Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI ujung masa tugasnya, Presiden Joko Widodo terus melestarikan praktik buruk politisasi badan usaha milik negara. Jabatan komisaris BUMN menjadi alat bayar utang budi politik seusai Pemilihan Umum 2024 yang mengantarkan Prabowo Subianto ke kursi presiden—berdampingan dengan Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Jokowi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pekan lalu, holding BUMN pertambangan, Mining Industry Indonesia (MIND ID), mengangkat politikus Gerindra, Fuad Bawazier, sebagai komisaris utama. Pendiri Partai Solidaritas Indonesia, Grace Natalie, ikut mendapat jatah menjadi komisaris. Gerindra merupakan partai yang didirikan Prabowo, sementara PSI menjadi pendukung Prabowo dalam pemilu lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di waktu yang sama, PT Pertamina (Persero) mengisi kekosongan jabatan komisaris utama dengan orang dekat Prabowo, yaitu Simon Aloysius Mantiri. Perusahaan minyak negara ini juga menunjuk Condro Kirono sebagai komisaris independen. Keduanya merupakan petinggi di Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran.
Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir boleh saja berkilah bahwa penunjukan tersebut tidak melanggar hukum. Sebagai pemegang saham perusahaan negara, memang pemerintahlah yang berhak menunjuk komisaris. Toh, kebiasaan mengangkat pendukung presiden juga berlangsung di era pemerintahan terdahulu.
Masalahnya, prinsip the right man on the right place tidak lagi menjadi faktor utama, tergusur oleh kepentingan balas budi. Padahal Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyebutkan komisaris wajib memiliki pengetahuan yang memadai di bidang usaha perseroannya. Tugas utama komisaris adalah mengawasi serta memberikan nasihat atas jalannya usaha. Tanpa kompetensi yang mencukupi, mustahil ada pengawasan dan pengarahan tersebut. Tata kelola perusahaan yang baik pun makin jauh dari harapan. Padahal maraknya korupsi di BUMN tak lepas dari lemahnya tata kelola dan pengawasan.
Sudah berkali-kali main obral kursi komisaris BUMN juga mengganggu bisnis perusahaan. Kejadian terbaru adalah ketika Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menarik dana mereka dari Bank Syariah Indonesia (BSI)—jumlahnya diperkirakan Rp 13-15 triliun, tapi PP Muhammadiyah menyatakan Rp 1,8 triliun—karena urusan penunjukan komisaris hingga berdampak anjloknya harga saham bank syariah terbesar tersebut.
Sebagai nasabah kakap, organisasi kemasyarakatan Islam terbesar kedua tersebut berulang kali ditawari BSI kursi komisaris. Namun, setelah mereka mengajukan nama, Kementerian BUMN malah memilih Felicitas Tallulembang, kader Gerindra dengan latar belakang direktur rumah sakit, sebagai komisaris independen.
Penunjukan komisaris berlatar belakang partai pendukung pemerintah ini sudah menjadi kebiasaan Jokowi. Survei Transparency International Indonesia per Maret 2021 menyebutkan sebanyak 14,3 persen komisaris BUMN merupakan relawan dan anggota partai pendukung Jokowi pada Pemilu 2014 dan 2019. Porsi terbanyak, 51,6 persen, diisi birokrat sebagai perwakilan pemerintah dan hanya 17,6 persen dari kalangan profesional.
Politisasi BUMN ini mesti dihentikan. Jabatan komisaris BUMN seharusnya hanya boleh diisi oleh orang yang kompeten, bukan menjadi hadiah bagi pendukung presiden terpilih. Perusahaan-perusahaan pelat merah itu merupakan pengelola kekayaan negara dengan total aset lebih dari Rp 10 ribu triliun. Semestinya kekayaan itu untuk kesejahteraan rakyat, bukan bekas pengurus tim sukses.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Politisasi Komisaris BUMN"