MUNGKIN ini memang sebuah pesta rakyat. Puluhan ribu manusia
menyesaki Pondok Pesantren Salafiah Syafiiyah, Sukorejo,
Asembagus, Situbondo, Jawa Timur. Minggu 18 Desember lalu.
Memadati jalan masuk ke pondok sepanjang tiga kilometer dari
pintu gerbang di tepi jalan raya Situbondo-Banyuwangi, mereka
juga berdesakan di seluruh kompleks pondok seluas tujuh hektar
itu. Jalanan macet.
Sebagian mereka memang turut menghadiri peringatan Maulud Nabi
yang diselenggarakan di tempat yang sama sehari sebelumnya.
Namun, sebagian besar mereka hari itu datang untuk acara
istimewa itu: Munas (Musyawarah Nasional) Ulama NU. Maklumlah,
Munas Ulama terakhir yang pernah diselenggarakan di pesantren
terjadi 43 tahun yang lalu, di Solo, sebelum Republik lahir.
Pesantren Salafiah Syafiiah sendiri telah memajang diri selama
beberapa pekan sebelumnya. Tembok, pintu, dan jendela dikapur
atau dicat. Umbul-umbul beraneka warna berjajar rapi sepanjang
jalan masuk ke pondok. Bendera NU juga dipasang, meskipun di
hari itu praktis hampir tertutup sekitar 30 ribu kepala manusia
yang hadir. Termasuk sekitar 200 pedagang kaki lima yang dua
hari sebelum Munas telah menggelar dagangannya: antara lain
kalender, makanan dan buah-buahan.
Di udara, keramaian rakyat ini punya cirinya sendiri: suara
bacaan Al Quran yang tak pernah berhenti dari masjid pesantren
berbaur dengan lagu dangdut dan musik padang pasir penjual
kaset.
Itu bukan saja tanda simultannya suasana religius dan
kegembiraan, urusan akhirat dan urusan duniawi, tapi juga tanda
kebersamaan dalam perbedaan.
Tak satu pun dari sekitar 1.500 rumah di sekitar Pesantren luput
dari ketukan pintu pengunjung yang menumpang tidur. Banyak yang
terpaksa melepas kantuk di emper rumah. Perayaan Maulud Nabi di
Pesantren ini memang selalu ramai dihadiri masyarakat. Tapi,
seperti tutur seorang warga setempat pekan lalu "Belum pernah
pondok ini semeriah sekarang."
Sambutan masyarakat setempat terhadap Munas ini memang khas NU.
Ribuan nelayan dari Probolinggo sampai Banyuwangi sengaja
berlibur tidak turun ke laut untuk bisa menghadiri Munas dan
peringatan Maulud. Setiap kali seorang kiai muncul dari tempat
penginapannya, masyarakat berebutan menyalami.
Makanan peserta Munas seluruhnya berasal dari sumbangan
masyarakat: 70 ton beras, delapan ekor sapi (empat di antaranya
milik Kiai As'ad, pimpinan Pesantren), lebih dari 100 kambing,
dan 1.000 ayam. Masyarakat itulah "sebenarnya yang
menyelenggarakan Munas," kata seorang pembantu Kiai As'ad.
Pesantren putri untuk sementara dijadikan dapur umum. Selama 24
jam, sekitar 60 santri putri bertugas di sini. Mereka dibantu 50
orang ibu rumah tangga yang tinggal di sekeliling Pesantren.
Masakan yang dihidangkan sesuai dengan bahan yang ada: sop,
gulai, krengsengan, dan kare ayam. Untuk minum disediakan kopi
dan teh. Dua barak dibangun di sini untuk tempat makan bersama.
Untuk menjaga keamanan kompleks Pesantren, yang jauhnya cuma dua
kilometer dari pantai, dikerahkan satu peleton Banser (Barisan
Serba Guna) Ansor dan satu peleton Hansip. Selain itu Komando
Resort Situbondo menurunkan sekitar 25 petugas berpakaian
preman, yang sebagian di antaranya memakai pakaian haji. Mungkin
itu dianggap cara penyamaran yang cocok hari itu: sebuah
pertemuan nasional di sebuah pesantren.
Mengapa di pesantren? Tampaknya ini memang merupakan pencerminan
sikap para ulama NU untuk mengembalikan pesantren sebagai sumber
tradisi dan akar NU. Tekad ini juga tecermin dalam semboyan yang
dipakai. "Kembali ke khittah (garis perjuangan) NU 1926."
Terjemahannya: NU kembali sebagai organisasi sosial-keagamaan
seperti waktu didirikan dulu.
Dan Pesantren Salafiah Syafiiyah itulah yang agaknya terpilih.
Para ulama NU tampaknya ingin berada di bawah naungan wibawa
pimpinan pesantren ini, K.H. As'ad Syamsul Arifin. Setelah
meninggalnya Rais Aam Kiai Bisri Syansuri pada 1980, Kiai As'ad,
86, dianggap ulama sesepuh yang paling berwibawa di kalangan NU.
Pemerintah sendiri rupanya juga menghargai tinggi Kiai As'ad.
Presiden Soeharto bertemu dengannya beberapa kali.
Minggu pagi menjelang pukul 10.00 sirene mendengung pertanda
Munas segera akan dibuka. Kiai As'ad Syamsul Arifin Kiai Ali
Ma'shum, Kiai Machrus Ali, Kiai Adlan, Kiai Maskoer, dan
beberapa "orang tua" NU lain memasuki aula.
Aula itu sendiri, berukuran 50 m x 15 m, penuh sesak dan sumpek.
Beberapa kipas angin yang ditaruh di tengah ruangan tak mampu
mengusir rasa gerah. Sekitar 3.000 orang berada di sana, sedang
ribuan hadirin lainnya ditampung di bawah tenda. Atau, kalau
lebih tak untung, berpanas-panas di sekeliling aula. Mereka
menyaksikan jumlah peserta Munas sendiri cuma sekitar 500 orang,
ditambah 450 peninjau dan 350 undangan khusus. Para peserta
adalah para anggota PB Syuriah NU, Syuriah wilayah, dan pimpinan
pondok pesantren yang diundang.
Sekitar 99% hadirin yang hadir di aula memakai sarung dan
berkopiah. Zamroni Anwar Nuris, Imron Rosyali, dan beberapa
anggota pengurus besar NU bahkan memakai surban.
Suasana memang terlihat akrab - toh tak semua anggota PB Syuriah
NU datang. Yang tidak tampak antara lain Wakil Rais Aam Kiai
Anwar Musaddad, dan Rais Awwal Kiai Ali Yafie, sekalipun mereka
diundang. Idham Chalid sendiri tidak diundang. Ia dianggap tidak
lagi menjabat ketua umum PB NU, sehingga secara ex officio bukan
- lagi anggota PB Syuriah. Menurut sebuah sumber, politikus NU
yang terkenal, tapi juga jadi pokok kontroversi, ini tidak
diundangnya antara lain agar masalah pro dan kontra pengunduran
dirinya tempo hari tidak dibicarakan dalam Munas.
Pukul 10.00 acara pembukaan mulai. Abdurrahman Wahid, selaku
ketua Panitia Pelaksana Pusat Munas NU, tampil ke mimbar.
Pidatonya singkat, tanpa teks. "Munas ini perlu diselenggarakan
untuk mempersatukan langkah dan pikiran: berusaha mengompakkan
kembali barisan, untukmeraih kembali kejayaan NU," antara lain
katanya.
Kejayaan NU. Semboyan ini ternyata berkibar tinggi dalam Munas
dan muncul dalam banyak sambutan. Dalam pidato pembukaannya,
Rais Aam Ali Ma'shum menjanjikan juga "kembalinya kejayaan NU".
Kata Ali Ma'shum, "Kejayaan kembali NU adalah suatu hal yang
sangat mungkin kita capai tidak lama lagi, kalau saja kita
mencermati sejarah perjalanan NU dan pasang surut pamornya."
Menurut Ali Ma'shum, yang membawakan pidatonya dalam bahasa Arab
dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kejayaan
NU tercapai di sekitar 1967-1969. Sedangkan pada 1970-1982 NU
hidup dalam keadaan bertualang dan tak menentu. "Jika kenyataan
itu kita teliti, kejayaan NU terjadi di saat-saat NU berhubungan
erat dan kerja sama bantu-membantu dengan pemerintah. Dan
periode di mana NU hidup tak menentu adalah di saat-saat NU
renggang dengan pemerintah," katanya, yang disambut tepuk tangan
gemuruh hadirin.
Pimpinan Pesantren alafiah Syafiiah Kiai As'ad Syamsul Arifin
juga menyinggung soal kejayaan kembali NU. Dalam pidatonya, yang
juga diucapkan dalam bahasa Arab. "Dari pesantren tempat
berlangsungnya munas ini, mudah-mudahan lahir kembali kejayaan
NU," katanya. Kemunduran NU, menurut dia, bukan saja karena
renggang dengan pemerintah, tapi juga terjadi pada saat NU jauh
dari pesantren dan ulamanya. "Dalam dasawarsa terakhir ini tak
dapat dipungkiri bahwa fungsi ulama dan pondoknya mulai
terabaikan. Barangkali karena itulah dalam tubuh NU telah
terjadi pergeseran nilai-nilai kepemimpinan dari khittah 1926,"
katanya.
Mengenai hubungan NU dengan pemerintah, menurut Ali Ma'shum, dia
dan kawan-kawan PB NU telah merintis keeratan kembali hubungan
ini. Berbagai kesalahpahaman telah diusahakan penuntasannya
hingga tidak ada lagi curiga-mencurigai. Masalah yang menyangkut
tatanan nasional telah dikonsultasikan dengan pemerintah hingga
dimungkinkan jalan keluar yang menguntunkan semua pihak. "Jika
ikhtiar PB NU ini berhasil mulus tanpa rintangan, kejayaan
kembali NU merupakan keharusan sejarah yang, bagaimanapun, pasti
akan terjadi," katanya.
Kiai Ali juga menyebutkan dua hal penting yang tampaknya akan
ditegaskan dalam Munas. Pertama, dominasi kekuasaan dalam NU ada
di tangan ulama (syuriah). Ini ditegaskan dalam Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga NU hasil Muktamar Semarang. Kedua,
sikap NU terhadap Pancasila. NU, kata Ali Ma'shum, "selalu
sangat berkompeten untuk memagari Pancasila agar tetap lestari
secara murni dan konsekuen sebagai falsafah bangsa dan dasar
negara."
Menurut Ali Ma'shum, Pancasila adalah falsafah, sedangkan agama
adalah wahyu. Sila-sila dalam Pancasila pada dasarnya tidak
bertentangan dengan Islam, kecuali jika diisi tafsiran atau
perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk memahami
Pancasila, perlu pola berpikir yang filosofis. Repotnya, para
ulama lebih biasa berpikir menurut orientasi agama. "Maka, kita
pun menyadari bahwa masih perlu ada usaha meratakan keseragaman
pengertian Pancasila di kalangan ulama NU," katanya.
Ucapan Ali Ma'shum itu tampaknya merupakan isyarat garis baru
NU: meningkatkan hubungan baik dengan pemerintah, demi
tercapainya "kejayaan kembali NU." Salah satu ganjalan yang
tampaknya hendak dihilangkan adalah dengan menegaskan mengenai
sikap NU terhadap Pancasila.
Anggaran Dasar NU menyebut bahwa NU berasaskan Islam, sedangkan
landasan perjuangannya Pancasila dan UUD 1945. Penegasan bahwa
NU menerima Pancasila telah dinyatakan Kiai As'ad sewaktu
menemui Presiden Soeharto di Cendana awal Agustus lalu. Waktu
itu Kiai As'ad bahkan menyebut "umat Islam Indonesia wajib
menerima Pancasila, dan haram hukumnya bila menolak."
Yang jadi masalah, apakah NU menerima Pancasila sebagai asas
tunggal dan mencantumkannya dalam Anggaran Dasar. Di Jakarta
-setelah rencana sidan pleno PB NU yang diperluas awal Desember
lalu urung berlangsung karena tidak mendapat izin para pengurus
wilayah yang hadir kemudian mengeluarkan kebulatan tekad
menerima asas tunggal Pancasila. Pernyataan ini agaknya dibuat
untuk "mendahului" keputusan Munas. Tak heran bila kemudian
muncul tuduhan: para pengurus wilayah "dipaksa" menandatangani
kebulatan tekad itu.
Masalah ini ternyata seru dibicarakan di Situbondo. Yang
menambah ramai perdebatan adalah munculnya sebuah selebaran
pernyataan sikap. Selebaran itu ditandatangani 37 kiai dari 36
pesantren di Madura pada acara silaturahmi PB Syuriah dan
Syuriah wilayah di hari pertama Munas. Inti isi pernyataan yang
ditulis dalam bahasa Arab itu: yakin bahwa Munas tak akan
menerima asas tunggal Pancasila sebagai asas NU, sebelum RUU
Keormasan menjadi undang-undang.
K.H. Maskoer menganggap pernyataan itu salah alamat. "Mestinya
mereka mengirimkannya kepada pihak yang telah menerima asas
itu," ujarnya. Tapi Kiai Ahmad Sarkowi, koordinator NU
se-Madura, menolak. "Kami diundang kemari untuk membicarakan
masalah itu. Di sini kami berhak menyatakan pendapat. Kalau
pendapat kami itu ditolak karena alasan dan argumen kuat yang
mengalahkannya, itu 'kan soal nanti," katanya.
Sementara itu, para perumus selebaran tak sendirian. Permohonan
agar Munas menolak Pancasila sebagai asas tunggal juga
dikeluarkan oleh HMI Pusat dan KAHMI (Keluarga Alumni HMI)
Surabaya, pada hari pembukaan.
Menghadapi tuntutan seperti itu, panitia Munas rupanya sudah
siap. Dalam sidang pleno pertama yang berlangsung Minggu malam
hingga pukul 02.00, dibahas makalah K.H. Achmad Siddiq, salah
seorang mustasyar (penasihat) PB Syuriah NU. Tampaknya, makalah
ini dijadikan senjata andalan panitia pengarah, hingga pidato
pengarahan Rais Aam urung dilakukan. Makalah Achmad Siddiq
dianggap telah mencukupi.
Makalah tipis delapan halamar itu terdiri dari dua bagian.
Bagiar pertama membahas hakikat NU dan kedudukan ulama di
dalamnya. Intisarinya: kedudukan ulama dalam NU adalah kedudukan
sentral, sebagai pendiri dan. pengendali NU serta panutan warga.
Tatkala kedudukan ulama mantap, mantap pula perjalanan NU.
Tapi sejarah mencatat bahwa telah terjadi pergeseran kedudukan
ulama: tenaga "teknokrat" (tanfidziah), yang seharusnya menjadi
orang kepercayaan ulama, ada yang bersikap menentang. Bahkan ada
yang menantang ulama. Sikap ini, menurut Kiai Siddiq,
menggoyangkan sendi-sendi NU.
Keputusan "kembali kepada khittah 1926," yang merupakan usaha
memulihkan kedudukan dan fungsi ulama, memang sudah lama diambil
Tapi hingga kini belum terlaksana. Untuk itu, Kiai Siddiq
mengusulkan agar diambil langkah organisatoris: mempertegas
wewenang ulama.
Rumusan yang diajukannya, antara lain, pengurus NU di semua
tingkatan adalah pengurus syuriah, dan yang dipilih oleh
musyawarah hanyalah pengurus syuriah. Pengurus pelaksana
(tanfidziah) diangkat dan diberhentikan pengurus syuriah, dengan
mempertimbangkan hasil musyawarah.
Seraya mengarah ke konsolidasi kekuasaan ulama itu, Kiai Siddiq
juga membahas hak berpolitik warga NU. Menurut dia, hak ini
merupakan hak asasi seluruh warga negara. Tapi NU "bukan wadah
kegiatan berpolitik praktis." Diusulkannya rumusan agar NU
memberikan kebebasan penuh pada warganya "untuk masuk atau tidak
masuk suatu organisasi politik yang mana pun." Mereka bisa
menyalurkan aspirasi politiknya melalui organisasi pilihannya
selama dipandang bermanfaat dan tidak merugikan Islam dan
perjuangan umat Islam.
Bagian kedua makalah Kiai Siddiq mengupas Pancasila. Bagian ini
lebih panjang lebar dan mengesankan sikap "berhati-hati". Di
dalamnya makalah dilengkapi beberapa kutipan ayat Quran serta
hadis. Menurut Kiai Siddiq, meski GBHN hanya menentukan asas
bagi partai politik dan Golkar, seruan dan ajakan "yang sangat"
dari pemerintah agar seluruh ormas mencantumkan asas tunggal
Pancasila dalam anggaran dasarnya "patut dipertimbangkan dengan
wajar, dengan kejernihan pikiran dan kesungguhan."
Bagi NU, pencantuman asas pada anggaran dasar bukan hal mutlak.
Pada Anggaran Dasar NU 1926 bahkan tidak dicantumkan asas apa
pun. Asas Islam baru dicantumkan dalam anggaran dasar setelah NU
menjadi partai politik. Kemudian ditambah, sebagai landasan
perjuangan, "Pancasila dan UUD 1945". Pencantuman asas Islam
ini, menurut Kiai Siddiq, tidak dengan pengertian Islam sebagai
ideologi politik karena Islam tidak boleh disetingkatkan dengan
ideologi. Islam adalah agama wahyu. Ideologi, sementara itu,
hasil pikiran manusia.
Di samping bisa memahami ajakan pemerintah, Kiai Siddiq
menegaskan bahwa agama bagi suatu organisasi keagamaan, seperti
halnya bagi pemeluknya, merupakan sesuatu yang prinsipiil.
Karena itu, NU, menurut Kiai Siddiq, menanggapi ajakan
pemerintah itu dengan pertimbangan: pemerintah tidak mengajak NU
menerima asas tunggal Pancasila dengan, pada saat yang sama,
mengesampingkan Islam. NU menerima Pancasila berdasarkan
pandangan syariah, bukan berdasarkan pandangan politik. NU tetap
berorientasi sepenuhnya kepada ajaran, akidah, dan syariah
Islam.
Maka, Siddiq mengusulkan kesimpulan: "NU dapat dibenarkan
memenuhi ajakan pemerintah tentang asas tunggal Pancasila dengan
pengertian hal itu tidak berarti NU mengesampingkan Islam".
Diusulkannya agar Anggaran Dasar NU diubah, antara lain dengan
mengadakan mukadimah yang mencantumkan sikap dasar NU, terutama
mengenai orientasi penuh NU terhadap agama Islam. Selain itu,
pasal-pasal Anggaran Dasar perlu disusun kembali dengan
mencantumkan asas tunggal Pancasila dan menyesuaikan berbagai
pasal dengan penegasan dan pemantapan langkah "Kembali kepada
khittah l926".
Pembahasan masalah asas tunggal Pancasila ini, yang dilakukan
oleh Komisi Khittah, ternyata yang paling seru. Kabarnya, dari
30 pembahas, hanya dua orang yang menyetuJui diterimanya asas
tunggal. Ada pendapat menolak yang menuduh sikap menerima
sebagai tindakan "murtad". "Di kalangan peserta memang ada
kecurigaan, takut kalau kalimat Islam hilang dan diganti dengan
yang lain," kata salah seorang pimpinan komisi.
Kun Solahuddin, pengurus wilayah Jawa Timur, menyetujui menerima
asas tunggal Pancasila dengan dalih, "Itu 'kan hanya istilah
dalam bahasa saja. Yang penting, kita tetap Islam". Dalih Kun
ini ternyata kurang mendapat sambutan peserta lain.
Menurut sebuah sumber, terkejut karena melihat gencarnya
tantangan terhadap asas tunggal Pancasila, para sesepuh NU yang
duduk dalam panitia memutuskan untuk "memaksakan" diterimanya
prinsip tadi. "Alasan yang akan dipakai hukum: kalau tak
bertentangan dengan Quran, jalan terus," kata sumber itu.
Karena terdengar ada rencana pemaksaan, ada sementara kiai yang
sengaja tak hadir dalam sidang. Para penentang asas tunggal
Pancasila rupanya tidak mempunyai konsep alternatif. Untunglah,
sekitar pukul 01.00 Selasa dinihari tercapai titik temu di
antara kelompok penentang dan penerima: keduanya menolak jika
kalimat "Islam" ditiadakan.
Melihat perkembangan hingga Selasa pagi itu, tampaknya, rumusan
Kiai Siddiq akan bisa diterima Munas. Namun, pemerintah agaknya
perlu memberi jaminan yang lebih tegas untuk meredakan
kekhawatiran banyak ulama NU.
Rumusan lain Kiai Siddiq, kabarnya, hampir seluruhnya diterima.
Ini berarti keputusan untuk kembali ke khittah NU 1926. Mengenai
hak politik warga NU, mereka bebas masuk organisasi politik mana
pun untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Perumusan yang lebih
pasti dari keputusan ini, sampai berita ini diturunkan, belum
selesai disusun tim perumus.
Rupanya, kebebasan warga NU untuk menyalurkan aspirasi
politiknya lewat organisasi politik mana pun tak berarti
otomatis NU akan keluar dari PPP. "NU tak mungkin memutuskan
hubungan dengan Partai Persatuan Pembangunan karena orang NU di
sana terlalu banyak," kata Abdurrahman Wahid. Diingatkannya
hubungan historis NU dan PPP: pada 1973, NU merupakan salah satu
penanda tangan deklarasi pembentukan PPP. Yang belum jelas
apakah deklarasi itu bisa dianggap hilang karena fusi PPP telah
tuntas.
Berbagai keputusan ini nantinya akan dibawa dalam muktamar NU,
yang menurut jadwal akan diselenggarakan tahun depan. Waktu
muktamar belum pasti sekalipun PB NU kelompok Idham Chalid telah
menetapkan waktunya: April. Mereka bahkan telah membentuk sebuah
panitia yang diketuai Chalid Mawardi.
Panitia muktamar itu jelas tidak diterima kelompok ulama. Sebuah
sumber TEMPO menyebutkan, pemerintah sendiri tidak akan memberi
izin penyelenggaraan muktamar NU jika panitia penyelenggaranya
tetap dikuasai kelompok Idham. "Pemerintah ingin melihat NU
bersatu lagi. Kepanitiaan muktamar harus diperluas dan meliputi
kedua kelompok," ujar sumber itu.
Yang jadi pertanyaan, mungkinkah NU akan bersatu dan
menyelenggarakan suatu muktamar, yang merupakan pertemuan
perdamaian dan kerukunan.
Dalam Munas Ulama memang muncul juga suara-suara yang
menghendaki rekonsiliasi. Di kalangan ulama tampaknya ada dua
pengelompokan mengenai gagasan rekonsiliasi garis keras dan
garis tengah. Garis keras, yang antara lain diwakili Jusuf
Hasjim menolak rujuk dengan kelompok Idham.
Jusuf Hasjim sendiri mengibaratkan pertikaian dalam NU sebagai
permainan "rulet Rusia". Maksudnya, ada dua pilihan: berhasil
mengambil dominasi kepemimpinan dan mengarahkan jalannya NU -
atau hancur sama sekali. "Dominasi kepemimpinan harus di tangan
syuriah. Kalau tidak, berarti hancur," katanya keras.
Garis tengah bisa menerima rekonsiliasi. Namun, dalam satu hal,
kelompok ini bersikap keras seperti halnya kelompok keras: Idham
Chalid harus "out".
Tokoh yang jadi pusat kontroversi, Idham Chalid, menolak memberi
tanggapan mengenai Munas. "Saya tidak ingin diinterviu," katanya
tatkala ditemui seusai bersembahyang Jumat di Masjid Daruttaqwa,
Cipete, Jakarta Selatan, di kompleks pesantrennya Darul Maarif.
Ia tampak sehat walau kelihatan lebih kurus.
"Saya sudah menyerahkan semua persoalan sepenuhnya kepada
Allah," katanya, yang sering diulang-ulangnya setiap kali
ditanya wartawan. "Yang penting, saya tidak ingin berbuat yang
bukan-bukan," tuturnya.
Benarkah ia merencanakan "mundur secara terhormat" dalam
muktamar tahun depan "Saya tidak ingin diinterviu," ia menolak
lagi. Lagi-lagi dengan tersenyum.
Rais Aam Ali Ma'shum menganggap soal Idham Chalid "sudah
selesai". "Hubungan pribadi saya dengan dia baik. Tapi dia tidak
bisa dipaksakan untuk kembali ke posisi semula. Saya memang
sulit menerimanya kembali. Saya tidak ingin melihat ulama
menjadi bulan-bulanan keputusannya," katanya tatkala ditemui di
tengah Munas.
Khatib Syuriah Abdurrahman Wahid juga tidak menolak rujuk.
Menurut dia, panitia muktamar yang dibentuk Idham Chalid bisa
saja nanti digabung dengan panitia yang dibentuk "kubu
Sukorejo", dengan hak pada rais aam selaku penjabat ketua umum.
"Tapi syaratnya satu: Idham tak ikut campur. Pokoknya, Pak Idham
tak ikutlah," katanya.
Apakah kubu Idham Chalid bisa menerima syarat itu masih harus
ditunggu. Yang jelas, di kalangan kelompok ini tampaknya ada
pandangan yang mengecilkan arti munas ulama. "Menurut Anggaran
Dasar, munas ini hanya pengajian besar. Munas hanya berhak
membahas masalah agama (masail diniyyah), dan tidak membicarakan
organisasi dan politik," kata Chalid Mawardi.
Menurut Anggaran Dasar NU, kedudukan munas ulama memang di bawah
muktamar. Tapi, mengingat kuatnya usaha mengembalikan kedudukan
ulama sebagai pemegang kekuasaan tertinggi NU, hasil keputusan
munas ini akan mempunyai daya ikat.
Sejauh mana usaha itu berhasil agaknya peran pemerintah masih
akan menentukan: pihak mana yang akan dipilih. Tapi justru di
situ soalnya. "Pemerintah tidak memihak salah satu pihak. Yang
kami inginkan agar NU rukun lagi," kata seorang pejabat tinggi.
Akankah sikap ini berubah? Mungkin tergantung dari hasil di
Asembagus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini