Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Majalah terkemuka The Economist edisi 20-26 Februari 2016 memuat laporan utama tentang situasi terbaru perekonomian global. Intinya, seluruh persenjataan ekonomi sudah dikeluarkan melawan perlambatan global, tapi hasilnya tetap belum meyakinkan. Ancaman stagnasi panjang tetap ada di depan mata.
Mario Draghi, bos Bank Sentral Eropa, menyatakan akan melakukan apa pun (whatever it takes) untuk menyelamatkan mata uang euro. Kebijakan moneter tak konvensional (unconventional monetary policy) dijalankan dengan cara menekan suku bunga mendekati nol. Tapi hasilnya belum mampu memompa likuiditas keluar dari brankas perbankan. Karena itu, suku bunga terus ditekan bahkan ke teritori negatif. Kebijakan moneter telah masuk ke fase progresif, bahkan radikal.
Jepang pun mulai mengikuti irama kebijakan moneter dengan penetapan kebijakan suku bunga negatif. Bersama Swiss, Swedia, Denmark, dan kawasan Eropa, Jepang tergabung dalam kelompok negara dengan suku bunga negatif. Sedangkan bank sentral Amerika Serikat, The Fed, yang telah mulai menaikkan suku bunganya, sangat mungkin kian terbatas ruangnya. Maka kenaikan suku bunga The Fed sulit berlanjut.
Selain kebijakan moneter radikal, kebijakan fiskal di banyak negara tak kalah progresif. Defisit dibiarkan menggelembung dalam besaran yang makin mengkhawatirkan. Utang pemerintah Amerika Serikat meningkat dari 64 persen pada 2008 menjadi 104 persen terhadap perekonomian (PDB) pada 2015. Di kawasan Eropa, utang publik naik signifikan dari 63 persen menjadi 93 persen pada periode yang sama. Sedangkan di Jepang lonjakannya cukup drastis, dari 176 persen menjadi 237 persen terhadap PDB.
Gabungan antara kebijakan moneter dan fiskal yang progresif menghasilkan perekonomian dengan likuiditas membanjir. Kebijakan tersebut sering disebut sebagai helicopter drop.
Ke mana muara situasi perekonomian global ini? Tak ada satu pun yang mampu memberi prediksi meyakinkan. Semua skenario masih terbuka lebar. Salah satu isu penting yang patut diwaspadai oleh kita sebagai negara berkembang adalah apa dampak situasi global tersebut bagi dinamika perekonomian domestik.
Ketidakpastian Global
Sudah pasti perekonomian global benar-benar dalam bayang-bayang ketidakpastian. Peliknya persoalan di negara maju terlihat mulai bergeser ke negara berkembang. Goldman Sachs baru-baru ini melansir laporan mengenai gelombang ketiga krisis finansial global. Gelombang pertama menyerang Amerika Serikat dalam krisis yang dipicu oleh subprime mortgage pada 2008. Gelombang kedua menyerang Eropa dan gelombang ketiga melanda negara berkembang, khususnya Cina.
Di negara berkembang, krisis ditandai oleh melonjaknya leverage (kewajiban utang) secara signifikan disertai merosotnya kinerja perekonomian, khususnya investasi dan ekspor. Investasi merosot akibat melemahnya pasokan likuiditas dari negara maju, sedangkan ekspor melempem karena harga komoditas jatuh, selain karena perlambatan ekonomi global.
Tak lama setelah rilis mengenai gelombang ketiga krisis tersebut, lembaga investasi ini kembali mengejutkan melalui pernyataannya dalam situs Bloomberg mengenai efektivitas sistem kapitalisme global. Terhadap seluruh dinamika krisis ini, Goldman Sachs Group Inc mempertanyakan: apakah sistem kapitalisme masih efektif?
Pertanyaan ini merujuk pada dinamika siklus bisnis yang terjadi secara ekstrem. Margin keuangan sektor korporasi bisa terombang-ambing dalam siklus yang sulit diikuti. Karena itu, lembaga investasi ini menyarankan para investment banker melihat jauh ke depan agar tak terjebak pada perspektif jangka pendek belaka (myopic).
Masalah perekonomian global memang benar-benar rumit. Bahkan, ketika seluruh instrumen kebijakan telah dikeluarkan secara all out, perekonomian tak juga meningkat. Karena itu, terjadi potensi perubahan struktural orientasi politik di berbagai negara. Biasanya, ketika krisis hebat tak kunjung reda, masyarakat rindu pemerintah berwatak sosialis. Pendekatan ini dianggap mampu melindungi kepentingan masyarakat domestik, sambil melakukan diskoneksitas dengan dunia regional dan global.
Paling tidak hal inilah yang belakangan terjadi di Inggris, ketika referendum cenderung menyetujui negara itu keluar dari Uni Eropa. Risiko terjadinya "Brexit" atau Britain Exit akan terus meningkat ketika persoalan ekonomi terus berlarut-larut.
Konsolidasi Fiskal
Sementara perekonomian global tengah porak-poranda akibat krisis, tak begitu situasi perekonomian domestik kita. Di antara banyak negara yang tengah bergulat antara hidup dan mati, perekonomian Indonesia masih tergolong ringan serangannya. Benar bahwa prospek perekonomian masih belum jelas, tapi perlambatan tampaknya mulai terhenti. Artinya, saatnya untuk kembali memasuki siklus naik. Masalahnya, seberapa naik?
Sepanjang 2015, perekonomian hanya mampu tumbuh 4,73 persen—terkoreksi dari tahun sebelumnya sebesar 5,02 persen. Sedangkan pada 2016 pertumbuhan diproyeksikan mencapai paling tidak 5,2 persen. Terlihat, meski terjadi perbaikan situasi, sulit mendorong peningkatan secara signifikan.
Di dalam negeri, upaya paling radikal dilakukan pada sisi peraturan pemerintah, yang sepanjang lima bulan terakhir sangat intensif mengeluarkan paket kebijakan hingga paket kesepuluh. Kebijakan tersebut mencakup ratusan peraturan di berbagai sektor. Harapan besarnya: terjadi relaksasi aturan, sehingga investasi bisa menggeliat. Kita tahu, salah satu yang mampu mendorong kinerja perekonomian domestik adalah investasi.
Kebijakan bank sentral pun sejalan. Selama dua bulan berturut-turut, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) diturunkan 25 basis point menjadi 7 persen. Demikian pula giro wajib minimum primer, yang diturunkan 1 persen menjadi 6,5 persen pada akhir Februari. Dengan diturunkannya kewajiban bank menempatkan dananya di bank sentral, kredit berpotensi diperbesar.
Setelah deregulasi besar-besaran dan relaksasi kebijakan moneter, apa lagi yang masih tersisa? Jawabannya adalah kebijakan fiskal. Jadi pertanyaannya sekarang: bagaimana kebijakan fiskal harus memainkan navigasinya untuk menyelamatkan perekonomian domestik?
Fiskal selalu punya dua sisi: penerimaan dan pengeluaran. Pada sisi pengeluaran, ada berita baik. Pada akhir Januari lalu, penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sudah mencapai 8 persen atau senilai Rp 167 triliun. Bandingkan dengan penyerapan pada tahun sebelumnya sekitar Rp 106 triliun. Pemerintah berhasil mempercepat proses tender proyek sehingga pada bulan pertama saja sudah terjadi percepatan penyerapan anggaran. Semoga ini menjadi tanda baik bagi kinerja penyerapan anggaran sepanjang tahun ini.
Berita baik berikutnya, proporsi pengeluaran pemerintah relatif besar untuk pembangunan infrastruktur. Tahun ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat memperoleh anggaran cukup besar senilai Rp 104 triliun. Secara umum, arah fiskal kita sudah baik, terutama dari sisi pengeluaran. Bagaimana dari sisi pendapatannya?
Paling tidak ada dua agenda besar dari sisi penerimaan. Pertama, target penerimaan pajak 2016 sebesar Rp 1.368 triliun akan sulit tercapai. Pada 2015, penerimaan pajak hanya Rp 1.055 triliun atau terjadi penurunan dari target sebesar Rp 239 triliun. Bagaimana dengan tahun ini? Sebaiknya Kementerian Keuangan realistis dan memberi skenario yang lebih bisa diterima publik.
Kedua, asumsi harga minyak pada APBN 2016 sebesar 50 dolar per barel sepertinya tak relevan lagi, mengingat harga minyak dunia sekarang berada pada kisaran US$ 30 per barel. Untuk itu, APBN 2016 perlu direvisi dalam hal asumsi harga minyak pada kisaran US$ 30-40 per barel. Asumsi harga minyak ini begitu menentukan kalkulasi penerimaan, karena menyangkut ekspor migas. Dan biasanya harga minyak menjadi leading indicator dari harga komoditas pada umumnya.
Jadi salah satu kunci penting sekarang ini adalah melakukan konsolidasi kebijakan fiskal agar mendukung upaya percepatan pemulihan ekonomi. Tantangan perlambatan perekonomian global begitu nyata, sehingga instrumen kebijakan harus terkonsolidasi, baik dari sisi regulasi (industri), moneter, maupun fiskal. Kini saatnya menunggu gebrakan melalui langkah-langkah progresif tapi realistis dari sisi fiskal. l
A. Prasetyantoko (Rektor Universitas Atma Jaya, Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo