KONSEP-konsep tradisional Jawa biasanya didasarkan atas budaya - Hindu, Islam, dan ini-itu. Konsep deva-raja, misalnya konsep feodalisme, atau konsep manunggaling-kawula-gusti. Tetapi semua konsep mengenal struktur masyarakat sebenarnya didirikan atas dasar sosial ekonomi, termasuk kepadatan penduduk. Memang konsep masyarakat Jawa tradisional sering dihubungkan dengan masyarakat agraris, tapi jarang sekali dengan demografi. Pada tahun 1700, penduduk Jawa diperkirakan berjumlah dua atau dua setengah juta. Menurut perhitungan Raffles pada 1814, jumlah itu tercatat 4 1/2 juta. Angka-angka itu salah, kata orang. Memang tetapi untuk sementara kita tidak memiliki perkiraan lain. Yang lebih penting adalah ini: selama berabad-abad penduduk Jawa berjumlah rendah - dapat dibandingkan dengan penduduk Kalimantan kini, atau, lebih dramatis, Irian Jaya. Baru kira-kira pada akhir-akhir abad ke-19 para pejabat Belanda melaporkan bahwa di daerah-daerah mulai terdapat masalah kekurangan tanah. Pada 1905 penduduk Jawa menjadi 30 juta - dan terdengarlah, sejak 1900, bahwa perbaikan tingkat hidup petani Jawa harus diselesaikan dengan transmigrasi, irigasi, dan semboyan semboyan politik etis Hindia Belanda yang lain. Jadi, kebanyakan lembaga dan budaya Jawa yang kita sebut tradisional sebenarnya dibentuk dalam keadaan kepadatan penduduk rendah seperti itu. Kini penduduk Jawa mencapai hampir 100 juta mungkin. Tentu, di samping perubahan demografi, ada perubahan-perubahan lain di bidang ekonomi, teknologi, pasaran, perubahan dari masyarakat yang relatif homogen ke masyarakat majemuk, dan status Jawa yang menjadi bagian dari Kepulauan Indonesia. Sebaliknya, perubahan-perubahan itu terjadi dalam masa kolonial yang cenderung membekukan keadaan - seperti antara lain terungkap dalam politik hukum adat Hindia Belanda. Kini, setelah 40 tahun merdeka, mungkin agak keterlaluan kalau kita masih menyalahkan kolonialisme Belanda yang sudah mendiang - toh kita tidak dapat lepas dari pembekuan mereka atas konsep-konsep tradisional itu karena kesadaran diri demikian ditekan olehnya. Berikut ini hanya satu aspek dari akibat pembekuan yang dimaksud. Kepadatan penduduk rendah berarti tanah yang luas. Orang dapat beranak semaunya, sebab untuk semua yang dilahirkan ada pekerjaan dan penghasilan. Tanah adalah milik Tuhan atau Raja (Gusti) bcrarti milik umum. Bahkan orang yang tidak puas dengan Yang Dipertuan-Nya dapat lari - entah dengan membuka tanah baru di hutan atau memberikan loyalitasnya kepada penguasa lain. Kontrol terhadap manusialah ukuran kekuatan ekonomi, politik, dan militer - bukan penguasaan tanah. Hak milik tanah bukan soal, dan sampai sekarang masalah ini--registrasi tanah pribadi, kadaster, dan lain-lain - masih sangat kacau. Karena tanah yang luas, karena penghasilan sebagian besar masyarakat Jawa didapat dari padanya, dan - juga - karena tidak diperlukan hak milik jelas, maka juga tidak diperlukan nama pribadi yang tetap. Sampai kini orang Jawa tidak memiliki nama pribadi dan nama keluarga yang permanen itu. Ia dengan enaknya dapat mengganti namanya. Seorang anak raja, yang masa kecilnya bernama Heru, kalau sudah dewasa atau menikah disebut Bendoro Pangeran Pajang. Seorang anak priayi yang bernama Sunjoto kemudian bernama Raden Panji Sosronegoro, dan kalau menjadi panglima menjadi Yudonegoro. Apa yang terjadi di kalangan priayi atasan mungkin tidak demikian penting seperti di kalangan bawahan. Seorang desa yang sederhana, Yadi, dapat mengganti namanya menjadi Yadicipta, Yadi Bagus, atau malah Guritno. Kini malahan bangkit kebiasaan orang untuk mengganti namanya dengan huruf-huruf atau inisial. Teman saya, Farid, yang di Jakarta menjadi Ferry, dan di rumah terkenal sebagai Mulyadi, memakai-nama baru Dwi-Warna, dan karena semuanya terlalu panjang, ia menulis namanya Farid D.W. Ada orang yang bernama Heri Nusirwan Retno Paramita yang mengubahnya menjadi Herry NRP. Orang biasanya mengatakan, perubahan nama hanya berlangsung oleh sebab-sebab magis - karena anak sering sakit, karena orang naik pangkat, atau oleh perubahan status dari belum kawin ke sudah kawin. Namun, dalam praktek, hampir setiap orang Jawa dari desa, misalnya saja, kalau masuk ke kota - khususnya Jakarta - mengganti namanya dengan yang lebih keren. Termasuk perubahan yang menyangkut nama-nama sesudahnya, atau yang di Barat dikenal sebagai nama keluarga. Pun dengan tokoh modern yang terkenal, ini terjadi. Di depan nama presiden kita yang pertama, Soekarno, wartawan luar negeri sering memasang nama Ahmad - karena setiap orang, menurut konsep Barat, harus memiliki nama kecil. Presiden Soekarno membiarkan saja - mungkin terlalu rumit untuk menjelaskannya. Tetapi di Barat, nama tetap, yakni nama keluarga, dahulu juga tidak ada. Di Nederland, misalnya, juga di Prancis, nama keluarga baru dipaksakan pada zaman Napoleon. Nama ini berdasarkan nama ayah, seperti Jan Dirkszoon (anak Jan), atau dari kota asal (Jan Hoorn, dari Kota Hoorn), atau dari profesi (Dik Bakker, Dik tukang roti), dan seterusnya. Di Inggris dan berbagai bagian Jerman (Prusia), nama keluarga ini sudah secara hukum diadakan lebih dulu. Mengapa di Barat, juga di bagian dunia yang lain, perubahan nama hanya dilakukan secara hukum? Tak lain karena naiknya kepadatan penduduk, modernisasi masyarakat, dan menjadi majemuknya masyarakat. Kondisi-kondisi itu dialami Indonesia, malah mungkin sudah lama, tapi terjadilah pembekuan kolonial yang sudah disebut. Khususnya di Jawa. Dengan meningkatnya jumlah penduduk, hak milik orang harus dapat dipastikan untuk menghindari berbagai konflik. Tidak ada lagi "tanah kosong". Dan, bila dulu orang tidak memerlukan ijazah, maka dengan berkembangnya profesionalisme ijazah diperlukan - dan pencantuman nama yang tetap berhubungan dengan pemberian status dan keahlian. Dan milik tanah serta ijazah hanyalah dua contoh dari kebutuhan masyarakat kita akan jaminan pribadi melalui kepastian. Tetapi sudah ada berbagai jawaban. Misalnya, dalam dokumen resmi pengadilan sering disebut terhukum bernama Ali bin Anu atau Hesti binti Ani. Kecuali untuk keluarga atasan atau priayi, yang nama keluarganya - dan bukan nama ubahan - sudah lebih dahulu ada. Di samping itu, di daerah-daerah tempat struktur marga yang kuat berada, dengan mudah nama marga dijadikan nama keluarga. Seperti biasa, masyarakat sendiri sudah menjawab berbagai kebutuhan sebelum ada kebijaksanaan yarg resmi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini