UMAT Hindu tak mau ketinggalan kereta. Pada saat ramainya umat Islam membicarakan lagi soal kawin beda agama, Prof. Dr. Tjokorda Rai Sudharta, Ketua Penelitian dan Pengembangan Parisada Hindu Dharma, ikut membalik-balik kitab-kitab Hindu, mencari hukum-hukum perkawinan. Hasilnya ia tuangkan pada seminar di SMP Swadharma Peguyangan, sekitar 10 km utara Denpasar, Sabtu dua pekan lalu. Seminar itu tentu saja bukan sekadar ikut mode. Selama ini di kalangan tokoh-tokoh Hindu ada kekhawatiran melihat meningkatnya kawin campur yang menyebabkan pengantin yang Hindu lalu meninggalkan agamanya. Tapi, "janganlah kita menyalahkan orang lain," kata Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus, seorang tokoh Hindu di Bali. Ia mengajak umatnya mawas diri. Sayangnya, menurut Tjokorda Rai, kitab-kitab Hindu tak menyebut-nyebut soal perkawinan antaragama. Yang banyak adalah petunjuk bagaimana agar suatu perkawinan itu bisa membahagiakan keluarga. Antara lain dituturkan dalam Kitab Weda, kehidupan bahagia suami-istri merupakan jalan lurus ke arah ibadah, ke arah pemujaan kepada Tuhan. Kitab Weda juga menganjurkan suami-istri itu hendaknya merupakan ardhaanggani. Artinya, istri adalah setengah belahan dari suami, dan suami adalah setengah belahan dari istri. Itu merupakan bahasa simbolik, yang maknanya suami-istri itu diseyogiakan tak terpisahkan dalam pemikiran kehidupan sehari-hari dan dalam beribadah. Suami-istri hendaknya secara bersama-sama melaksanakan dharma (kewajiban) kepada Hyang Widhi. Lebih jelas lagi, disebutkan bahwa seorang istri Hindu yang baik adalah yang menjalankan dharmapatni atau menegakkan dharma dalam keluarga. Ini dijabarkan dalam Kitab Weda bahwa seorang istri wajib, "memberi keturunan, menyelenggarakan upacara keagamaan, melayani suami dengan setia, memberikan tempat di surga bagi nenek moyang." Dari ajaran-ajaran tersebut, Tjokorda Rai lalu bertanya, "Dapatkah perkawinan beda agama melaksanakan ajaran-ajaran itu?" Tjokorda menyimpulkan, bila begitu besar peran seorang istri dalam keluarga Hindu, tampaknya sulit bagi wanita Hindu untuk kawin dengan lelaki beda agama. Sebab, menurut Kitab Manwa Dharmasastra, kekhusyukan ibadah seorang istri akan menentukan keselamatan dan kebahagiaan rumah tangganya. Dengan kata lain, Tjokorda ingin mengatakan lewat jawaban pertanyaan itu, wanita Hindu yang benar-benar memahami hak dan perannya sulit sekali kawin dengan lelaki dari agama lain tanpa meninggalkan Hindunya. Lain halnya dengan kaum lelaki Hindu. Agama Hindu, kata Jro Mangku Ketut Subandi, anggota Forum Cendekiawan Hindu Indonesia, menganut prinsip purusa, yakni lelaki sebagai nakhoda keluarga. Ia tak dituntut keluarga untuk menyelenggarakan ibadah. Yang dituntut darinya adalah keteguhan iman sebagai obor keluarga. Dengan kata lain, seorang lelaki Hindu yang kawin dengan wanita beragama lain diharapkan bisa membawa wanita itu menjadi umat Hindu. Prinsip ini dipegang erat, misalnya, oleh Ketut Subandi. Ahli silsilah ini kebetulan beristri seorang Jawa yang beda agama dengannya. Keteguhan iman Subandi akhirnya membuat istrinya ikut memeluk Hindu. Sebaliknya, ketika anak wanita Ketut Subandi menikah dengan laki-laki beda agama, ia konsekuen. Subandi ikhlas anaknya pindah agama. "Dia harus ikut suaminya," katanya, karena ini sesuai dengan prinsip purusa. Walhasil, Tjokorda menyimpulkan, sebenarnya ajaran Hindu demikian luwes, sehingga tak ada pengekangan dengan harga mati. JK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini