Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kalau Swasta Tak Mau, Kami yang Menangani

29 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam dua pekan terakhir ini, Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi bagai menaiki roller-coaster, sebentar berada di atas, lalu dengan cepat meluncur ke bawah. Belum lama merasakan kegembiraan karena sukses ikut menghantarkan Rio Haryanto berlaga di seri balapan Formula 1 tahun 2016, dia harus segera melaksanakan perintah Presiden Joko Widodo, yang memintanya mengkaji pembekuan pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Imamlah yang setahun lalu membekukan kepengurusan organisasi tertinggi bal-balan se-Indonesia itu karena ingin melakukan reformasi di sana.

Ikhtiar politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu membantu Rio sudah dimulai saat ia menyatakan pemerintah akan ikut membiayai Rio Haryanto dengan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan sebesar Rp 100 miliar. Ide tersebut langsung menuai polemik. Para penentang kebanyakan menilai Imam berlebihan karena dana sebesar itu hanya diperuntukkan bagi satu atlet. Tapi Imam maju terus. Ia tetap akan mengajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat, dan keputusannya akan diketuk pada April nanti.

Rio Haryanto akhirnya memang berhasil menjadi salah satu peserta di arena balap bergengsi Formula 1. Kepastian satu kursi di tim Manor Racing itu ditegaskan Direktur Pelaksana Manor Abdulla Boulsien saat bertemu dengan Imam pada pekan kedua Februari lalu. Rio pekan lalu bahkan sudah ada di atas jet daratnya dalam latihan resmi di Barcelona.

Kegembiraan atas melejitnya Rio di lintasan itu terpaksa ditahan sejenak. Imam mesti segera merumuskan langkah setelah muncul instruksi Presiden mengenai nasib pembekuan pengurus PSSI, Rabu pekan lalu.

Imam menerima wartawan Tempo Jopbie Sugiharto, Reza Maulana, Gadi Makitan, dan fotografer Aditia Noviansyah untuk sebuah wawancara di rumah dinasnya di Kompleks Widya Chandra, Jakarta, Jumat sore dua pekan lalu. Saat itu instruksi Presiden tentang PSSI belum keluar. Tempo kemudian mengajukan pertanyaan susulan untuk merespons perkembangan dari Istana tersebut pada Jumat pekan lalu.

* * * *

Rio Haryanto akhirnya bisa masuk ke Formula 1. Sepertinya cukup besar peran Kementerian?

Walah, saya enggak punya peran apa-apa. Buktinya Roy Suryo bilang menteri ini hanya menumpang saja, ha-ha-ha…. Roy Suryo pancet ae (tetap saja). Selama ini saya biarkan saja. Kecuali ketika wartawan Kompas TV bertanya kepada saya. Saya terpancing dan menjawab, "Gini ajalah. Yang penting, anjing menggonggong, khafilah berlalu."

Anda meminta Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui pengajuan dana Rp 100 miliar dari APBN untuk membiayai Rio Haryanto. Apakah ini tidak berlebihan?

Iya. Begini, lho. Sesungguhnya kita tidak terlalu rugi dengan munculnya atlet seperti Rio ini. Kalau dilihat, jumlahnya memang besar. Kenapa untuk atlet lain tidak dikeluarkan juga dana sebesar itu? Ya, memang proporsinya berbeda. Kebutuhannya tidak sama. Selain itu, ketika ada alokasi untuk Rio, jatah bantuan untuk atlet lain tidak berkurang.

Ada yang bilang kenapa dana sebesar itu tidak dialokasikan untuk pendidikan atau membangun jembatan, misalnya…

Saya bukan Menteri Pekerjaan Umum, bukan Menteri Pendidikan. Saya Menteri Olahraga. Keberhasilan Rio masuk Formula 1 adalah buah perjalanan panjang, keyakinan, dan komitmennya. Pemerintah mendukung itu. Kalau nanti muncul lagi atlet seperti Rio, mari kita bergotong-royong. Saya berpikir, kalau pihak swasta belum mau, kami yang akan memulai. Saya dan pegawai saya akan potong gaji.

Wah, potong gaji bagaimana?

Kalau semua kementerian mau potong gaji, katakanlah 50 persen, satu bulan saja, coba hitung: ada berapa ribu orang. Artinya, kalau ada anak bangsa yang bercita-cita mengguncang dunia dengan Merah Putih, lalu kita mendukungnya dengan cara itu, kan cakep?

Anda serius akan memotong gaji pegawai? Kapan akan dilakukan?

Nanti akan saya umumkan. Ini serius. Saya bersyukur seandainya ada pengusaha swasta yang kemarin mengundang Rio benar-benar mengeluarkan uang. Tapi seandainya kurang, sementara Rio harus bertanding, ya, terpaksa kami urunan. Gotong-royong. Adapun pengajuan dari APBN akan tetap kami proses.

Kalau jadi potong gaji, kira-kira berapa dana yang akan didapat?

Gaji saya Rp 19 juta. Katakanlah kalau saya ambil 50 persen, berarti Rp 8 juta. Ada 34 menteri. Rp 8 juta kali 34. Lalu ada berapa direktur, direktur jenderal, deputi. Saya belum menghitung secara pasti dana yang bisa terkumpul. Tapi, paling tidak, dari kantor kami saja bisa Rp 2 miliar.

Sampai ke tingkat mana pemotongan gaji itu akan berlaku?

(Pegawai) terendah sekalipun.

Wah, apakah tidak bakal menuai protes?

Ya, yang penting seikhlasnya. Mungkin tidak harus ditetapkan persentasenya. Saya ingin menjadikan ini sebagai pemicu. Kita selama ini dipandang bangsa lain sebagai bangsa yang suka tolong-menolong. Lihat saja, kalau ada satu tetangga punya hajat, yang lain ikut membantu. Kenapa itu tidak dilakukan pada level yang lebih besar? Kalau kita punya tradisi seperti itu, akan banyak orang Indonesia yang berani bercita-cita tinggi.

Anda membantu Rio sedemikian rupa. Kenapa?

Pertama, dari segi sejarah. Rio bercita-cita menjadi pembalap Formula 1 sejak berumur tujuh tahun. Kita harus menghargai sebuah proses yang begitu panjang. Dia berkomitmen untuk itu. Dan hari ini tinggal selangkah. Kenapa harus kita hentikan? Kita punya kemampuan. Kalau yang lain seperti itu, kami juga akan memberi bantuan. Hasilnya seperti apa, itu nanti. Dia telah melalui proses panjang: tenaga, biaya, orang tuanya juga habis-habisan.

Yang kedua, peluang. Kenapa Manor (tim Formula 1 yang meminang Rio) tidak mau melepaskan Rio? Karena Manor tahu persis, Rio ini sangat luar biasa. Sampai ketika Direktur Pelaksana Manor Abdulla Boulsien bertemu dengan saya, dalam pertemuan yang tidak dipublikasikan itu, dia bilang: yang penting pemerintah mendukung, masyarakat Indonesia mendukung, itu cukup bagi kami.

Bentuk dukungan seperti apa yang diminta Abdulla Boulsien?

Yang penting orang Indonesia mendukung, menonton, kata dia.

Rio memang punya talenta luar biasa. Manor kan punya kriteria sendiri (dalam memilih pembalap). Bukan semata-mata karena uang.

Jadi, setelah pertemuan itu, Abdulla sudah terlihat positif soal bergabungnya Rio?

Ya, performa Rio sangat meyakinkan. Mereka yakin Rio akan memberi nilai plus bagi Manor. Kalau disia-siakan, sayang. Setelah Manor datang, saya berani lagi berbicara ke publik bahwa saya tetap akan mengajukan Rp 100 miliar dari APBN itu. Soal usul itu disetujui atau enggak, yang penting saya sudah berusaha. Pengajuan itu, kalau tidak salah, baru akan dibahas pada April nanti.

Selama ini anggaran Kementerian Pemuda dan Olahraga terbatas. Misalnya untuk SEA Games, begitu terbatasnya hingga hanya bisa memprioritaskan dukungan terhadap cabang-cabang tertentu. Lalu tiba-tiba Anda punya ide untuk minta Rp 100 miliar dari APBN. Bukankah ini ironis?

Rio membutuhkan 15 juta euro (sekitar Rp 226 miliar, sebagai biaya operasional balapan selama semusim). Pertamina sudah beri dukungan 5 juta euro. Bu Rini (Soemarno, Menteri Badan Usaha Milik Negara) bilang akan ada tambahan 0,2 juta euro. Kekurangannya kira-kira 9,8 juta. Dari sini, seandainya pemerintah mendukung Rp 100 miliar, kekurangannya hanya sekitar 4 juta euro. Nah, 4 juta... mosok, pengusaha-pengusaha enggak bisa ngeroyok?

Atau nanti kalau pengusaha-pengusaha bilang: enggak usah pakai APBN, cukup kami. Ya, kami bersyukur. Presiden memerintahkan anak buahnya untuk hadir (bagi rakyat). Ya, dengan cara begini kami memberi dukungan.

Adakah keberatan dari pengurus cabang olahraga lain tentang komitmen Anda memberi bantuan besar ini?

Tidak ada. Malahan Pak Sandiaga Uno, Ketua Pengurus Besar Persatuan Renang Seluruh Indonesia, menyatakan ingin membantu Rio. Ketua Pengurus Besar PersatuanAngkat Besidan Berat Seluruh Indonesia Rosan Perkasa Roeslani, yang juga Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia, ingin pula membantu.

Selain mengajukan dana dari APBN, Anda berusaha mengumpulkan pengusaha. Bagaimana ceritanya?

Seandainya tidak ada bom Sarinah itu (14 Januari), pertemuan masif para pengusaha itu sudah terjadi. Bu Rini Soemarno sudah mengundang mereka. Saya tidak tahu siapa saja yang diundang waktu itu. Rencananya dilakukan di Hotel Fairmont. Akhirnya pertemuannya harus ditunda. Setelah itu, mau kami undang lagi, agak susah. Tapi saya juga senang ketika kemarin mendapat kabar bahwa Pak Sandiaga Uno mau membantu. Lalu Pak Ketua Kadin (Rosan Perkasa Roeslani) dan Pak Ical (Aburizal Bakrie) juga mau membantu. Semoga Roy Suryo juga mau membantu. Berapa pun.

Apakah pemerintah akan terus membantu Rio sampai musim-musim berikutnya di Formula 1?

Kita lihat nanti. Tapi semestinya cukup dengan pihak swasta. Pemerintah sifatnya hanya mendukung. Mungkin kami, juga bersama pihak swasta, akan membangun sirkuit untuk Formula 1 sehingga Rio tidak hanya bertanding di luar negeri, tapi juga di negeri sendiri.

Mengenai PSSI, apa tanggapan Anda tentang munculnya tekanan agar surat pembekuan terhadap PSSI dicabut?
(Pertanyaan ini diajukan sebelum ada perintah Presiden untuk mengkaji pencabutan pembekuan.)

Ada dua situasi yang kami hadapi. Masyarakat meminta surat pembekuan dicabut dan kompetisi segera bergulir. Tapi regulator, operator, federasi, itu semua masih belum berubah. Masih orang-orang itu saja. Sedangkan yang kami harapkan ke depan adalah pemisahan yang jelas: siapa operatornya, siapa regulatornya, dan di mana posisi pemerintah. Kalau ini belum jelas, kami tidak akan mencabut surat itu, meskipun situasi yang lain menuntut bahwa surat itu harus segera dicabut karena terkait dengan penyelenggaraan Asian Games 2018 di Indonesia.

Bukankah memang kurang afdal sebuah pesta olahraga tanpa memainkan cabang paling digemari masyarakat tersebut?

Itu yang sering didengung-dengungkan, bahwa tanpa sepak bola, Indonesia akan sulit menjadi tuan rumah Asian Games. Sebab, Asian Games tanpa sepak bola akan hambar. Situasi ini yang sedang terpikir oleh kami. Tapi apakah memang pada 2018 FIFA tetap mempertahankan sanksinya terhadap Indonesia? Belum tentu juga. Kata kuncinya memang komunikasi dengan FIFA.

Maka sesungguhnya yang diharapkan Presiden saat pertama kali menerima perwakilan FIFA dan AFC (Konfederasi Sepak Bola Asia), Desember tahun lalu, adalah bagaimana PSSI sebagai obyek harus dibenahi oleh induk federasi yang bernama FIFA, bersama pemerintah yang menghukum, atau, dalam bahasa mereka, mengintervensi. Tapi faktanya, setelah keluar dari Istana, mereka berubah. Muncullah tim ad hoc yang melibatkan PSSI. Pemerintah diminta terlibat di situ.

Padahal, yang diharapkan pemerintah, dan disetujui FIFA-AFC, adalah pemerintah bersama FIFA-AFC duduk bersama. Dua pihak saja—induk federasi dan orang yang mengintervensi anak buahnya federasi. Jadi tidak ada konflik kepentingan.

Itukah sebabnya Menteri Pemuda dan Olahraga ngotot tidak akan bergabung dengan tim ad hoc tersebut?

Saya kira ini bukan semata-mata pendirian kaku, melainkan komitmen. Presiden ingin menagih komitmen FIFA dan AFC, yang di hadapan Presiden waktu itu bersepakat membentuk tim kecil, pemerintah bersama FIFA, untuk mencari jalan keluar bagi PSSI.

Pemerintah berkepentingan memastikan bahwa industri bola ini harus hidup tanpa ada cawe-cawe mafia. Biarlah klub yang mengurus ini semua. Federasi harus punya jarak yang tegas dengan operator. Sehingga dia bisa mengawasi betul—membuat regulasi, membuat aturan main yang sesuai dengan statuta FIFA. Yang terjadi sampai hari ini kan masih campur aduk. Orang PSSI juga punya klub, juga masuk di operator liga. Jadi bagaimana mungkin ada independensi. Masih ada kepentingan-kepentingan tertentu, kan?

Menjadi fakta yang tidak terbantahkan ketika FIFA digerebek FBI (dengan tuduhan korupsi, Mei tahun lalu) bahwa ada sesuatu yang terjadi di induknya. Wajar, dong, kalau saling melindungi. Lihat, orang yang mengeluarkan sanksi buat Indonesia, Jerome Valcke (Sekretaris Jenderal FIFA) sekarang diskors 12 tahun. Berarti memang ada soal.

Tapi, di Indonesia, itu masih sulit dibuktikan….

Itu karena Kementerian Pemuda dan Olahraga tidak punya wewenang menyidik. Selama ini masih menunggu dari kepolisian atau Kementerian Tenaga Kerja—terkait dengan pemain-pemain asing. Kami belum punya hak, belum punya tangan. Saya sekarang sedang mengajukan usul agar ada penyidik pegawai negeri sipil untuk Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Nah, Presiden memerintahkan Anda mengkaji pencabutan pembekuan PSSI. Bagaimana hasilnya?
(Mulai dari sini pertanyaan diajukan setelah muncul instruksi Presiden tentang pengkajian pencabutan pembekuan PSSI. Pertanyaan diajukan pada Jumat pekan lalu.)

Begini. Kami berterima kasih kepada Pak Hayono Isman, yang memberikan apresiasi, dorongan, sekaligus peringatan bagi kita semua bahwa olahraga itu sportif, fairplay, bahwa olahraga adalah pendidikan moral, bahwa olahraga adalah kejujuran. Itu fondasi penting dan itulah yang diharapkan pemerintah. Maka, dalam mengambil kebijakan, kami ingin selalu berpegang pada fondasi yang penting itu, termasuk dalam melakukan pengkajian.

Kami sedang mengkaji kembali karena ada beberapa hal terkait dengan dasar hukum yang harus diperkuat. Sebab, faktanya, sampai hari ini masih ada pengajuan kasasi di Mahkamah Agung (yang diajukan Kementerian Pemuda dan Olahraga akhir tahun lalu). Itu satu poin penting.

(Pada Jumat pagi pekan lalu, Imam membuka acara "1st Journalist Games" di halaman Kementerian Pemuda dan Olahraga, Jakarta, yang dihadiri Hayono Isman, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga yang kini Ketua Umum Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia alias FORM. Dalam sambutannya, Hayono mengapresiasi langkah Menteri Pemuda dan Olahraga yang tidak mau bergabung dengan tim ad hoc.)

Jadi kepastian soal apakah Kementerian Pemuda dan Olahraga mencabut surat pembekuan baru ada setelah setelah kasasi?

Salah satu pertimbangannya masalah hukum. Pertama, mereka (PSSI) belum mencabut gugatan terhadap surat pembekuan PSSI. Kedua, kami belum pernah mendapatkan semacam paper mengenai apa sebenarnya langkah-langkah obyektif untuk menindaklanjuti harapan pemerintah mereformasi tata kelola PSSI. Memang selama ini tidak pernah jelas, apa saja sesungguhnya rencana perbaikan sepak bola. Kami belum pernah menerima itu. Yang ada adalah hujatan terhadap pemerintah, segera mencabut, dan sebagainya.

Ada kemungkinan pengajuan kasasi akan dicabut?

Itu akan menjadi poin-poin kajian kami.

Apakah hari ini (Jumat) ada kepastian apakah bahwa surat pembekuan PSSI akan dicabut?

Yang pasti, perintah Presiden kepada saya, tidak ada istilah segera dicabut. Yang ada, "Segera lakukan pengkajian secara dalam dan komprehensif, dan detail, terkait dengan beberapa aspek itu." Lalu saya harus kembali melapor ke Presiden.

Apakah Anda terkejut ketika Presiden memerintahkan pengkajian pencabutan surat pembekuan terhadap PSSI?

Menurut saya, Presiden normatif, ya. Sebab, secara teknis, yang mengerti dengan detail adalah pembantunya, yaitu menteri. Maka yang diharapkan Presiden soal pengkajian dengan dalam dan detail itu adalah sejauh mana langkah-langkah yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun pihak lain.

Menurut Anda, munculnya perintah dari Presiden apakah sesuatu yang tiba-tiba?

Ya. Saya baru mendengar soal perintah itu, ya, pada saat itu. Saya kira Presiden pasti punya pertimbangan ketika memerintahkan anak buahnya mengkaji, merevisi, dan sebagainya. Dan Presiden juga ingin memberi kesempatan kepada kami untuk berpikir obyektif—sejauh mana upaya-upaya itu terimplementasi dengan baik.

Imam Nahrawi
Tempat dan tanggal lahir: Bangkalan, Jawa Timur, 8 Juli 1973 Pendidikan: 1979-1985 - SD Bandung, Konang, Bangkalan | 1985-1988 - SMP Bandung, Konang, Bangkalan | 1988-1991 - Madrasah Aliyah Negeri Bangkalan | 1991-1998 - Jurusan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Organisasi: Ketua PMII Rayon Tarbiyah UIN Sunan Ampel Surabaya, 1991-1992 | Wakil Ketua PMII Komisariat UIN Sunan Ampel Surabaya, 1992-1993 | Ketua Umum PMII Cabang Surabaya, 1995-1996 | Ketua Umum PMII Cabang Jawa Timur, 1997-1998 | Ketua Divisi Pemuda Dewan Pengurus Wilayah PKB Jawa Timur, 1999-2004 | Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Koordinasi Nasional Garda Bangsa, 2000-2005 | Ketua Dewan Koordinasi Wilayah Garda Bangsa Jawa Timur, 2002-2007 | Ketua Umum Dewan Koordinasi Nasional Garda Bangsa, 2004-2008 | Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat PKB, 2006-2012 | Ketua Dewan Pengurus Wilayah PKB Jawa Timur, 2010-2015 | Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat PKB, 2008-2014 | Ketua Panitia Kirab Resolusi Jihad NU (Rekor Muri Pengibaran Merah Putih Terpanjang Surabaya-Jakarta), 2011 | Wakil Ketua Timnas Badan Pemenangan Pilpres Jokowi-JK, 2014 Karier: Kepala Sekretariat Jenderal DPP PKB, 1999 | Staf Khusus Wakil Ketua DPR RI, 2000 | Anggota DPR, 1999-2004 | Anggota DPR, 2004-2009 | Anggota DPR, 2009-2014 | Menteri Pemuda dan Olahraga, 2014-sekarang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus