Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Penyair dari Pesantren Cipasung

13 Februari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumah bertingkat dua berukuran sekitar 100 meter persegi itu berbeda dengan rumah-rumah lain di sekitarnya. Meski berada di lingkungan Pondok Pesantren Cipasung, atmosfer kesenian langsung terasa sejak dari pintu ruang tamu. Itulah rumah sastrawan dan pelukis Acep Zamzam Noor di Kampung Cipasung, Desa Cipakat, Kecamatan Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Hampir seluruh tanah kampung itu milik pondok pesantren tersebut, yang terdiri atas taman kanak-kanak hingga Institut Agama Islam Cipasung. Namun rumah Acep lebih mirip galeri seni. Sejumlah lukisan besar mengisi setiap ruangan. Di dinding ruang tamu, misalnya, tergantung dua lukisan berukuran 1 x 2 meter. Yang satu berupa potret dirinya, satunya lagi lukisan abstrak.

Puluhan lukisan, yang kebanyakan bergaya abstrak, juga bergantungan di ruangan lantai dua. Di lantai ini ada dua kamar tidur dan tiga ruangan yang jadi bengkel kerja seniman lulusan Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB itu. Salah satu ruangan dilengkapi satu unit komputer di atas meja yang juga dipenuhi tumpukan koran. Di dua ruangan lain terlihat tumpukan kanvas, cat, dan kuas. "Saya sering merenung di sini untuk mencari inspirasi," kata Acep, yang hari itu mengenakan kemeja batik dan celana jins, serta ditemani rokok kretek yang selalu mengepul.

Di sini pula sastrawan kelahiran Tasikmalaya, 28 Februari 1960, yang pernah melanjutkan pendidikan di Universita per Stranieri di Perugia, Italia, tersebut melahirkan Paguneman, kumpulan puisi berbahasa Sunda yang mendapatkan Hadiah Sastra Rancage 2012. Ajip Rosidi, Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage, mengumumkan kemenangan buku itu pada akhir Januari lalu.

Acep adalah putra sulung KH Ilyas Ruhiat, ulama terkemuka Nahdlatul Ulama dari Pondok Pesantren Cipasung. Acep selama ini lebih dikenal sebagai sastrawan dalam khazanah sastra Indonesia. Dia telah melahirkan lebih dari sepuluh kumpulan sajak berbahasa Indonesia dan menerima beberapa penghargaan, seperti South East Asian Write Award dari Thailand pada 2005 dan Khatulistiwa Literary Award pada 2007.

Buku Paguneman diselesaikannya dalam setahun. Inspirasinya, kata dia, berawal tatkala ia mendatangi perkampungan adat di Jawa Barat, termasuk kampung adat Cigugur, Kuningan, yang rutin menggelar upacara sedekah bumi Seren Taun. Sajak-sajaknya bercerita tentang perkampungan yang dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya dengan kekayaan alamnya.

Judul puisinya kebanyakan berupa nama tempat di Jawa Barat, seperti Gunung Pangrango; Pantai Pangandaran di Ciamis; Terminal Cilembang, terminal utama di Tasikmalaya yang sekarang sudah direlokasi; Kampung Dukuh, nama perkampungan adat di Garut; serta beberapa nama pantai di Garut selatan, seperti Cilauteureun, Santolo, dan Sayangheulang.

Tengoklah puisi Cukangtaneuh, yang dipungut dari Cukang Taneuh (artinya "Jembatan Sungai"), nama obyek wisata di Ciamis yang populer sebagai Green Canyon. Kawasan ini berupa aliran Sungai Cijulang yang hijau yang diapit dinding-dinding batu dan pohon yang tinggi. Bait pertama dari dua bait puisi ini memaparkan keindahan alamnya.

Cireumis nyangkrung/Dina dahan-dahan katapang/Angin nyiriwik nilasan regang-regangna/Nu ngarangrangan. Lamping karang/Humaregung nyawang kalangkang bulan/Basa leungeun balébat nganclomkeun/Tungtung réma kana genclang walungan

(Embun menempel/Pada dahan-dahan katapang/Angin semilir menebas ranting rantingnya/Yang berguguran. Tebing karang/Mengerang membayangkan bayangan bulan/Ketika tangan pagi memasukkan/Ujung jari ke beningnya sungai).

Namun, di bait kedua, dia menunjukkan bagaimana keindahan itu terkoyak. Orang yang tidak tahu kondisi saat ini akan membayangkan tempat ini sangat indah, tapi ternyata yang ditemuinya hanyalah kehampaan.

Di antara kabagja jeung kacangcaya/Busur kingkilaban pating jorelat/Nguwak-ngawik jomantara. Sajongjonan/Lelembutan kumalayang kawas heulang/Ngawang-ngawang ngubek halimun/Rumanggieung muru tungtung aweuhan/Nyingkabkeun gardeng carangcang tihang

(Di antara kebahagiaan dan keraguan/Busur cahaya yang menyilaukau/Merobek-robek cakrawala, seketika/Hati kecil terbang seperti burung elang/Berputar-putar di antara kabut/Terseok-seok mengejar ujung kosong/Menyibakkan tirai remang pagi).

Puisi-puisi Acep ini, menurut Ajip, terkait dengan kumpulan sajak pertamanya dalam bahasa Sunda, Dayeuh Matapoe, yang masuk unggulan Hadiah Rancage 1994. Kedua buku itu melukiskan bercampurnya perasaan dan pikiran dalam perjalanan, baik dalam jagat besar maupun dalam jagat kecil. Dalam buku pertama, yang dilukiskan itu terutama tempat-tempat yang jauh, termasuk yang di mancanegara, sedangkan dalam kumpulan yang kedua Acep mengunjungi tempat-tempat di tanah tumpah darahnya.

"Hal itu menyebabkan sajak-sajak Acep terasa lebih sublim daripada sajak-sajaknya yang lebih dahulu. Tidak ada yang baru pada cara Acep melukiskan rasa, gagasan, dan suasana, tapi hampir dalam setiap sajak tampak keterampilan, pengetahuan, dan keluasan pandang Acep sebagai penyair yang menonjol," kata Ajip.

Ketertarikan Acep terhadap sastra dan seni tumbuh saat duduk di bangku SMP. Kesukaannya membaca majalah Mangle yang berbahasa Sunda langganan keluarganya dan lingkungan pesantrenlah yang mendorongnya terjun ke dunia sastra. Dia menilai lingkungan pesantren sangat kental dengan atmosfer sastra, bahkan pelajaran pertama yang diberikan kepada santri adalah sastra.

Kitab yang diajarkan, seperti kitab kuning dan puji-pujian untuk Nabi Muhammad, sarat dengan sastra karena berbentuk syair. Namun hal itu tidak disadari oleh banyak santri. Karena itu, kata dia, peranan para kiai cukup penting agar dapat menyampaikan kepada santri bahwa sastra itu tidak dapat dipisahkan dengan Islam.

Acep juga menyadari turunnya gairah bersastra di negeri ini dan mencoba menghidupkannya dengan mendirikan Sanggar Sastra Tasikmalaya pada 1996, yang giat menggelar diskusi dan lomba sastra. Dari sanggar ini lahir beberapa sastrawan muda, antara lain Bode Riswandi, Nunu Nazarudin, dan Saepul Badar. Menurut Tatang Pahat, seniman Tasikmalaya, sosok Acep acap dijadikan teladan para seniman dan sastrawan di daerahnya. "Sampai sekarang Kang Acep masih tetap membimbing kami, bahkan tidak gengsi untuk membaca dan mengoreksi karya kami," katanya.

Totalitas Acep dalam berkesenian ini bertolak belakang dengan perannya di lingkungan tempat tinggalnya. Meski sebagai putra mahkota Pondok Pesantren Cipasung, dia tampak tidak campur tangan dalam urusan pondok tersebut. Acep mengaku sengaja tidak masuk pada struktur kepengurusan di pondok itu karena tidak ingin bersentuhan dengan kekuasaan. Posisinya itu membuatnya leluasa untuk mengkritik pondok. Keluarganya tak memprotes pilihan Acep untuk bersastra. "Kami cukup memberikan keleluasaan bagi Kang Acep untuk total di sastra," kata adik sepupu Acep, Ahmad Faisal Imron.

Acep juga rajin mengkritik pemerintah, baik melalui media massa, jejaring sosial, maupun spanduk. Dia, misalnya, menggelar karnaval di jalanan dalam kampanye golput di Tasikmalaya pada masa Pemilihan Umum 2009. Salah satu tulisannya di Facebook pada pekan lalu menyerang poster bupati yang bertebaran di jalanan. "Tidak semua bupati atau wali kota wajahnya fotogenik serta enak dilihat, jadi jangan memaksakan diri membikin baliho besar-besar karena berisiko meningkatkan angka kecelakaan di jalan raya," tulisnya.

Meski nama Acep cukup populer di mana-mana, tampaknya dia juga terasing di lingkungan Cipasung. "Saya juga tidak tahu apa dia mengenal saya atau tidak, soalnya jarang berkomunikasi meski tetanggaan," ujar Tita Juwita, tetangganya yang mengaku jarang melihat Acep keluar rumah dan bertegur sapa.

Neneng Hanifah, santri di Cipasung, menyatakan banyak santri yang mengagumi sosok Acep, tapi tidak kesampaian untuk bertatap muka. "Pak Acep tuh seolah enggak peduli, padahal kami ini pengagumnya dan ingin mendapatkan ilmunya. Tapi susah sekali karena jarang terlihat, baik saat ada kegiatan di pesantren maupun hari biasa," ujarnya.

Sigit Zulmunir (Tasikmalaya), Anwar Siswadi (Bandung), Kurniawan


Ironi Sastra Jawa

Sucipto Hadi Purnomo merasa prihatin terhadap kurang berkembangnya bahasa dan sastra Jawa. Baginya, kondisi ini suatu ironi, karena bahasa Jawa sebagai bahasa daerah yang berasal dari etnis terbesar di negeri ini. Bahkan penghargaan kepada pegiatnya justru diberikan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage, yang sebenarnya berbasis pada kesastraan Sunda.

Sastrawan kelahiran Pati, 6 Agustus 1972, itu baru terpilih sebagai penerima Hadiah Sastra Rancage 2012 atas jasanya dalam pengembangan bahasa dan sastra Jawa. Untuk membuat sastra Jawa populer, Sucipto menyarankan sastra Jawa dikemas dalam bentuk yang tidak menjemukan, sehingga mampu menarik perhatian anak muda. "Sastra Jawa itu harus gaul dan kemedol (bisa dijual)," kata dosen bahasa dan sastra Jawa di Universitas Negeri Semarang itu.

Sucipto telah mempraktekkan ide itu ketika menulis cerita bersambung Saridin Mokong di harian Suara Merdeka selama 2005-2007. Cerita berbahasa Jawa dialek Pati itu mengangkat cerita rakyat Pati tentang Saridin atau Syeh Jangkung, murid Sunan Kalijaga yang dikenal sakti tapi lugu. Hingga saat ini, di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, cerita Saridin sering dipentaskan dalam bentuk ketoprak.

Sejak 1999 hingga kini, Sucipto juga mengasuh "Sang Pamomong", rubrik khusus bahasa dan sastra Jawa di Suara Merdeka. Selain menulis esai, puisi, dan cerita pendek bahasa Jawa, dia aktif memotori penerbitan buku sastra Jawa, dari novel hingga cerita ketoprak. Karena dedikasinya inilah ia didaulat sebagai Ketua Organisasi Penulis Sastra Jawa sejak 2006 hingga sekarang.

Hadiah Rancage juga diberikan untuk karya sastra Jawa, yang jatuh kepada Ombak Wengi karya Yusuf Susilo Hartono, yang lebih dikenal sebagai pelukis sketsa dan wartawan. Seniman kelahiran Bojonegoro, Jawa Timur, 18 Maret 1958, itu telah membukukan dua kumpulan puisi berbahasa Indonesia, Wajah Berkabung (1981) dan Ikan-ikan Hias (1985). Ombak Wengi memuat 99 guritan pilihan karya Yusuf dari periode 1981-2011. Ajip Rosidi, Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage, tak banyak memberi penilaian dalam catatannya mengenai pemenang Rancage tahun ini. Ajip menyebutkan "ombak" melambangkan baik semangat maupun kuping yang bijak mendengarkan penderitaan rakyat kecil atau mulut yang mengucapkan kejujuran.

Rancage untuk sastra Bali diberikan kepada Metek Bintang karya Komang Adnyana. Buku itu memuat 13 cerita, yang hampir semuanya menarik dalam hal tema dan penggarapan. Pengarang, menurut Ajip, mampu "terang-terangan menyembunyikan" titik-titik penting cerita, sehingga pembaca terpaksa memikirkan hubungan-hubungan antara peristiwa dan ucapan para tokoh.

Adapun I Made Sugianto, sastrawan kelahiran Tabanan, Bali, 19 April 1979, juga mendapatkan Hadiah Rancage atas jasanya dalam pengembangan bahasa dan sastra Bali. Dia banyak menulis cerita pendek berbahasa Bali modern di Bali Orti, suplemen khusus bahasa Bali di Bali Post Minggu. Dia juga menerbitkan karya sastra Bali melalui penerbitannya, Pustaka Ekspresi.

Sohirin (Semarang), Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus