Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

N.u. mungkinkah bersatu dari asembagus, mencari kejayaan...

Munas ulama di pondok pesantren salafiah syafiiah, asembagus, situbondo, jawa timur. bertujuan untuk membangkitkan kembali kejayaan nu. asas tunggal pancasila ramai diperdebatkan. (nas)

24 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUNGKIN ini memang sebuah pesta rakyat. Puluhan ribu manusia menyesaki Pondok Pesantren Salafiah Syafiiyah, Sukorejo, Asembagus, Situbondo, Jawa Timur. Minggu 18 Desember lalu. Memadati jalan masuk ke pondok sepanjang tiga kilometer dari pintu gerbang di tepi jalan raya Situbondo-Banyuwangi, mereka juga berdesakan di seluruh kompleks pondok seluas tujuh hektar itu. Jalanan macet. Sebagian mereka memang turut menghadiri peringatan Maulud Nabi yang diselenggarakan di tempat yang sama sehari sebelumnya. Namun, sebagian besar mereka hari itu datang untuk acara istimewa itu: Munas (Musyawarah Nasional) Ulama NU. Maklumlah, Munas Ulama terakhir yang pernah diselenggarakan di pesantren terjadi 43 tahun yang lalu, di Solo, sebelum Republik lahir. Pesantren Salafiah Syafiiah sendiri telah memajang diri selama beberapa pekan sebelumnya. Tembok, pintu, dan jendela dikapur atau dicat. Umbul-umbul beraneka warna berjajar rapi sepanjang jalan masuk ke pondok. Bendera NU juga dipasang, meskipun di hari itu praktis hampir tertutup sekitar 30 ribu kepala manusia yang hadir. Termasuk sekitar 200 pedagang kaki lima yang dua hari sebelum Munas telah menggelar dagangannya: antara lain kalender, makanan dan buah-buahan. Di udara, keramaian rakyat ini punya cirinya sendiri: suara bacaan Al Quran yang tak pernah berhenti dari masjid pesantren berbaur dengan lagu dangdut dan musik padang pasir penjual kaset. Itu bukan saja tanda simultannya suasana religius dan kegembiraan, urusan akhirat dan urusan duniawi, tapi juga tanda kebersamaan dalam perbedaan. Tak satu pun dari sekitar 1.500 rumah di sekitar Pesantren luput dari ketukan pintu pengunjung yang menumpang tidur. Banyak yang terpaksa melepas kantuk di emper rumah. Perayaan Maulud Nabi di Pesantren ini memang selalu ramai dihadiri masyarakat. Tapi, seperti tutur seorang warga setempat pekan lalu "Belum pernah pondok ini semeriah sekarang." Sambutan masyarakat setempat terhadap Munas ini memang khas NU. Ribuan nelayan dari Probolinggo sampai Banyuwangi sengaja berlibur tidak turun ke laut untuk bisa menghadiri Munas dan peringatan Maulud. Setiap kali seorang kiai muncul dari tempat penginapannya, masyarakat berebutan menyalami. Makanan peserta Munas seluruhnya berasal dari sumbangan masyarakat: 70 ton beras, delapan ekor sapi (empat di antaranya milik Kiai As'ad, pimpinan Pesantren), lebih dari 100 kambing, dan 1.000 ayam. Masyarakat itulah "sebenarnya yang menyelenggarakan Munas," kata seorang pembantu Kiai As'ad. Pesantren putri untuk sementara dijadikan dapur umum. Selama 24 jam, sekitar 60 santri putri bertugas di sini. Mereka dibantu 50 orang ibu rumah tangga yang tinggal di sekeliling Pesantren. Masakan yang dihidangkan sesuai dengan bahan yang ada: sop, gulai, krengsengan, dan kare ayam. Untuk minum disediakan kopi dan teh. Dua barak dibangun di sini untuk tempat makan bersama. Untuk menjaga keamanan kompleks Pesantren, yang jauhnya cuma dua kilometer dari pantai, dikerahkan satu peleton Banser (Barisan Serba Guna) Ansor dan satu peleton Hansip. Selain itu Komando Resort Situbondo menurunkan sekitar 25 petugas berpakaian preman, yang sebagian di antaranya memakai pakaian haji. Mungkin itu dianggap cara penyamaran yang cocok hari itu: sebuah pertemuan nasional di sebuah pesantren. Mengapa di pesantren? Tampaknya ini memang merupakan pencerminan sikap para ulama NU untuk mengembalikan pesantren sebagai sumber tradisi dan akar NU. Tekad ini juga tecermin dalam semboyan yang dipakai. "Kembali ke khittah (garis perjuangan) NU 1926." Terjemahannya: NU kembali sebagai organisasi sosial-keagamaan seperti waktu didirikan dulu. Dan Pesantren Salafiah Syafiiyah itulah yang agaknya terpilih. Para ulama NU tampaknya ingin berada di bawah naungan wibawa pimpinan pesantren ini, K.H. As'ad Syamsul Arifin. Setelah meninggalnya Rais Aam Kiai Bisri Syansuri pada 1980, Kiai As'ad, 86, dianggap ulama sesepuh yang paling berwibawa di kalangan NU. Pemerintah sendiri rupanya juga menghargai tinggi Kiai As'ad. Presiden Soeharto bertemu dengannya beberapa kali. Minggu pagi menjelang pukul 10.00 sirene mendengung pertanda Munas segera akan dibuka. Kiai As'ad Syamsul Arifin Kiai Ali Ma'shum, Kiai Machrus Ali, Kiai Adlan, Kiai Maskoer, dan beberapa "orang tua" NU lain memasuki aula. Aula itu sendiri, berukuran 50 m x 15 m, penuh sesak dan sumpek. Beberapa kipas angin yang ditaruh di tengah ruangan tak mampu mengusir rasa gerah. Sekitar 3.000 orang berada di sana, sedang ribuan hadirin lainnya ditampung di bawah tenda. Atau, kalau lebih tak untung, berpanas-panas di sekeliling aula. Mereka menyaksikan jumlah peserta Munas sendiri cuma sekitar 500 orang, ditambah 450 peninjau dan 350 undangan khusus. Para peserta adalah para anggota PB Syuriah NU, Syuriah wilayah, dan pimpinan pondok pesantren yang diundang. Sekitar 99% hadirin yang hadir di aula memakai sarung dan berkopiah. Zamroni Anwar Nuris, Imron Rosyali, dan beberapa anggota pengurus besar NU bahkan memakai surban. Suasana memang terlihat akrab - toh tak semua anggota PB Syuriah NU datang. Yang tidak tampak antara lain Wakil Rais Aam Kiai Anwar Musaddad, dan Rais Awwal Kiai Ali Yafie, sekalipun mereka diundang. Idham Chalid sendiri tidak diundang. Ia dianggap tidak lagi menjabat ketua umum PB NU, sehingga secara ex officio bukan - lagi anggota PB Syuriah. Menurut sebuah sumber, politikus NU yang terkenal, tapi juga jadi pokok kontroversi, ini tidak diundangnya antara lain agar masalah pro dan kontra pengunduran dirinya tempo hari tidak dibicarakan dalam Munas. Pukul 10.00 acara pembukaan mulai. Abdurrahman Wahid, selaku ketua Panitia Pelaksana Pusat Munas NU, tampil ke mimbar. Pidatonya singkat, tanpa teks. "Munas ini perlu diselenggarakan untuk mempersatukan langkah dan pikiran: berusaha mengompakkan kembali barisan, untukmeraih kembali kejayaan NU," antara lain katanya. Kejayaan NU. Semboyan ini ternyata berkibar tinggi dalam Munas dan muncul dalam banyak sambutan. Dalam pidato pembukaannya, Rais Aam Ali Ma'shum menjanjikan juga "kembalinya kejayaan NU". Kata Ali Ma'shum, "Kejayaan kembali NU adalah suatu hal yang sangat mungkin kita capai tidak lama lagi, kalau saja kita mencermati sejarah perjalanan NU dan pasang surut pamornya." Menurut Ali Ma'shum, yang membawakan pidatonya dalam bahasa Arab dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kejayaan NU tercapai di sekitar 1967-1969. Sedangkan pada 1970-1982 NU hidup dalam keadaan bertualang dan tak menentu. "Jika kenyataan itu kita teliti, kejayaan NU terjadi di saat-saat NU berhubungan erat dan kerja sama bantu-membantu dengan pemerintah. Dan periode di mana NU hidup tak menentu adalah di saat-saat NU renggang dengan pemerintah," katanya, yang disambut tepuk tangan gemuruh hadirin. Pimpinan Pesantren alafiah Syafiiah Kiai As'ad Syamsul Arifin juga menyinggung soal kejayaan kembali NU. Dalam pidatonya, yang juga diucapkan dalam bahasa Arab. "Dari pesantren tempat berlangsungnya munas ini, mudah-mudahan lahir kembali kejayaan NU," katanya. Kemunduran NU, menurut dia, bukan saja karena renggang dengan pemerintah, tapi juga terjadi pada saat NU jauh dari pesantren dan ulamanya. "Dalam dasawarsa terakhir ini tak dapat dipungkiri bahwa fungsi ulama dan pondoknya mulai terabaikan. Barangkali karena itulah dalam tubuh NU telah terjadi pergeseran nilai-nilai kepemimpinan dari khittah 1926," katanya. Mengenai hubungan NU dengan pemerintah, menurut Ali Ma'shum, dia dan kawan-kawan PB NU telah merintis keeratan kembali hubungan ini. Berbagai kesalahpahaman telah diusahakan penuntasannya hingga tidak ada lagi curiga-mencurigai. Masalah yang menyangkut tatanan nasional telah dikonsultasikan dengan pemerintah hingga dimungkinkan jalan keluar yang menguntunkan semua pihak. "Jika ikhtiar PB NU ini berhasil mulus tanpa rintangan, kejayaan kembali NU merupakan keharusan sejarah yang, bagaimanapun, pasti akan terjadi," katanya. Kiai Ali juga menyebutkan dua hal penting yang tampaknya akan ditegaskan dalam Munas. Pertama, dominasi kekuasaan dalam NU ada di tangan ulama (syuriah). Ini ditegaskan dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga NU hasil Muktamar Semarang. Kedua, sikap NU terhadap Pancasila. NU, kata Ali Ma'shum, "selalu sangat berkompeten untuk memagari Pancasila agar tetap lestari secara murni dan konsekuen sebagai falsafah bangsa dan dasar negara." Menurut Ali Ma'shum, Pancasila adalah falsafah, sedangkan agama adalah wahyu. Sila-sila dalam Pancasila pada dasarnya tidak bertentangan dengan Islam, kecuali jika diisi tafsiran atau perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk memahami Pancasila, perlu pola berpikir yang filosofis. Repotnya, para ulama lebih biasa berpikir menurut orientasi agama. "Maka, kita pun menyadari bahwa masih perlu ada usaha meratakan keseragaman pengertian Pancasila di kalangan ulama NU," katanya. Ucapan Ali Ma'shum itu tampaknya merupakan isyarat garis baru NU: meningkatkan hubungan baik dengan pemerintah, demi tercapainya "kejayaan kembali NU." Salah satu ganjalan yang tampaknya hendak dihilangkan adalah dengan menegaskan mengenai sikap NU terhadap Pancasila. Anggaran Dasar NU menyebut bahwa NU berasaskan Islam, sedangkan landasan perjuangannya Pancasila dan UUD 1945. Penegasan bahwa NU menerima Pancasila telah dinyatakan Kiai As'ad sewaktu menemui Presiden Soeharto di Cendana awal Agustus lalu. Waktu itu Kiai As'ad bahkan menyebut "umat Islam Indonesia wajib menerima Pancasila, dan haram hukumnya bila menolak." Yang jadi masalah, apakah NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal dan mencantumkannya dalam Anggaran Dasar. Di Jakarta -setelah rencana sidan pleno PB NU yang diperluas awal Desember lalu urung berlangsung karena tidak mendapat izin para pengurus wilayah yang hadir kemudian mengeluarkan kebulatan tekad menerima asas tunggal Pancasila. Pernyataan ini agaknya dibuat untuk "mendahului" keputusan Munas. Tak heran bila kemudian muncul tuduhan: para pengurus wilayah "dipaksa" menandatangani kebulatan tekad itu. Masalah ini ternyata seru dibicarakan di Situbondo. Yang menambah ramai perdebatan adalah munculnya sebuah selebaran pernyataan sikap. Selebaran itu ditandatangani 37 kiai dari 36 pesantren di Madura pada acara silaturahmi PB Syuriah dan Syuriah wilayah di hari pertama Munas. Inti isi pernyataan yang ditulis dalam bahasa Arab itu: yakin bahwa Munas tak akan menerima asas tunggal Pancasila sebagai asas NU, sebelum RUU Keormasan menjadi undang-undang. K.H. Maskoer menganggap pernyataan itu salah alamat. "Mestinya mereka mengirimkannya kepada pihak yang telah menerima asas itu," ujarnya. Tapi Kiai Ahmad Sarkowi, koordinator NU se-Madura, menolak. "Kami diundang kemari untuk membicarakan masalah itu. Di sini kami berhak menyatakan pendapat. Kalau pendapat kami itu ditolak karena alasan dan argumen kuat yang mengalahkannya, itu 'kan soal nanti," katanya. Sementara itu, para perumus selebaran tak sendirian. Permohonan agar Munas menolak Pancasila sebagai asas tunggal juga dikeluarkan oleh HMI Pusat dan KAHMI (Keluarga Alumni HMI) Surabaya, pada hari pembukaan. Menghadapi tuntutan seperti itu, panitia Munas rupanya sudah siap. Dalam sidang pleno pertama yang berlangsung Minggu malam hingga pukul 02.00, dibahas makalah K.H. Achmad Siddiq, salah seorang mustasyar (penasihat) PB Syuriah NU. Tampaknya, makalah ini dijadikan senjata andalan panitia pengarah, hingga pidato pengarahan Rais Aam urung dilakukan. Makalah Achmad Siddiq dianggap telah mencukupi. Makalah tipis delapan halamar itu terdiri dari dua bagian. Bagiar pertama membahas hakikat NU dan kedudukan ulama di dalamnya. Intisarinya: kedudukan ulama dalam NU adalah kedudukan sentral, sebagai pendiri dan. pengendali NU serta panutan warga. Tatkala kedudukan ulama mantap, mantap pula perjalanan NU. Tapi sejarah mencatat bahwa telah terjadi pergeseran kedudukan ulama: tenaga "teknokrat" (tanfidziah), yang seharusnya menjadi orang kepercayaan ulama, ada yang bersikap menentang. Bahkan ada yang menantang ulama. Sikap ini, menurut Kiai Siddiq, menggoyangkan sendi-sendi NU. Keputusan "kembali kepada khittah 1926," yang merupakan usaha memulihkan kedudukan dan fungsi ulama, memang sudah lama diambil Tapi hingga kini belum terlaksana. Untuk itu, Kiai Siddiq mengusulkan agar diambil langkah organisatoris: mempertegas wewenang ulama. Rumusan yang diajukannya, antara lain, pengurus NU di semua tingkatan adalah pengurus syuriah, dan yang dipilih oleh musyawarah hanyalah pengurus syuriah. Pengurus pelaksana (tanfidziah) diangkat dan diberhentikan pengurus syuriah, dengan mempertimbangkan hasil musyawarah. Seraya mengarah ke konsolidasi kekuasaan ulama itu, Kiai Siddiq juga membahas hak berpolitik warga NU. Menurut dia, hak ini merupakan hak asasi seluruh warga negara. Tapi NU "bukan wadah kegiatan berpolitik praktis." Diusulkannya rumusan agar NU memberikan kebebasan penuh pada warganya "untuk masuk atau tidak masuk suatu organisasi politik yang mana pun." Mereka bisa menyalurkan aspirasi politiknya melalui organisasi pilihannya selama dipandang bermanfaat dan tidak merugikan Islam dan perjuangan umat Islam. Bagian kedua makalah Kiai Siddiq mengupas Pancasila. Bagian ini lebih panjang lebar dan mengesankan sikap "berhati-hati". Di dalamnya makalah dilengkapi beberapa kutipan ayat Quran serta hadis. Menurut Kiai Siddiq, meski GBHN hanya menentukan asas bagi partai politik dan Golkar, seruan dan ajakan "yang sangat" dari pemerintah agar seluruh ormas mencantumkan asas tunggal Pancasila dalam anggaran dasarnya "patut dipertimbangkan dengan wajar, dengan kejernihan pikiran dan kesungguhan." Bagi NU, pencantuman asas pada anggaran dasar bukan hal mutlak. Pada Anggaran Dasar NU 1926 bahkan tidak dicantumkan asas apa pun. Asas Islam baru dicantumkan dalam anggaran dasar setelah NU menjadi partai politik. Kemudian ditambah, sebagai landasan perjuangan, "Pancasila dan UUD 1945". Pencantuman asas Islam ini, menurut Kiai Siddiq, tidak dengan pengertian Islam sebagai ideologi politik karena Islam tidak boleh disetingkatkan dengan ideologi. Islam adalah agama wahyu. Ideologi, sementara itu, hasil pikiran manusia. Di samping bisa memahami ajakan pemerintah, Kiai Siddiq menegaskan bahwa agama bagi suatu organisasi keagamaan, seperti halnya bagi pemeluknya, merupakan sesuatu yang prinsipiil. Karena itu, NU, menurut Kiai Siddiq, menanggapi ajakan pemerintah itu dengan pertimbangan: pemerintah tidak mengajak NU menerima asas tunggal Pancasila dengan, pada saat yang sama, mengesampingkan Islam. NU menerima Pancasila berdasarkan pandangan syariah, bukan berdasarkan pandangan politik. NU tetap berorientasi sepenuhnya kepada ajaran, akidah, dan syariah Islam. Maka, Siddiq mengusulkan kesimpulan: "NU dapat dibenarkan memenuhi ajakan pemerintah tentang asas tunggal Pancasila dengan pengertian hal itu tidak berarti NU mengesampingkan Islam". Diusulkannya agar Anggaran Dasar NU diubah, antara lain dengan mengadakan mukadimah yang mencantumkan sikap dasar NU, terutama mengenai orientasi penuh NU terhadap agama Islam. Selain itu, pasal-pasal Anggaran Dasar perlu disusun kembali dengan mencantumkan asas tunggal Pancasila dan menyesuaikan berbagai pasal dengan penegasan dan pemantapan langkah "Kembali kepada khittah l926". Pembahasan masalah asas tunggal Pancasila ini, yang dilakukan oleh Komisi Khittah, ternyata yang paling seru. Kabarnya, dari 30 pembahas, hanya dua orang yang menyetuJui diterimanya asas tunggal. Ada pendapat menolak yang menuduh sikap menerima sebagai tindakan "murtad". "Di kalangan peserta memang ada kecurigaan, takut kalau kalimat Islam hilang dan diganti dengan yang lain," kata salah seorang pimpinan komisi. Kun Solahuddin, pengurus wilayah Jawa Timur, menyetujui menerima asas tunggal Pancasila dengan dalih, "Itu 'kan hanya istilah dalam bahasa saja. Yang penting, kita tetap Islam". Dalih Kun ini ternyata kurang mendapat sambutan peserta lain. Menurut sebuah sumber, terkejut karena melihat gencarnya tantangan terhadap asas tunggal Pancasila, para sesepuh NU yang duduk dalam panitia memutuskan untuk "memaksakan" diterimanya prinsip tadi. "Alasan yang akan dipakai hukum: kalau tak bertentangan dengan Quran, jalan terus," kata sumber itu. Karena terdengar ada rencana pemaksaan, ada sementara kiai yang sengaja tak hadir dalam sidang. Para penentang asas tunggal Pancasila rupanya tidak mempunyai konsep alternatif. Untunglah, sekitar pukul 01.00 Selasa dinihari tercapai titik temu di antara kelompok penentang dan penerima: keduanya menolak jika kalimat "Islam" ditiadakan. Melihat perkembangan hingga Selasa pagi itu, tampaknya, rumusan Kiai Siddiq akan bisa diterima Munas. Namun, pemerintah agaknya perlu memberi jaminan yang lebih tegas untuk meredakan kekhawatiran banyak ulama NU. Rumusan lain Kiai Siddiq, kabarnya, hampir seluruhnya diterima. Ini berarti keputusan untuk kembali ke khittah NU 1926. Mengenai hak politik warga NU, mereka bebas masuk organisasi politik mana pun untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Perumusan yang lebih pasti dari keputusan ini, sampai berita ini diturunkan, belum selesai disusun tim perumus. Rupanya, kebebasan warga NU untuk menyalurkan aspirasi politiknya lewat organisasi politik mana pun tak berarti otomatis NU akan keluar dari PPP. "NU tak mungkin memutuskan hubungan dengan Partai Persatuan Pembangunan karena orang NU di sana terlalu banyak," kata Abdurrahman Wahid. Diingatkannya hubungan historis NU dan PPP: pada 1973, NU merupakan salah satu penanda tangan deklarasi pembentukan PPP. Yang belum jelas apakah deklarasi itu bisa dianggap hilang karena fusi PPP telah tuntas. Berbagai keputusan ini nantinya akan dibawa dalam muktamar NU, yang menurut jadwal akan diselenggarakan tahun depan. Waktu muktamar belum pasti sekalipun PB NU kelompok Idham Chalid telah menetapkan waktunya: April. Mereka bahkan telah membentuk sebuah panitia yang diketuai Chalid Mawardi. Panitia muktamar itu jelas tidak diterima kelompok ulama. Sebuah sumber TEMPO menyebutkan, pemerintah sendiri tidak akan memberi izin penyelenggaraan muktamar NU jika panitia penyelenggaranya tetap dikuasai kelompok Idham. "Pemerintah ingin melihat NU bersatu lagi. Kepanitiaan muktamar harus diperluas dan meliputi kedua kelompok," ujar sumber itu. Yang jadi pertanyaan, mungkinkah NU akan bersatu dan menyelenggarakan suatu muktamar, yang merupakan pertemuan perdamaian dan kerukunan. Dalam Munas Ulama memang muncul juga suara-suara yang menghendaki rekonsiliasi. Di kalangan ulama tampaknya ada dua pengelompokan mengenai gagasan rekonsiliasi garis keras dan garis tengah. Garis keras, yang antara lain diwakili Jusuf Hasjim menolak rujuk dengan kelompok Idham. Jusuf Hasjim sendiri mengibaratkan pertikaian dalam NU sebagai permainan "rulet Rusia". Maksudnya, ada dua pilihan: berhasil mengambil dominasi kepemimpinan dan mengarahkan jalannya NU - atau hancur sama sekali. "Dominasi kepemimpinan harus di tangan syuriah. Kalau tidak, berarti hancur," katanya keras. Garis tengah bisa menerima rekonsiliasi. Namun, dalam satu hal, kelompok ini bersikap keras seperti halnya kelompok keras: Idham Chalid harus "out". Tokoh yang jadi pusat kontroversi, Idham Chalid, menolak memberi tanggapan mengenai Munas. "Saya tidak ingin diinterviu," katanya tatkala ditemui seusai bersembahyang Jumat di Masjid Daruttaqwa, Cipete, Jakarta Selatan, di kompleks pesantrennya Darul Maarif. Ia tampak sehat walau kelihatan lebih kurus. "Saya sudah menyerahkan semua persoalan sepenuhnya kepada Allah," katanya, yang sering diulang-ulangnya setiap kali ditanya wartawan. "Yang penting, saya tidak ingin berbuat yang bukan-bukan," tuturnya. Benarkah ia merencanakan "mundur secara terhormat" dalam muktamar tahun depan "Saya tidak ingin diinterviu," ia menolak lagi. Lagi-lagi dengan tersenyum. Rais Aam Ali Ma'shum menganggap soal Idham Chalid "sudah selesai". "Hubungan pribadi saya dengan dia baik. Tapi dia tidak bisa dipaksakan untuk kembali ke posisi semula. Saya memang sulit menerimanya kembali. Saya tidak ingin melihat ulama menjadi bulan-bulanan keputusannya," katanya tatkala ditemui di tengah Munas. Khatib Syuriah Abdurrahman Wahid juga tidak menolak rujuk. Menurut dia, panitia muktamar yang dibentuk Idham Chalid bisa saja nanti digabung dengan panitia yang dibentuk "kubu Sukorejo", dengan hak pada rais aam selaku penjabat ketua umum. "Tapi syaratnya satu: Idham tak ikut campur. Pokoknya, Pak Idham tak ikutlah," katanya. Apakah kubu Idham Chalid bisa menerima syarat itu masih harus ditunggu. Yang jelas, di kalangan kelompok ini tampaknya ada pandangan yang mengecilkan arti munas ulama. "Menurut Anggaran Dasar, munas ini hanya pengajian besar. Munas hanya berhak membahas masalah agama (masail diniyyah), dan tidak membicarakan organisasi dan politik," kata Chalid Mawardi. Menurut Anggaran Dasar NU, kedudukan munas ulama memang di bawah muktamar. Tapi, mengingat kuatnya usaha mengembalikan kedudukan ulama sebagai pemegang kekuasaan tertinggi NU, hasil keputusan munas ini akan mempunyai daya ikat. Sejauh mana usaha itu berhasil agaknya peran pemerintah masih akan menentukan: pihak mana yang akan dipilih. Tapi justru di situ soalnya. "Pemerintah tidak memihak salah satu pihak. Yang kami inginkan agar NU rukun lagi," kata seorang pejabat tinggi. Akankah sikap ini berubah? Mungkin tergantung dari hasil di Asembagus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus