DALAM pernapasan penderita asma selama ini sering timbul bunyi seperti gesekan biola. Suara bengek "ngak ngek ngok" itu kini diharap dapat dihentikan, setelah sel T dalam sistem kekebalan tubuh yang memiliki peran utama memicu penyakit asma ditemukan. Hasil penelitian tim dari Institut Jantung dan Paru Nasional di Rumah Sakit Brompton, Inggris, itu dimuat jurnal kedokteran Lancet awal bulan lalu. Temuan itu membuka peluang uji coba generasi obat baru dengan antibodi monoklonal. Penyakit sesak napas itu antara lain dicetuskan oleh sel T yang bekerja berlebihan. Sel ini menghasilkan protein pembawa cytokine, zat yang memicu sejumlah aksi yang mendorong penyempitan saluran pernapasan. Kondisi itulah yang menimbulkan "ngek" pada pernapasan penderita asma. Untuk membuktikan sel T sebagai pencetus asma, para peneliti mencoba obat bernama Cyclosporin. Obat itu prinsipnya menekan munculnya sel T yang berlebihan. Uji coba dilakukan kepada 33 penderita asma berat dan kronis. Pasien itu berturut-turut selama 12 minggu mengonsumsi Cyclosporin. Mereka juga menelan obat lama jenis kortikosteroid dan obat isap Beta-2 Agonist. Dari 26 pasien yang bertahan mengikuti program penelitian tadi, didapat gambaran kegunaan dari obat itu. Cyclosporin berhasil melonggarkan saluran pernapasan dan mengurangi serangan asma. Pasien yang kumat biasanya memerlukan dosis ekstra obat jenis steroid, sedangkan dalam penelitian ini kebutuhan mereka menurun drastis. "Kami yakin temuan ini merupakan bukti lebih lanjut untuk mendukung teori bahwa sel T berperan penting dalam memicu asma," kata Barry Kay, pemimpin tim tersebut. Cyclosporin telah lama dipakai sebagai obat pencegah penolakan tubuh pada kasus transpalantasi. Obat ini menekan keaktifan sel T. Dosis rendah obat ini efektif menanggulangi beberapa penyakit yang diduga berkaitan dengan aktivitas sel T, misalnya penyakit radang kulit dermatitis atopik. Selain menghambat aktivitas sel T, obat ini diperkirakan dapat menekan lepasnya mediator sel mast dan sel-sel basofil serta menekan munculnya antigen. Cyclosporin, menurut penelitinya, membantu kerja obat antiasma sebagai steroid pendamping. Namun, Cyclosporin bukan obat yang dapat sembarangan ditelan. Tingkat keamanannya rendah. Efek samping seperti peningkatan tekanan darah, gangguan ginjal, sakit kepala, dan gemetaran masih sering muncul. Karena itu, tim penanggulangan asma di Denmark belum berani merekomendasi temuan baru itu. "Berkaitan dengan efek samping yang muncul, kami masih mengembangkan cara konvensional yang lazim," kata ahli asma Bent Weeke di Rigshospital, Kopenhagen. Toh temuan koleganya di Inggris itu disambutnya. "Landasan bagi pengembangan antibodi monoklonal terhadap sel T agaknya makin jelas," kata ketua salah satu tim studi alergi dan imunologi klinis Eropa itu. Dalam penanggulangan asma, dewasa ini obat dari golongan kortikosteroid tampaknya masih memegang kunci utama. Efek samping dari penggunaan obat ini telah banyak berkurang dengan berkembangnya formula sedot hidung. Tapi obat sedot terbatas hanya pada kasus asma ringan. Bagi penderita asma yang kronis, dibutuhkan Cyclosporin. Hanya, untuk memperoleh lisensi peredarannya di pasaran tidak gampang. "Kita harus menunggu lima tahun lagi," kata Bent Weeke. Gatot Triyanto (Jakarta) dan Bambang Purwantara (Kopenhagen)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini