MERGER dan likuidasi adalah dua pilihan yang sampai kini banyak dihindari para pemilik bank. Merger beberapa bank masih dianggap alternatif yang tak menarik. Di pihak lain, likuidasi juga merupakan "solusi" yang selalu dielakkan. Pemilik bank cenderung menyelamatkan bank, dan untuk itu mereka mencari investor baru atau meningkatkan kelasnya ke kategori B yang layak mendapat dana rekapitalisasi. Mereka memoles kinerja bank dengan menyuntikkan modal tambahan, menagih piutang, membenahi aset, menawarkan saham baru terbatas (right issue). Seakan itu tak cukup, ada bankir yang memasang iklan besar-besar, seolah banknya sehat-sehat saja. Kesibukan seperti itu banyak terjadi menjelang 27 Februari 1999, hari yang dipilih pemerintah untuk mengumumkan nama-nama bank yang akan dilikuidasi.
Dengan likuidasi, berarti sejumlah bank akan hilang dari peredaran. November 1997, ada 16 bank dilikuidasi dan dampaknya masih terasa hingga kini. Masyarakat terguncang, kepercayaan pada bank merosot tajam. Jaminan pemerintah untuk tabungan dan deposito, selain tak sepenuhnya menenteramkan masyarakat, juga bisa disalahgunakan oleh pihak bank. Karena itu, likuidasi yang akan dilakukan pekan depan diharapkan tak mengulangi kesalahan yang sama. Bank Indonesia tampak menyadari ini: banyak informasi (termasuk iklan) yang memberitahukan apa yang akan terjadi dan apa yang tak perlu dicemaskan.
Dalam likuidasi kini, diperkirakan minimal 16 bank ditutup, maksimal 40 bank. Likuidasi memang tak bisa dihindarkan, dengan risiko sejumlah karyawan menjadi penganggur. Banyak bank yang sudah tak lagi mampu berfungsi sebagai lembaga keuangan. Modalnya negatif, rencana bisnis tak ada atau tak layak, bankirnya tak berkualitas, kredit macetnya parah, kewajibannya sulit dipenuhi. Ini tentu saja akibat kebijakan dulu yang begitu mudah memberi peluang membuka usaha bank. Maklum, waktu itu ada gandrung deregulasi, dan orang tak berpikir jauh.
Dengan sikap gampangan yang menyusul setelah itu, likuidasi adalah "vonis" yang tak perlu ditangisi. Bank yang sakit bukan saja membebani nasabah dan krediturnya, tapi juga menghambat proses restrukturisasi sektor perbankan. Selagi restrukturisasi tertunda, perekonomian tetap terpuruk, jumlah penganggur membengkak, dan kehidupan bermasyarakat terancam. Restrukturisasi perbankan adalah kunci utama pemulihan ekonomi. Tentu saja, restrukturisasi itu dengan benar, bersih, dan efektif. Artinya tanpa kebiasaan lama untuk "berbaik-baik" dengan bankir, "mendiskon kebijakan", "memaafkan" pelanggaran BLBI.
Di sini bisa didaftar sejumlah nasihat yang semua bankir sebenarnya sudah tahu. Maka, yang perlu bukanlah menyusun nasihat, melainkan melembagakan pengawasan. Bekalnya sudah ada. Media massa yang lebih bebas sekarang bisa melakukan itu, asal juga bisa menjaga integritas?suatu hal yang bisa dilakukan dalam persaingan mereka merebut pasar dan kepercayaan masyarakat. Juga bila kehidupan politik lebih memungkinkan "akuntabilitas", dan pasar berlangsung tanpa monopoli dan perlindungan khusus. Reformasi, kata yang sudah mulai aus itu, memang dibutuhkan di mana-mana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini