Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Negeri Islam Yang Kontradiksi

Film the death of a princess dikutuk pemerintah arab saudi karena dianggap menghina islam. arab saudi memang kadang-kadang dipuji sebagai negara islam yang ideal. tapi negeri itu dikecam oleh iran.

19 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JULI 1977, Putri Mishaal dihukum mati. Dalam cadar hitam di siang hari yang panas tubuhnya ditembak di sebuah lapangan parkir kota Jeddah. Di sebuah jamuan makan di l ondon seorang tokoh bisnis Arab menceritakan peristiwa itu di depan tamu lainnya sedemikian menarik, hingga seorang pembuat film bangsa Inggris tergerak. Ia menyuSuri cerita itu. Dan begitulah awal bertolak film The Death of A Princess, yang menurut pemerintah Arab Saudi, merupakan penghinaan bagi umat Islam. Tapi siapa yang menyangka bahwa film ini menyajikan adegan cinta terlarang yang bergelora, atau lukisan eksekusi berdarah yang terperinci, pasti akan kecewa. Tbe Death of A Princess pada dasarnya bukanlah sebuah film cerita. Ia sebuah film dokumenter, atau bertindak sebagai sebuah film dokumenter: suatu pemfilman kembali proses pencarian sang sutradara, ntony Thomas, ke latar belakang Paffaire Mishaak. Thomas berangkat dari London ke Lebanon yang suram oleh perang saudara, dan kemudian ke Arab Saudi. Ia mengetuk banyak pintu dari orang yang diduganya mengenal putri yang tragis itu. Ia bertanya, dengan muka pasif seorang peneliti sejarah. Ia terkesima kenapa putri remaja itu lebih baik memilih dihukum mati dengan tiga kali mengaku berzina --padahal tak ada saksi dan ia bisa diampuni. Semacam proteskah yang dilakukan gadis itu? Atau cuma gairah hati yang muluk? Tak ada jawab yang final. Adegan silih berganti. Sebagian terdiri dari percakapan. Sebagian besar tanyajawab--dengan lebih banyak tanya berkumandang. Putri Mishaal sendiri (dimainkan oleh seorang aktris Mesir yang tak terkenal) dalam film ini hanya ditampilkan beberapa detik, dalam flashback, lewat penceritaan orang lain. Pacarnya--orang yang dituduh telah berbuat zina dengannya-juga cuma nampak selintas seorang pemuda yang dengan igal dan jelabah putih nampak hijau serta tolol. Kita tidak tahu telah bersalahkah mereka, atau goblokkah mereka, atau heroikkah mereka. Film ini dengan nada rendah, praktis monoton, nampak berusaha mengambil gaya "obyektif" sebuah ilmu jurnalistik untuk siaran berita. Tapi pemerintah Arab Saudi menuluh film ini merupakan penghinaan bagi umat Islam. Memang tak bisa diingkari dalam kehendak menampilkan gaya "obyektif"nya The Death of A Princess toh membiarkan beberapa tanda seru. Di sebuah rumah di Jeddah, seorang guru wanita dengan sengitnya mengecam pemerintahan dinasti Saud yang baginya tidak identik dengan Islam. Wanita muda ini, tak ayal lagi, adalah contoh seorang calon pembangkang. Tiba-tiba kita bisa menarik semacam garis, betapa pun tipis, antara dia dengan kaum revolusioner di Iran. Atau, mungkin juga, dengan sejumlah pemuda yang menggegerkan dunia ketika mereka menduduki Masjid Suci di Mekkah beberapa waktu yang lalu, di hari pertama tahun Hijriyah yang sekarang. Dan pertanyaan yang timbul ialah bila The Death of A Princess nampak lebih bersimpati kepada mereka ketimbang kepada pemerintah Arab Saudi, dapatkah ia dianggap "anti-Islam"? Kita baca buku Militant Islam yang ditulis G.H. Jansen setahun yang lalu. Ia mungkin bukan buku yang enak beberapa kesimpulannya meleset dan beberapa pertanyaannya menggelisahkan. Tapi apa yang ditulis Jansen tentang Arab Saudi agaknya layak didengar: dalam hubungannya dengan Islam militan, Arab Saudi adalah "kasus yang paling ganjil". Sebab di sana, di negeri induk dari agama Islam ini, "Islam militan hadir, telah hadir selama setengah abad atau lebih, akan tetapi, secara nyata dan sebenar-benarnya, tidak hadir dan tidak pernah hadir". Dengan kata lain, sebuah kontradiksi. Kontradiksi itulah yang agaknya menyebabkan Arab Saudi di satu pihak dipuji sebagai negeri yang mendekati ideal pemerintahan Islam (tokoh Islam Indonesia Moh. Natsir termasuk yang menyatakan demikian). Sementara itu, di pihak lain, negeri itu dikecam oleh kaum revolusioner di Teheran. Dalam kontradiksi itulah kita jadi bertanya lebih banyak, dan berjalan lebih jauh. Lebih dari Antony Thomas. Sebab yang kita dengar bukan sekedar ledakan bedil dan matinya seorang putri, tapi mungkin gemuruhnya sebuah diskusi dan matinya sejumlah ilusi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus