Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Pergolakan di dua daerah

Penulis : ichlasul amal penerbit : gadjah mada university press, yogyakarta, 1992, 229 halaman. resensi oleh : abdurrachman suryomiharjo

10 Oktober 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASA lima belas tahun sebelum dan sesudah Orde Baru telah dianalisa dalam buku ini. Sudut pandangnya adalah tantangan-tantangan daerah terhadap integrasi wilayah Indonesia. Dua daerah, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan, telah dibandingkan untuk mendapatkan jawaban integrasi nasional yang telah dicapai dalam hubungan pemerintah Pusat-Daerah yang pada tahun 1950-an mempunyai peranan dalam gerakan daerah. Kemudian, sejak 1965 daerah itu dapat dikendalikan oleh Pusat. Setelah memberikan gambaran berdasarkan interpretasi sejarah sosiologis mengenai masyarakat Minangkabau dan Sulawesi Selatan, buku ini mencoba memberikan pen jelasan dari khasanah berbagai studi yang mengupas: -adanya dikotomi struktur ekonomi antara Pulau Jawa dan pulau-pulau lain di luarnya. Sejalan dengan itu tumbuh dikotomi kekuatan politik PNI di Jawa dan Masyumi di luar Jawa. -adanya kegagalan Pemerintah setelah kemerdekaan untuk melaksanakan desentralisasi bagi pemerintahan setempat dan otonomi daerah yang luas. -adanya pola tertentu dalam hubungan sipil-militer. Ini sejalan dengan tumbuhnya polarisasi politik dan kultural. Penyebabnya antara lain perbedaan latar belakang sosial dan politik para perwira TNI dan para pemimpin politik. -adanya perdebatan sebelum tahun 1965 yang berhubungan dengan dasar negara Republik Indonesia: apakah Islam atau Pancasila. Studi ini menunjukkan beberapa contoh adanya isu seperti itu pada masa pergerakan nasional, penolakan barisan Hisbullah dan Sabilillah untuk berhijrah dari Jawa Barat, dan mendorong gerakan Darul Islam. Pemilihan Umum 1955 mempertajam isu ini, yang mem berikan pemahaman lebih dalam mengenai kekurangan dan kekuatan yang ada pada masa percobaan Demokrasi Liberal maupun Demokrasi Terpimpin. Studi ini mencari dimensi baru atas empat penjelasan keadaan tantangan daerah dan menganalisa kecenderungan sentralistis dari Orde Baru, yang berhasil mengendalikan pulau-pulau di luar Jawa dengan lebih baik. Bahkan berhasil ditumbuhkan loyalitas dari dalam, yang tak dicapai oleh pemerintah sebelumnya. Penjelasan yang berdasarkan pemahaman proses dan analisa historis politik dan sosiologis dibagi mulai dari Bab II yang menguraikan perbedaan politik kolonial terhadap daerah Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan sebelum tahun 1946. Bab III menguraikan konflik Pusat Daerah pada masa Demokrasi Liberal, yang hampir saja membawa bangsa Indonesia ke jurang disintegrasi. Dianalisa peran kabinet-kabinet yang didominasi oleh "para administrator" (1949-1953) dan "para pembuat solidaritas" (1953-1957). Bab berikutnya menganalisa tantangan, akomodasi, dan penindasan dalam masa transisi dan Demokrasi Terpimpin. Implikasi pemberontakan PRRI dan Permesta serta kekalahannya disoroti dari daerah itu sendiri maupun dari "Politik Kiri dan Kanan" di Jakarta, yang tak saja membelah partai-partai politik, tapi juga di dalam Angkatan Darat. Prosesnya memuncak dalam Peristiwa G 30 S-PKI, yang memberikan kesempatan munculnya Orde Baru dan pengelompokan kembali kekuatan daerah. Tiga tahun pertama masa Orde Baru merupakan "goyang bandul jam antara Politik dan Ekonomi" di Jakarta (Bab V). Ini disusul oleh masa konsolidasi Orde Baru dan makin stabilnya sistem hubungan Pusat dan Daerah, antara 1969 dan 1979. Proses politik dan sosial itu membawa studi ini berkesimpulan bahwa pertumbuhan faktor-faktor di daerah mendukung stabilitas Orde Baru. Pimpinan Angkatan Bersenjata, khususnya Angkatan Darat, makin stabil setelah PRRI dan Permesta ditumpas. Peranan partai-partai politik makin dikurangi, dan pimpinannya dipilih dari orang-orang yang pro-Pemerintah. Birokrasi sipil didorong untuk menunjukkan loyalitas tunggal lewat Golkar. Setelah Pemilu 1971, sembilan partai politik dijadikan dua partai: PPP dan PDI. Daerah-daerah mulai mendapatkan sumber dana keuangan yang melimpah dari bantuan luar negeri, investasi asing, melonjaknya ekspor, nilai ekspor, dan lain sebagainya. Sumber dana keuangan ini menambah peranan Pemerintah untuk memperluas pengaruhnya dan mempertahankan loyalitas penduduknya. Proses keadaan yang jalin-menjalin itu merupakan jaringan yang mengikat keadaan stabil di kedua daerah itu. Namun dalam masa Orde Baru masih tumbuh gerakan protes di Aceh, Irian Jaya, dan Timor Timur. Tiadanya keterlibatan unsur-unsur ABRI membuat gerakan protes itu tak segawat PRRI dan Permesta. Buku yang baik ini menyoroti sisi lain setelah bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan, yakni hubungan pemerintah Pusat-Daerah dengan latar belakang sejarah politik dan sosial. Abdurrachman Surjomihardjo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus