INDONESIA sedang menghadapi sebuah acara penting yang belum pernah dialaminya sejak 1945?bahkan sejak zaman purba. Yaitu: memilih seorang presiden dari sejumlah kontestan. Dulu Bung Karno tak pernah dipilih. Setelah itu Soeharto hanya pura-pura dipilih. Kini ada banyak partai, ada banyak calon presidennya. Jadi, sementara republik lain di Asia sudah matang pengalaman dalam memilih pemimpin no. 1 mereka, Indonesia masih 100 persen ingusan.
Maka, ada baiknya kita back to basic sebentar. Pertama, perlu diingat: pemerintahan Indonesia bersistem presidensial. Pemilihan umum hanya memilih anggota DPR, sebanyak 462 wakil (38 anggota diangkat dari prajurit ABRI). Berarti ini hanya sebagian dari yang menentukan pemilihan presiden di MPR yang terdiri dari 700 anggota itu.
Mustahil sebuah partai mendapat suara lebih dari 60 persen dalam pemilihan nanti. Karena banyak partai, dan di antaranya hampir setanding pendukungnya, sukar diharap suara mayoritas untuk pemilihan presiden bisa diraih oleh calon sebuah partai. Karena itu, terpikir perlunya koalisi, untuk menggabung kekuatan suara. Tetapi kapan koalisi itu harus dilakukan? Lazimnya, koalisi dibentuk setelah pemilu karena memang kebutuhannya baru nyata setelah melihat hasil perolehan suara masing-masing. Namun ini kebiasaan sistem kabinet parlementer. Dalam sistem itu, berdiri dan bubarnya pemerintah tergantung sepenuhnya pada parlemen. Sedangkan dalam sistem Indonesia, koalisi lebih diperlukan di MPR, untuk memilih presiden dan wakilnya dan, setelah itu, kabinet.
Sebetulnya janggal bentuk koalisi diterapkan untuk sistem presidensial. Bayangkan: dalam kampanye, calon presiden (dan wakil presiden) sudah ditawarkan oleh setiap partai peserta. Setelah pemilihan umum punya hasil, betapa sukarnya kalau si A yang semula calon presiden Partai X kemudian digusur jadi calon wakil presiden saja dalam koalisi dengan Partai Y yang dibentuk setelah dekat sidang MPR. Sementara itu, si B yang tadinya calon wakil presiden harus dikemanakan? Jadi, kalau mau berkoalisi, sebaiknya lakukanlah sebelum kampanye. Dan sejak semula calon presiden serta wakil presiden koalisi harus diajukan dalam satu paket, untuk menghindari kerikuhan nantinya.
Tentu saja tak mudah untuk pagi-pagi sepakat bersekutu, karena kebanyakan partai-partai besar diketuai oleh pemimpin tradisional yang sukar untuk dinomorduakan jika koalisi terjadi. Bisa-bisa jadi urung menarik. Namun sebaliknya bila koalisi diciptakan setelah pemilu, rakyat kurang merasa diikutsertakanåylam memilih presidennya. Dilema ini perlu dipecahkan sekarang, mumpung masih ada sedikit waktu.
Namanya dilema, tentu tak gampang. Apalagi sekarang ini umumnya peran tokoh lebih menentukan ketimbang peran partainya, sehingga politik nasional hampir sepenuhnya soal hubungan pribadi para pemimpin. Koalisi tampaknya akan lebih ditentukan oleh pilihan apakah Pemimpin A dari Partai X merasa cocok dengan si B yang memimpin Partai Y. MPR jangan-jangan nanti lebih mirip biro jodoh, bukan tempat aliansi politik berdasar kondisi sosial, geografi, dan demografi para pemilih. Ego sang pemimpin juga akan sangat bicara. Namun, jika ini diteruskan, mungkin Habibie akan mengisi kursi kosong kepresidenan untuk kedua kalinya. Apalagi kalau berkoalisi dengan ABRI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini