pengamat musik asing merasa kagum bahwa orang Indonesia telah fasih menggunakan kiat-kiat idiom musik Barat yang bukan menjadi ciri khas budaya sendiri. Tapi, ia juga heran, "tiruan" musik Barat yang ia amati di Indonesia itu adanya hanya terbatas pada jenis musik hiburan populer dan secara umum ia tidak melihat adanya perwujudan seni musik yang lebih serius. Ia menggunakan istilah entertainment dan serious music. Saya coba memahami pengamatan mendasar yang ia simpulkan. Sebuah selisih paham yang sebenarnya telah lama menjadi bahan perdebatan para pengamat musik di Indonesia. Acuan kesimpulannya adalah musik populer yang ia amati melalui siaran acara-acara radio, TV, kaset, pentas-pentas musik terbuka, dan lain-lain. Perkenalan kita dengan seni musik Barat yang bersistem diatonika mayorminor melalui kontak ekspansif bangsa Portugis di Indonesia pada abad ke-16. Kemudian juga melalui kolonisasi orang-orang Belanda dan Inggris pada abad-abad berikutnya. Jadi, sesungguhnya musik asal Eropa itu telah dikenal hampir 500 tahun lamanya di Indonesia. Tak heran, pengamat asing itu sampai pada kesimpulan bahwa orang Indonesia sekarang telah mampu menirukan musik Barat. Persoalannya, menirukan musik Barat yang bagaimana? Cikal-bakal musik Eropa yang dibawa masuk ke Indonesia sekian ratus tahun yang lalu, sayangnya, bukanlah dari jenis babon kultur musik Eropa yang sebenarnya. Musik yang mereka bawa adalah jenis musik kasar dan pinggiran yang tidak penting dalam percaturan musik kultur di Eropa pada masa itu. Baru pada pertengahan abad ke-19 mereka membawa masuk musik Eropa "yang lebih serius". Selebihnya adalah musik-musik untuk baris dan upacara militer, nyanyian gereja, lagu-lagu rakyat, dan musik dansa yang menjadi sumber utama musik pergaulan mereka sehari-hari. Jenis musik terakhir inilah yang kemudian menjadi dasar musik Indonesia modern. Di Indonesia sendiri pada waktu itu telah berkembang kesenian musik pribumi yang sama sekali berbeda dengan musik-musik Eropa dan yang adalah cikal-bakal musik-musik daerah dan tradisional kita sekarang. Pengaruh musik Eropa pada zaman kolonial tertanam kuat hingga seputar awal abad kita sekarang. Pada tahun 1930-an mengalir arus baru musik lain yang lebih hangat dari Amerika. Inilah jenis musik klangenan sesungguhnya yang masih segar dan berwatak lain dari musik-musik yang dikenal di Indonesia. Kebetulan pada waktu itu di seluruh Eropa dan Amerika, dengan ditemukannya teknologi baru industri dan alat-alat produksi perekaman suara baru, terjadi perubahan sosialisasi musik besar-besaran. Lahirnya jazz dan musik-musik klangenan modern gaya Amerika yang dikategorikan sebagai entertainment music membersitkan perlawanan hebat pada mitos musik konser yang berhulu pada peradaban musik klasik Eropa dan dikategorikan sebagai serious music. Musik Amerika, yang dikredokan sebagai music from the new world, segera saja mendapat sambutan hangat dan rentangan tangan yang lebih terbuka di kalangan terpelajar dan pemuda Indonesia. Musik-musik Amerika segera saja mendesak musik-musik Eropa yang telah bercokol lebih lama di Indonesia. Sebabnya sangat sederhana. Secara politis, musik Amerika masuk ke Indonesia tidak melalui jalur kolonisasi sehingga bebas prasangka dan dirasa lebih akrab. Musiknya terdengar di telinga pribumi lebih bebas, ramah, dan menyenangkan. Di samping itu, lagu-lagunya pun bersyair netral, jauh dari sifat-sifat pemujaan kolonial. Teks lagu banyak berbicara tentang manusia, alam, dan cinta. Isinya pun seenaknya. Kadang sekenanya dan ngelantur kayak pantun rakyat Betawi: Darkies hear dat banyo ring. Yoe! Ha! Yoe! Listen to the fidle sing . . .. Aha! Aha! Inilah jenis musik sinkopasi yang bersumber pada dua saudara kembar musik Amerika baru: Jazz dan gaya musik Tin Pan Alley. Yang pertama lahir dari musik negro spiritual yang dimainkan secara bebas dan spontan. Yang kedua berasal dari sumber yang sama tapi dikemas dalam gubahan tertipnotasi yang "lebih terpelajar". Yang lebih kita resapi dari musik sinkopasi waktu itu tentu saja musik yang ringan-ringan, manis, dan enak digoyang. Alasan lain adalah akibat penemuan-penemuan gramafon, radio, dan film pada awal abad kita ini. Perusahaan piringan hitam RCA, Columbia, Capitol, His Master Voice adalah duta-duta budaya Amerika yang paling agresif pada waktu itu. Kemudian tentu saja film-film dari kerajaan Hollywood dan radio VOA. Maka, ketika pada tahun 1950-an film-film musik Amerika membanjiri Indonesia, secara efektif kiblat musik Indonesia memang sudah nyantol di peci Paman Sam. Dan ketika film Bill Halley Rock Around The Clock dan film-film Elvis Presley diputar di sini, wabah musik rock pun tak terhindarkan hingga saat ini. Arus musik bebas Amerika ke Indonesia hanya terputus sebentar dua kali. Pertama pada zaman Perang Pasifik. Terjadi Jepangisasi musik selama kurang lebih empat tahun. Kedua, pada 1959 sampai akhir tahun 1960-an, ketika Bung Karno membredel semua musik ngak-ngik-ngok yang berbau Barat. Namun, sejak tahun 1970-an kesuburan musik Amerika di sini tak pernah mengalami gangguan paceklik. Latar belakang itulah yang menerangkan keheranan pengamat musik asing itu, mengapa ia melihat orang Indonesia telah fasih menggunakan idiom-idiom musik Barat. Akan halnya musik yang lebih "serius", seperti ditanyakan oleh pengamat musik misterius itu? Jawabnya memang tidak ada! Soalnya, ketika saya jawab, seni musik "yang lebih serius" hanya ada pada sebagian kecil musik tradisi karawitan dan musik daerah pedalaman "asli", ia tidak puas dan bilang itu sih musik etnis dan musik rakyat. Ketika saya balik bertanya, bagaimana pendapatnya tentang musik keroncong dan dangdut yang "asli" Indonesia tapi asalnya dari sono? Ia bilang, itu musik silang! Busyet! Jadi, bagaimana dengan musik pascamodern kita yang akan datang? Ya, barangkali, tunggu saja arus baru apa lagi yang akan membanjir ke Indonesia. Toh ini zaman globalisasi. Alihalih, kan ini tahun monyet. Kalau si pengamat musik asing itu benar, siapa tahu kita akan lebih pandai lagi meniru. Musik memang menunjukkan cara hidup pelakunya, kata Plato. * Kolom ini disajikan dengan kerja sama Mobil Oil Corp. untuk menyambut KIAS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus