Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Nostalgia

Nostalgia adalah rasa pedih yang paling mulia. sebagaimana orang butuh makan dan minum, punya rasa aman dan kebebasan bergerak, orang butuh juga masuk ke dalam suatu kelompok.

7 Maret 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA yang mengatakan bahwa nostalgia adalah rasa pedih yang paling mulia. Saya tak begitu yakin. Tapi orang memekikkan klakson untuk PSM yang menang, orang lain ikut terhuyung karena PSMS yang kalah. Masing-masing merasa memiliki dan dimiliki oleh kesebelasan yang bertanding itu yang sebetulnya sebuah bagian dari dunia lambang: simbul sebuah tempat, sebuah kalangan, "puak" atau "kaum". Mungkin itu bagian dari usaha kita untuk menjadi lengkap: orang tampaknya selalu ingin kembali merasa diri sebagai bagian dari suatu himpunan, yang terkadang lebih berarti ketimbang hanya dirinya. Mengapa? Di abad ke-18, di Eropa, ada seorang penyair dan pemikir yang menemukan the idea of belonging, suatu pengertian yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mungkin berarti "rasa termasuk ke dalam sesuatu". Sebagaimana orang butuh makan dan minum, mempunyai rasa aman dan kebebasan bergerak, orang juga butuh termasuk ke dalam suatu kelompok. Direnggutkan dari hal itu, orang akan merasa tercerai, sunyi, merosot, tak bahagia. Kedaerahan dan nasionalisme lahir dari kebutuhan ini. Dalam pandangan ini, menjadi manusia berarti mempunyai kemampuan untuk merasa betah dengan suatu tempat dan dengan orang-orang yang sesama. Rasa kedaerahan dan nasionalisme harus dianggap sebagai tendensi yang wajar, tak terelakkan, bahkan layak. Barangkali the idea of belonging lahir dari suatu masa di Eropa ketika orang ingin bertaut dengan alam kembali, dengan sisa-sisa nenek moyang yang nyaris hilang, di hadapan mesin industri yang seakan-akan ingin menyeragamkan benua. Dalam sebuah wawancara dengan The New York Review of Books, Isaiah Berlin, guru besar dan penulis termasyhur tentang sejarah ideide, mengingatkan bahwa Johann Gottfried Herder, penyair yang "menemukan" the idea of belonging itu, menggarisbawahi nostalgia itu dengan keyakinan akan mutlaknya keanekaragaman kebudayaan pribumi, ekspresi "bangsa" (yang mungkin lebih bisa disebut sebagai "kaum" atau "puak") yang masing-masing unik. Semuanya, dalam pandangannya, akan hidup berdampingan secara damai. Siapa yang membabat kebinekaan suara-suara pribumi ini melakukan kejahatan besar. Itulah sebabnya Herder menentang kaum "universalis" Prancis yang muncul setelah zaman Pencerahan. Bagi Herder, tiap kelompok manusia mempunyai Volksgeist dan Nationalgeist sendiri seperangkat adat dan sebuah gaya hidup, suatu cara persepsi dan perilaku yang berharga karena milik bangsa itu sendiri. Kaum "universalis" mungkin keliru. Tapi the idea of belonging mungkin satu hal, sedang gagasan tentang kebinekaan budaya adalah hal yang lain. Yang satu mengungkapkan hubungan kita dengan yang kita anggap "lingkungan sendiri", tanpa otomatis membandingkannya dengan lingkungan lain. Sementara itu kesadaran akan kebinekaan budaya adalah sebuah pandangan perbandingan ke luar -- yang sering membingungkan orang. Hari-hari ini orang Serbia memusuhi orang Kroasia (dan sebaliknya) dan orang Armenia merasa diancam orang Azerbaijan (dan sebaliknya). Setelah berpuluh tahun di bawah persatuan komunisme, yang menawarkan diri sebagai pembawa semangat Pencerahan yang "universalis", Yugoslavia dan Uni Soviet ternyata ambyar, dan jadi ajang permusuhan keanekaragaman. Orang tampaknya lari kembali kepada nostalgia -- kalau perlu dengan bedil. Nostalgia semacam itu adalah nostalgia yang menampik penyeragaman yang sama artinya dengan penindasan. Tapi di sini kita tak cuma bisa bicara tentang komunisme internasional. Kita juga telah melihatnya dalam kolonialisme. Kita telah melihat bagaimana penaklukan juga bisa memakai panji-panji untuk memperkenalkan ke Asia, Afrika, dan Amerika Latin sejumlah nilai luhur Eropa. Terkadang dengan nama Yesus, terkadang dengan nama "modernisasi", meskipun tak jarang hasilnya adalah rasa tercabut dari akar, rasa terasing yang ruwet dan sakit, justru karena berlangsung di antara kaum sendiri: sindrom Hanafi dalam novel Salah Asuhan. Tapi di lain pihak orang juga tahu bahwa, atas nama kebinekaan budaya, penindasan terjadi. Sebab, jika suatu Nationalgeist atau "semangat nasional" menurut definisinya berbeda dari Nationalgeist yang lain, beberapa hal harus diterima sebagai sesuatu yang sah. Misalnya gagasan apartheid. Gagasan ini bertolak dari pandangan bahwa gaya hidup dan perilaku orang hitam lain dari orang putih, dan sebab itu mereka harus hidup di permukiman yang berbeda dengan pemenuhan kebutuhan yang berbeda pula. Tak mengherankan pula bila varian lain bisa muncul. Di Dunia Ketiga orang sibuk berkata: karena nilai-nilai kami yang unik, kesewenang-wenangan belum tentu kesewenang-wenangan, penindasan belum tentu penindasan. Di sini, di Dunia Ketiga, kita tak memang mudah memilih, juga memilih kenangan. Nostalgia terkadang bisa membungkam mulut. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus