Para yuris kini lagi asyik mengamati kasus Haji Thahir-Kartika Ratna. Nono Anwar Makarim, bekas Pemimpin Relaksi Harian KAMI yang kini menjadi ahli hukum perdata internasional, menulis untuk TEMPO. Oh, Kartika SEJAK 1969 Kartika Ratna "hidup bersama" dengan Haji Thahir. Januari 1974 kontrak antara Pertamina dan Klockner, perusahaan Jerman, untuk pembuatan instalasi raksasa di proyek besi baja Krakatau ditandatangani. Tidak lama kemudian katakanlah Februari 1974, Haji Thahir dan Kartika Ratna bertamasya ke Jepang, dijamu di mana-mana oleh banyak orang, termasuk Hotta San, pembesar Bank Sumitomo. Konon kabarnya pembesar bank inilah yang menasihatkan dua merpati itu untuk membuka rekening bersama pada cabang Bank Sumitomo di Singapura. Pada 29 Juli tahun itu juga Kartika Ratna resmi menjadi istri kedua dari Haji Thahir. Kehidupan perkawinan mereka nampaknya begitu menyenangkan sehingga pada tahun 1975 dibukalah rekening bersama pada Cabang Bank Sumitomo di Singapura. Kemudian menyusul rekening-rekening pada cabang-cabang Singapura dari Chase Manhattan dan Hongkong & Shanghai Banking Corporation. Pada 23 Juli 1976 Haji Thahir meninggal dunia. Saat itu Kartika Ratna berada di Jenewa. Kemungkinan besar ia menerima berita kematian suaminya pada 24 Juli. Katakanlah ia berangkat dari Swiss menuju Singapura pada hari itu juga. Dengan beda waktu antara Jenewa dan Singapura kira-kira ia tiba pada malam hari 25 Juli. Baru esoknya, pada 26 Juli operasi penarikan uang dari rekening-rekening bersama pada Chase dan Hongkong-Shanghai dapat dilaksanakan. Bagaikan elang menukik menembus awan dan lapisan-lapisan angin Kartika menyambar mangsanya. Ia berhasil mengosongkan rekening-rekening bank pada dua bank tersebut, tetapi gagal pada bank Sumitomo. Pada tanggal 27 Juli 1976, Akira Fujimine, manajer Cabang Sumitomo Bank Singapura menyampaikan kepada Kartika bahwa anak-anak Thahir telah mendahuluinya dan memblokir rekening bersama tersebut. Tiga hari kemudian Sumitomo mengajukan permintaan agar Pengadilan Tinggi Singapura menentukan siapa yang berhak atas dana yang tersimpan pada rekening bank tersebut. Dan bentrokan babak pertama pun terjadi. Namun demikian sebulan setelah itu, yaitu pada 13 Agustus 1976, pihak-pihak yang bersengketa mencapai kata sepakat untuk membagi dua harta karun sejumlah AS$ 35,8 juta tersebut. Apabila Kartika mematuhi kata sepakat itu, mungkin orang "luar" tak akan tahu tentang kekayaan besar yang ditinggalkan Haji Thahir. Tapi Kartika tergoda oleh keserakahan dan melanggar janji. Pada Februari 1977 dimulailah bentrokan babak kedua. Tiga bulan kemudian perkara terbongkar di kalangan umum dan Pertamina masuk gelanggang persengketaan. Di dalam bahasa perbankan istilah rekening bersama atau joint account berarti suatu rekening berada atas nama beberapa orang. Apabila seorang di antara orang-orang tersebut meninggal dunia, hal itu tidak berarti dana kemudian jatuh ke tangan pemegang rekening yang lain. Bagian dari dana yang merupakan milik orang yang wafat, apabila hal itu bisa ditentukan, jatuh pada ahli warisnya. Harus diingat bahwa "rekening bersama" bukan "milik bersama", suatu joint account bukan joint tenant, walaupun yang satu dapat diubah menjadi yang lain melalui instruksi khusus kepada bank yang bersangkutan sebelum meninggalnya seorang pemegang rekening. Hal ini nampaknya disadari oleh ahli-ahli hukum Bank Sumitomo. Tapi mengapa Sumitomo minta petunjuk dari Pengadilan Tinggi dan bukan kepada Pengadilan Tingkat Pertama? Apakah salah satu pihak yang bersengketa telah naik banding karena tidak puas dengan keputusan Pengadilan Tingkat Pertama? Di dalam sistem peradilan Inggris dikenal apa yang dinamakan probate court. Tugas pengadilan ini adalah meneliti surat-surat wasiat dan dokumen-dokumen harta peninggalan. Pengadilan tersebut memberi petunjuk siapa yang berhak menerima harta yang ditinggalkan oleh seorang yang wafat. Setelah probate court menentukan ahli warisnya, maka negara langsung mengenakan pajak atas harta peninggalan tersebut. DI dalam sistem peradilan Inggris peradilan ini merupakan bagian dari Pengadilan Tinggi. Singapura masih menganut sistem ini. Sumitomo mengajukan masalah ini kepada probate court karena takut memberikan uang kepada pihak yang salah. Akibat kesalahan semacam itu dapat berbentuk gugatan dari ahli waris dan tuntutan ganti rugi yang besar jumlahnya terhadap bank yang sembrono. Satu kesulitan yang akan dihadapi oleh Pengadilan Tinggi Singapura adaah bagaimana menentukan jumlah uang yang harus dianggap milik Haji Thahir dan jumlah yang layak dianggap sebagau hak Kartika. Menurut ketentuan pajak kekayaan R.I. Harta kekayaan Kartika dianggap sebagai milik suaminya dan dikenakan pajak sama-sama. Bagaimana dengan Chase Manhattan dan Hongkong, Shanghai? Apabila benar rekening bersama yang dibuka oleh Thahir-Kartika pada bank-bank tersebut adalah serupa dengan rekening bersama pada Sumitomo, maka kedua bank tersebut jelas sembrono dan dapat digugat oleh ahli waris Haji Thahir. Chase dan Hongkong-Shanghai harus membuktikan bahwa kasusnya berbeda dengan Sumitomo, bahwa ada instruksi khusus atau perjanjian khusus yang telah mengubah status joint account menjadi joint tenant. Dan ini tidak bisa dibuktikan begitu saja dengan secarik kartu tandatangan bank yang memuat istilah "and, or" ("dan, atau"). Istilah and walaupun ditambah dengan or menunjukkan bahwa Haji Thahir turut mempunyai hak atas rekening tersebut. Dan kalau yang punya hak meninggal, hak itu menurun pada ahli warisnya. Ditinjau sepintas lalu rasanya agak ganjil kalau Chase dan Hongkong-Shanghai lalai melaksanakan kewajibannya. Setiap bank yang bonafid setiap hari menugaskan pejabat-pejabatnya secara khusus untuk mengikuti berita-berita kematian di suratkabar. Begitu terbaca salah seorang nasabahnya meninggal dunia biasanya langsung rekening nasabah itu diblokir. Baru setelah ahli waris membuktikan dengan meyakinkan hak mereka atas dana yang ada dalam rekening tersebut maka bank akan mengangkat blokade rekening tadi. Kalau ada kesangsian atau sengketa, maka bank senantiasa minta petunjuk dari probate court. DALAM kasus Haji Thahir ini mungkin ada kelainan. Pertama-tama harus dipertimbangkan gerak cepat Kartika. Kedua, perlu juga diperhatikan beberapa waktu yang berlalu antara wafatnya seseorang nasabah dan munculnya berita di dalam suratkabar di Indonesia. Akhirnya mesti juga diperhitungkan jenjang waktu antara suratkabar terbit di Jakarta dan suratkabar tiba di atas meja pejabat-pejabat bank di Singapura. Kemungkinan lain adalah putra-putra Haji Thahir tahu tentang adanya joint account pada Sumitomo, sehingga hanya Sumitomolah yang cepat dihubungi. Semata-mata ditinjau dari afidavit (pernyataan tertulis di bawah sumpah) yang diajukan oleh pengacara-pengacaranya bulan Oktober tahun lalu, nampaknya kecil sekali harapan sukses dari gugatan Pertamina. Segala kesimpulan yang "hampir pasti" bahwa dana yang ada pada bank Sumitomo diperoleh Haji Thahir secara "tidak legal" dengan "menyalahgunakan jabatan" pangkatnya jauh di bawah bukti. Yang dibutuhkan adalah bukti hitam di atas putih bahwa pada tanggal-tanggal tertentu Thahir menerima uang sejumlah tertentu dari kontraktor Pertamina tertentu. Kontraktor tersebut harus mengakui bahwa benar jumlah tadi telah diberikan kepada Thahir, dan bahwa pemberian tersebut adalah untuk imbalan jasajasa yang telah diberikan Thahir sehubungan dengan kontrak yang diperoleh kontraktor itu. Kemudian Pertamina harus muncul dengan bukti-bukti putusan Pengadilan Negeri Jakarta bahwa jasa yang diberikan Thahir kepada kontraktor merupakan penyalahgunaan jabatan. Inilah yang disebut orang sebagai uphill battle. Perincian tentang pemasukan uang ke dalam rekening bank Sumitomo hanya diketahui oleh Sumitomo dan nasabahnya. Sumitomo tidak berkewajiban dan akan menolak permintaan Pertamina untuk membongkar rahasia banknya. Hanya nasabahnyalah yang berhak memperoleh informasi itu. Pertamina jelas bukan nasabah. Siapa nasabah yang berhak itu masih dalam pengusutan oleh Pengadilan Tinggi Singapura. Dari kontraktor Pertamina juga sulit diharapkan pernyataan yang sama artinya dengan bunuh diri bagi perusahaannya. Dan kalau dari dua sumber ini tidak bisa diperoleh informasi dan kerjasama, maka proses di pengadilan negeri Jakarta sulit dimulai. Harapan sukses claim Pertamina boleh dikatakan hampir tidak ada. Tentu para pengacaranya pun sadar akan hal ini. Dugaan saya adalah, Pertamina turut serta dalam proses di Singapura dengan tujuan untuk sedikit menyelamatkan pamor dan nama baiknya yang sedang diseret-seret dalam lumpur. Kepada Pertamina kita beri sedikit harapan dan banyak simpati. Bisakah harta karun peninggalan Haji Thahir diselamatkan untuk negara melalui pajak? Masalahnya agak kompleks. Pajak pendapatan dikenakan terhadap orang yang berkediaman di Indonesia. Haji Thahir berkediaman di Indonesia. Tapi bagaimana dengan Kartika? Problem ini barangkali dapat diatasi dengan memperlakukan ketentuan dalam hukum pajak kita yang menyatakan bahwa pendapatan dari seorang wanita yang bersuami dianggap sebagai pendapatan suaminya. Dengan pendapatan yang sedemikian besarnya suami-istri Thahir-Kartika bisa dikenakan 50% pajak atas pendapatan tersebut. Itu adalah pajak untuk tahun ini. Kemudian diperiksalah laporan-laporan Haji Thahir mengenai pendapatannya di tahun-tahun sebelumnya. Katakanlah sejak tahun 1975, yaitu tahun dibukanya rekening bersama pada Sumitomo. Kalau dalam laporan kepada pajak itu ternyata Haji Thahir menyembunyikan pendapatan sebesar berpuluh-puluh juta dollar Amerika, maka harta peninggalannya bisa dikenakan denda sampai 100% dari pajak yang terhutang. Dengan demikian habislah harta karun Thahir termakan pajak. Kalau masih dianggap perlu bahkan bisa pula dikenakan pajak kekayaan sebesar 5 per seribu dari nilai tunai kekayaan Haji Thahir untuk setiap tahun di mana ia lalai membayar. Juga di sini bisa dikenakan denda. Sanksi-sanksi pidana juga ada dalam undang-undang perpajakan kita, walaupun secara praktis tidak pernah dilaksanakan. Apabila semua ini bisa dilaksanakan oleh pejabat-pejabat perpajakan kita, maka masih tersisa masalah yang terbesar dalam penagihan. Apakah Bank Sumitomo, apakah Pengadilan Tinggi Singapura, apakah pemerintah Singapura bersedia melaksanakan tagihan pajak R.I.? Kiranya kok tidak. Pertama-tama karena tidak ada Perjanjian Perpajakan antara Singapura dan R.I. Kedua, karena bantuan pemerintah Singapura dalam pelaksanaan surat paksa pajak R.I. bisa merugikan dunia perbankan Singapura secara langsung, dan kas negara Singapura secara tidak langsung. Orang-orang kaya Indonesia akan menarik uangnya dari bank-bank Singapura dan itu dapat mempengaruhi kedudukan negara tersebut sebagai pusat keuangan Asia Tenggara. KETUK hati Singapura dengan himbauan solidaritas ASEAN? Boleh saja dicoba, tapi saya sangsi akan mujarabnya upaya tersebut. Ini tidak berarti bahwa semua pihak sebaiknya berdiam-diam saja. Segenap upaya patut dikerahkan untuk membuktikan pada dunia luar bahwa kita sungguh-sungguh dalam menghadapi kebocoran hak keuangan negara ini. Yang kita harapkan adalah agar pajak bergerak cepat dan cermat. Proses surat paksa, dan kalau layak proses pidana, segera dimulai di Jakarta. Sekaligus pihak pajak harus juga masuk ke dalam proses pengadilan Singapura. Dengan operasi tiga jalur ini kita sudah berusaha seeara maksimal. Kalau berhasil bagus, kalau gagal kita punya pengalaman yang berharga. Siapa tahu, hari ini Singapura, besok Hongkong, lusa New York, San Fransisco, dan tahun depan Swiss. Rekening bank jutawan-jutawan Indonesia tersebar di seluruh dunia. Pengalaman gagal atau sukses dengan Sumitomo Singapura merupakan bekal dalam usaha menagih sedikit uang rakyat. Sementara itu Kartika ditunggu kedatangannya di kalangan cafe society Eropa. Dalam bayangan saya tergambar dua orang bernama Ratna, yang satu Ratna Sari Dewi yang lain Kartika Ratna, bersantap malam di Regine sambil tukar-menukar obrolan kecil tentang romantisme pria Indonesia yang bersemboyan "jabatanku untuk cintamu". Resep dokter untuk orang yang punya bayangan-bayangan semacam ini adalah 2 pil valium. Oh, Kartika .....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini