Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Nabi amos

Nabi amos terkejut melihat pertumbuhan palestina, keserakahan terjadi di mana-mana, orang kaya menginjak orang miskin. di yerusalem ibadah terasa sebagai beban, aturan agama menghasilkan para munafik.

24 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI kota orang-orang kaya menginjak orang yang miskin, akan datang seorang laki-laki dari gurun. Ia akan berdiri di pintu gerbang. Ia akan mencerca. Ia akan memperingatkan, dan membuat nurbuat tentang keruntuhan. Bahasa Ibrani menyebut orang itu nabi. Setidaknya, itulah dulu yang terjadi ketika datang Amos. Laki-laki penggembala domba ini (begitulah ia menyebut dirinya sendiri) pada suatu hari ingin melihat Kota Beth-EI. la terkejut menyaksikan apa yang ia saksikan. Ketika itu, Tanah Palestina sedang tumbuh, setelah Sulaiman bertahta dan membangun negeri. Tentu saja dengan segala penyakit negeri yang tumbuh cepat. Kota memang tampak gemerlap, tapi pada saat yang sama kaum proletar hidup jembel - hanya beberapa meter dari mereka yang bisa membangun rumah yang megah. Keserakahan meluas, juga iri hati. Korupsi mencegat di hampir tiap sudut. Akhlak yang berkuasa serta berduit kendur, sekendur otot perut mereka. Segala macam oknum bisa dibeli. Dalam kata-kata Amos, orang yang jujur dijual dengan harga sekeping perak, orang miskin tak lebih mahal ketimbang sepasang kasut. Tuhan pasti murka, demikian pikir laki-laki moralis dari Tekoa' itu. Yahwe pasti meraung dari Sion: Allah yang pernah menghancurkan Kota Sodom dan Gomora yang penuh dosa, Tuhan yang pernah memukul orang-orang Yahudi dengan hama mantek dan hama putih. Celakalah kiranya orang yang membanting kejujuran ke tanah. Celakalah mereka yang membenci orang yang menegur di pintu gerbang, dan merasa muak akan orang yang lurus bicara. Kamu, demikian Amos berseru di pintu gerbang kota itu, menindas orang yang jujur. Kamu menerima uang sogok. Kamu mendesak orang miskin. Kamu memungut sewa dari orang lemah .... Amos adalah suara amarah - mungkin salah satu protes sosial pertama yang dicatat manusia. Khususnya di Barat, sebab peringatan Nabi Amos didapatkan orang di dalam Perjanjian Lama. Dan mungkin karena itu pula kesadaran sejarah di Barat mengenal konfrontasi yang selalu berulang kembali - mungkin juga suatu dialektik yang kekal - antara para nabi di satu pihak dan establishment di pihak lain. Para nabi, seperti halnya Amos, umumnya datang dari daerah yang jauh dari kota serta istana. Mereka bahkan suatu antitesis bagi kota dan istana - lambang kenikmatan tubuh dan martabat sosial. Demikianlah, ketika orang-orang Yahudi ingin menertibkan hidup sosial mereka dan mendesak Syemuel yang bijak agar mengizinkan terbentuknya kerajaan, sang nabi memperingatkan: kesewenang-wenangan mudah terjadi, setelah seorang raja dinobatkan. "Ia akan mengambil putri-putrimu, dan menjadikan mereka juru minyak raksi, juru masak, dan tukang roti. Ia akan mengambil ladang, kebun anggur, dan zaitunmu yang terbaik yang akan diberikannya kepada penjawat-penjawatnya ...." Suara Syemuel adalah suara khas seorang nabi dalam konsepsi Perjanjian Lama: suara yang memperingatkan bahwa kekuasaan bi sa seperti rayap di pokok kayu kebajikan.Peringatannya lantang, kata-katanya sering pedas. Tapi sang nabi memang tak takut akan kemarahan manusia ia hidup bukan untuk dunia ini. Dalam tipologi itulah Yohanes Pembaptis masuk dengan tepatnya. Lelaki ini, dalam usia sekitar 30 tahun, hidup jauh dari lingkungan sekitar istana raja, tempat "orang-orang berpakaian halus". Ia sendiri berjubah bulu unta, makan belalang dan madu hutan. Dan dengan sikap keras yang sama terhadap dirinya, ia pun mengecam apa yang dianggapnya sebagai gombyornya ikatan moral di istana Herodes. Ia mencerca. Tak lama kemudian ia ditangkap dan dipenggal. Kepalanya konon dipertontonkan di balairung yang penuh sensasi, di sebuah jamuan malam hari. "Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu !" Sudah tentu, Yerusalem yang disebut dalam keluhan yang termasyhur itu bukan cuma tempat orang raja. Tapi juga pusat kekuasaan lain - kekuasaan pengendali aturan agama, para ahli Taurat yang "telah menduduki kursi Musa". Bukan sesuatu yang mengejutkan bila di sana ibadah mudah terasa sebagai beban dan aturan keagamaan akhirnya hanya menghasilkan para munafik. Konfrontasi memang tak selamanya mudah dihindari - dengan atau tanpa nabi, dengan atau tanpa kesadaran sejarah a la Perjanjian Lama. Siapa bilang riwayat manusia hanya kisah kerukunan, antara mimpi keadilan dan realitas kekuasaan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus