Tidak luar biasa kalau Presiden Habibie bisa berbicara tanpa teks berjam-jam, apalagi kalau itu dengan tema pokok dirinya sendiri. Dia juga seorang yang?dalam bahasa Melayu lama?ceramah. Walau tidak persis seperti gaya raconteur Baron von Munchhausen, kisah-kisahnya pun sering diberi aksen untuk meyakinkan, selain dengan gerak-gerik dan mimik, juga bumbu anekdot sebagai pelengkap. Bagi seseorang yang berkedudukan tinggi tetapi bisa berulang-ulang menceritakan tentang latihan renangnya yang 1000 meter setiap hari, tidak ada lagi pantang atau bimbang untuk mengungkapkan cerita kecil apa saja, dan dalam forum apa saja.
Biasanya, demi sopan santun, para pendengar punya toleransi untuk menyimak tanpa protes sampai ceritanya habis. Tetapi ketika di hadapan Forum Editor Asia-Jerman ia bercerita tentang bagaimana Jenderal Wiranto melaporkan adanya konsentrasi pasukan-pasukan di sekitar rumahnya, di bawah komando Letnan Jenderal Prabowo, yakni pada jam-jam pertama ia resmi jadi presiden, toleransi tidak lagi diperolehnya dengan cuma-cuma. Sebab, implikasinya serius. Dikesankan pernah ada gerakan militer untuk berbuat sesuatu terhadap Presiden, dan pelakunya adalah seorang perwira tinggi, Panglima Kostrad.
Prabowo, yang sudah dipensiunkan itu, dari tempat bermukimnya sementara di Amman, Yordania, menyangkal kebenaran fakta dan kesan yang ditimbulkan penuturan tadi. Keluarga Prabowo, ayah dan adiknya, juga minta agar Presiden Habibie melakukan klarifikasi langsung pada yang bersangkutan. Prabowo patut kecewa. Ia dulu secara agak terbuka mendukung Habibie untuk jadi presiden setelah Soeharto, bahkan ketika ia menjadi Komandan Kopassus?sesuatu yang sebetulnya kurang patut dilakukan oleh seorang perwira, apalagi waktu itu masih ada Wakil Presiden Try Soetrisno. Ia kini seperti habis manis sepah dibuang?yang sekaligus menunjukkan bagaimana kurang sabar dan hati-hatinya dia dulu dalam "berpolitik" di kancah intrik sekitar Cendana.
Sengaja atau tidak, anekdot ini punya dampak politik. Beberapa orang yang mengaku sahabat Prabowo, seperti Farid Prawiranegara, Ahmad Sumargono dan Fadlizon, tokoh-tokoh militan Islam yang kebetulan sekarang jadi aktivis Partai Bulan Bintang dan merasa telah berbuat amat banyak untuk mendukung Habibie dalam menghadapi gerakan reformasi mahasiswa, turut gusar dan kecewa. Menarik untuk melihat tetapkah mereka akan mendukung Habibie sebagai presiden lagi, atau ganti mencalonkan Prabowo?
Gengsi Jenderal Wiranto pun ikut tergoyah di pandangan anak buahnya. Habibie tak menceritakan apa yang dilihatnya sendiri; ia menceritakan adanya laporan Wiranto tentang kejadian itu. Kalau itu tidak terjadi, artinya laporan Wiranto yang mengada-ada. Kalau benar terjadi, mengapa tidak diambil tindakan yang sepadan bagi Prabowo?sanksi terhadap kejahatan makar untuk menggulingkan pemerintah yang sah?setelah sekian lama peristiwanya berlalu?
Problem pokok pemerintahan transisi ini ialah ketakpercayaan dari masyarakat. Kalau soal ini tak dibereskan, rakyat akan lebih merasa terkecoh oleh Habibie, atau Prabowo, atau Wiranto, atau ketiganya sekaligus. Kalaupun ini akhirnya hanya jadi anekdot tentang kesalahan omong, wibawa sudah tetap sulit untuk bisa tegak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini