Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sengketa Uang

Sengketa rekening almarhum haji thahir, bekas asisten umum. dirut pertamina, antara istri mudanya ny. kartika ratna dan anak-anaknya. kasus ini sudah melibatkan dpr, pemerintah dan ibnu sutowo. (nas)

23 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH bertingkat yang rindang di daerah mahal Grange Road, Singapura, nampak sepi. Sudah sejak beberapa waktu lalu wanita penghuni salah satu flat megah itu, milik pengusaha kaya Henry Kwee, tak kelihatan. Kartika Ratna, istri kedua almarhum Haji Thahir -- dulu Asisten Umum Dir-Ut Pertamina Ibnu Sutowo -- akhir-akhir ini rupanya menghindar untuk bertemu orang. Kecuali dengan teman-teman dekatnya. Atau dengan pengacaranya, Drew & Napier, yang memegang sengketa rekening bersama di Sumitomo Bank cabang Singapura berjumlah US$35 juta. Sengketa keluarga yang sejak pertengahan 1976 berlangsung di Pengadilan Tinggi Singapura itu jadi ramai setelah koran terbitan Hongkong The Asian Wall Street Journal mengungkapkan riwayat rekening bersama almarhum H. Thahir-Kartika Ratna, 5 Februari 1980. Lebih menarik lagi ketika diberitakan bahwa almarhum Thahir, bersama istri keduanya yang cantik itu, memiliki deposito berjangka di cabang The Chase Manhattan Bank dan The Hongkong & Shanghai Banking Corporation -- keduanya di Singapura juga. Jumlah seluruh deposito berjangka di ketiga bank itu US$80 juta atau Rp 50 milyar atau sama dengan harga 30.000 buah lebih rumah Perumnas type sedang. Tak banyak yang tahu ketika 27 Juli 1976, empat hari setelah Haji Thahir meninggal, Kartika Ratna datang ke cabang Bank Sumitomo tadi untuk menguangkan sebagian dari deposito berjangka mereka. Tak pula banyak yang tahu ketika manajer bank itu, Akira Fujimene, memblokir seluruh rekening bersama Thahir-Kartika, karena kedua anak almarhum, Ibrahim dan Abubakar Thahir, mengetuk pintu Akira San dan mengaku sebagai pewaris sah ayahnya. Bahkan setelah Akira Fujimene, kini manajer cabang Sumitomo Bank di Hongkong, menyerahkan soalnya ke Pengadilan Tinggi Singapura, sengketa itu berlangsung secara diam-diam. Pertamina sendiri, yang merasa yakin simpanan bersama Haji Thahir dan istri mudanya itu diperoleh dari "komisi" kontraktor asing, baru ikut terjun menangani perkara itu pada 6 Mei 1977, hampir setahun setelah Haji Thahir wafat. Seandainya saja Ny. Kartika Rtna tadinya bersedia untuk membagi dua deposito berjangka yang disimpan di bank Sumitomo tersebut dengan keluarga dari istri pertama Haji Thahir, barangkali soal kekayaan besar itu akan tetap tertutup. Dan Kartika Ratna wanita kelahiran Nganjuk Jawa Timur yang suka berkelana di Eropa itu akan bisa menikmati sendiri uang itu. Tapi kini tak kurang dari DPR-RI yang bersuara nyaring, setelah lebih tiga tahun 'mempeti-eskan' kemelut Pertamina. Tak kurang dari Ketua DPR/MPR Daryatmo yang minta agar Pemerintah "meneliti apakah bekas Dir-Ut Pertamina Ibnu Sutowo itu koruptor atau pahlawan." Ada juga pembicara dari F-PP yang minta agar Ibnu Sutowo dipanggil untuk berbicara di DPR. Lalu disusul dengan 7 anggota F-KP yang melayangkan "surat pertanyaan" kepada Presiden tentang masalah Pertamina. "Ini baru langkah pertama untuk mencapai tujuan yang kita kehendaki," ujar Rachmat Witular, Ketua Komisi VI. Apa isi surat Rachmat dan 6 teman sefraksinya belum diketahui. Sampai akhir minggu lalu, seperti kata Ketua Daryatmo, surat itu belum lagi disampaikan ke tangan Presiden, karena masih dirundingkan di antara pucuk pimpinan DPR. Gagal atau berhasil surat itu nanti, yang jelas kasus Haji Thahir menggugah sekelompok anggota F-KP yang masih muda untuk menyoal pemerintah: Apa saja yang telah diperbuat oleh pemerintah untuk mengamankan kekayaan Pertamina yang tersebar di mana-mana, seperti halnya simpanan Haji Thahir itu? Perkara Haji Thahir itu menjadi menarik sekali, mengingat dialah orang yang dianggap paling dekat dengan bekas Dir-Ut Pertamina Ibnu Sutowo. Dalam perundingan dengan para kontraktor Jerman untuk proyek baja Krakatau Steel, adalah Haji Thahir yang memainkan rol. Bahkan, "dia ternyata punya peranan yang lebih besar dari Ibnu Sutowo dalam hal Krakatau Steel," kata seorang pejabat yang mengetahui. Proyek Krakatau Steel agaknya merupakan lembaran hitam dahm investasi swasta Jerman Barat di Indonesia. Semasa Ir. Marjuni Warganegara jadi Dir-Ut PT Krakatau Steel, proyek raksasasa itu nyaris terbenam dalam lumpur utang jangka pendek bernilai US$2 milyar. Kemudian tim penyehatan di bawah Menteri PAN Sumarlin berhasil merundingkan kembali dengan para kontraktor Jerman itu, dan menekan biaya seluruhnya menjadi di bawah US$1 milyar: suatu jumlah yang masih raksasa. Adalah kontraktor Jerman Klockner yang diduga telah memberikan "komisi" atau "uang pelicin" melalui Haji Thahir, dari bagian proyeknya di PT Krakatau Steel yang meliputi DM 469 juta (US$ 269,2 juta menurut nilai tukar sekarang). Praktek semacam ini diketahui sudah jadi rutin, meskipun dalam kasus ini belum terbukti. Pihak Klockner sendiri sudah membantah. Tapi kalau benar Haji Thahir bertindak sebagai orang yang bertanggungjawab dalam "perundingan, pembuatan dan pelaksanaan berbagai kontrak, pinjaman dan proyek yang meliputi ratusan juta dollar AS," seperti dikemukakan dalam affidavit pengacara Pertamina, menjadi pertanyaan: Siapa saja yang mendampingi pembantu utama Ibnu Sutowo itu sebagai staf ahli? Sebuah sumber di Pertamina, yang bekerja semenjak zaman Ibnu Sutowo, menerangkan proyek Krakatau itu sesungguhnya berada di luar jangkauan Pertamina. "Secara organik Pertamina tak pernah ikut dalam negosiasi-negosiasi dengan para kontraktor Jerman. Dari Pertamina, yang langsung terliba adalah Ibnu Sutowo, ketika itu Komisaris Utama PT Krakatau Steel dan HajiThahir," katanya. Menurut sumber tersebut, posisi almarhum Thahir memang unik sekali di Pertamina. "Pak Haji itu tak punya bawahan langsung atau staf ahli," katanya. "Dia langsung berhubungan dengan Pak Ibnu, dan kamarnya pun persis di sebelah kamar Dir-Ut Pertamina yang hanya dipisah oleh sebuah pintu tembus." Begitu akrab hubungan antara keduanya digambarkan, sehingga antara mereka tak lagi ada rahasia. Berbeda dengan para direktur dan kepala biro, sang Asisten Umum ini kabarnya enak saja masuk-keluar ruangan Dir-Ut -- antara lain kalau mau ke kamar kecil yang berada di kamar Dir-Ut. Karena itu, kadang kalau lagi ada tamu asing yang penting, Ibnu Sutowo terpaksa mengunci pintu tembus itu. Ini berarti Pak Haji juga tak bisa ke kamar kecil. Haji kelahiran Palembang itu memang sering digambarkan sebagai seorang yang suka beroperasi sendiri. Yang menarik, almarhum konon tak mnguasai bahasa Inggris. Bahkan untuk pesan makanan di restoran Singapura ia sering kerepotan. Dengan bahasa Inggrisnya yang cuma sekedarnya, bagaimana ia bisa berhubungan bisnis dengan orang Jerman? Agaknya, di sinilah berperan Kartika. Wanita yang di antara orang-orang Pertamina dikenal sebagai "Tante Els" itulah yang jadi penterjemah Haji Thahir. Dibesarkan di Malang, Kartika Ratna Tandio pernah menempuh pendidikan H.B.S. di Surabaya. "Tidak mustahil adalah Kartika yang ikut dalam negosiasi," kata sebuah sumber lain. Wanita ini, meskipun tidak cemerlang, punya kemampuan menarik simpati rupanya. Tingginya sedang, cukup langsing untuk usianya yang 46 tahun. Bahasa Inggrisnya tidak sempurna benar, dan mulutnya masih menyimpan logat Jawa, tapi wajahnya adalah wajah keturunan Tionghoa yang cantik. BAGAIMANA wanita itu mema suki kehidupan tokoh yang pernah berkuasa di Pertamina itu, masih teka-teki. Ada yang bilang, pengusaha beken Robin Loh yang memang dekat dengan Pertamina yang memperkenalkan Kartika dengan Haji Thahir. Pernah, di awal 1970 perwakilan Robin Loh di Surabaya diminta untuk menjemput Kartika di pelabuhan udara Juanda, lalu mencarikan taksi untuk ke Malang. Kepada TEMPO, Iwa Kusuma, bekas perwakilan Robin Loh itu hanya mengetahui, wanita itu bernama "Elsye". Tapi di awal 1970-an itu pula, Els, yang lama bermukim di Singapura, setelah bercerai dari suami pertama, mulai nampak di gelanggang Organisasi Wanita Indonesia di Singapura. Ketika itu dia memang dikabarkan sudah "hidup bersama" Haji Thahir. Lalu menikah di Jakarta, di rumah Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo, bekas Menteri Perdagangan R.I. dulu, di Jalan Diponegoro 6, Jakarta. (TEMPO, 16 Februari). Wanita yang kemudian dikenal bernama Kartika Ratna itu, menurut sebuah sumber, bukan pula istri kedua almarhum Haji Thahir. Tapi istri yang ketiga. Sebab selain istri pertama Rukiah, yang kini mendiami rumah almarhum yang di Kemang Raya, "Pak Haji itu pernah kawin dengan seorang wanita lain di Jakarta," kata sumber itu. Kalau dari Kartika tak sampai membuahkan keturunan, dari istri kedua itu almarhum dikabarkan punya beberapa anak yang sudah dewasa juga. Kalau benar begitu, bisa bertambah ramai gugatan terhadap harta waris bekas orang kepercayaan Dir-Ut Pertamina Ibnu Sutowo itu. Bagaimana Haji Thahir bisa mendapat kepercayaan sebesar itu dari Ibnu Sutowo, orang perlu menengok masa lalu. Di zaman Jepang, dia pernah menjadi kepala kampung (lurah) di 10 Ilir Palembang. Tapi begitu Jepang menyerah dan pecah perang kemerdekaan, ia segera menggabungkan diri di dalam ketentaraan. Ia mendapat pangkat mayor tituler dan bertugas di bagian Intendans. Kerjanya mencari dana dan logistik bagi keperluan perang. Waktu itu ia juga sudah sering melakukan penyelundupan senjata dari Singapura. Dengan tugas dan pangkat tituler itu, pada waktu itu Thahir sudah terkenal di kalangan tentara di Sumatera Selatan. Di zaman gerilya, mayor yang berjiwa dagang itu oleh teman-temannya dijuluki "mayor Fordes" mengambil nama komandan tentara Belanda yang waktu itu menduduki Kota Palembang. Dia mulai bersama-sama dengan Ibnu ketika bergerilya di daerah Sumatera Selatan. Waktu itu Ibnu Sutowo juga berpangkat mayor. Kerjasama keduanya dilanjutkan ketika dr. Ibnu Sutowo, perwira kesehatan, mendapat tugas dari pemerintah untuk membina Permina dan mencari minyak. Menurut teman-temannya, ia dipakai Ibnu di samping karena pengalamannya di Intendans, juga karena ia dikenal sebagai orang yang penurut. Selama bekerja dengan Ibnu Sutowo, Haji Thahir adalah satu-satunya orang yang tak pernah menjawab bila dimarahi dan sanggup mengerjakan apa saja yang disuruh Ibnu Sutowo. Kepatuhan Haji Thahir -- yang mendapat Satya Lencana Kemerdekaan dan dikubur di Taman Makam Pahlawan Kalibata -- ternyata bukan cuma terhadap Ibnu Sutowo. Tapi juga mungkin terhadap Kartika Ratna. Misalnya almarhum bersedia membuka rekening bersama (joint accaunt) di beberapa bank di luar negeri bersama istri barunya itu. Ny. Kartika Ratna Thahir dalam suatu pernyataan mengaku keduanya mulai membicarakan membuka rekening bersama dengan manajer Bank Sumitomo di Singapura, pada 10 Juni 1974 -- lebih kurang sebulan sebelum mereka menikah di Jakarta. Juga wanita itu tak mengelak ernah membuka satu rekening bersama dengan suaminya sebelum akhir 1975. Tapi mengapa Chase Manhattan dan The Hongkong-Shanghai dengan mudah mencairkan seluruh deposito berjangka Thahir-Kartika, dan Sumitomo menolaknya? Pihak Bank Sumitomo, baik yang di Tokyo maupun manajer Akira Fujimene yang kini di Hongkong menolak menjawab Raphael Pura, koresponden The Asian Wall Street Journal di Jakarta. Tapi beberapa bankir di Jakarta menyatakan keheranannya. "Saya juga bingung Sumitomo menolak," kata Toshiaki Sasaki, deputi manajer umum Bank of Tokyo cabang Jakarta. Kepada Bachrun Suwatdi dari TEMPO, Toshiaki Sasaki memperkirakan ada kemungkinan deposito berjangka yang disimpan di Bank Sumitomo itu tercatat atas nama "Mr and Mrs." (Tuan dan Nyonya). Atau dalam istilah perbankannya, sebagai joint account with double signatulfes (rekening bersama dengan tandatangan ganda). Sedang yang disimpan di kedua bank lainnya itu adalah atas nama "Mr. or Mrs." (Tuan atau Nyonya). Dengan kata lain, merupakan joint account with single or double signatures (rekening bersama dengan tandatangan tunggal atau ganda). Besar kemungkinan dalam hal rekening bersama dengan tandatangan tunggal atau ganda itulah, sang janda separuh baya itu sengaja telah mencairkan seluruh depositonya dan kemudian mentransfernya atas namanya sendiri. Kalau benar itu terjadi, menurut Nono Anwar Makarim, ahli hukum perdata internasional yang kini bekerja pada kantor pengacara Adnan Buyung Nasution & Associates, kedua bank itu bisa dituntut (lihat kolom). Namun menurut lentaroh Kaba, kepala perwakilan The Industrial Bank of Japan di Jakarta, tindakan Chase dan Hongkong-Shanghai itu benar, kecuali ada suatu "perjanjian khusus". Itulah yang mungkin terjadi antara Thahir dengan Bank Sumitomo. Yang dimaksud dengan adanya "perjanjian khusus" itu, menurut Gentaroh Baba adalah kemungkinan adanya "pesan khusus dari boss di Tokyo agar tak membayar kepada Ny. Kartika Ratna kecuali disertai tandatangan dari suaminya". Kata Baba: "Kalau saya Ny. Kartika akan saya tuntut Bank Sumitomo cabang Singapura ke muka pengadilan. Tak biasanya bank menolak penarikan uang atas rekening bersama, sekalipun salah seorang dari nasabah itu meninggal." Bankir Jepang yang rupanya mengikuti kisah harta karun Haji Thahir itu akhirnya berpendapat, bahwa "lebih baik menyimpan rekening bersama seperti itu di bank Swiss daripada di suatu bank Jepang di Singapura." Mengapa? "Yah, kalau di Swiss kan tak perlu pakai nama dan tandatangan. Cukup dengan menggunakan Membered account (rekening bernomor). Tinggal anda menyimpan baik-baik nomor tersebut di dalam kotak pengaman," katanya. PENGACARA terkenal Prof. Dr. Gautama juga beranggapan sebuah rekening bersama boleh diambil salah satu penandatangan. "Baik selagi orang yang satu itu masih hidup ataupun sudah meninggal," katanya kepada Karni Ilyas dari TEMPO. "Kecuali kalau timbul sengketa sebelumnya." Tanpa menyebutkan Bank Sumitomo, Gautama nampaknya membenarkan tindakan bank yang memblokir uang, karena munculnya ahli waris yang menuntut bagian dari rekening itu. "Perang pasal" dalam hukum perdata internasional itu tentu akan kembali ramai diperdebatkan di Pengadilan Tinggi Singapura. Banyak orang setuju, bahwa tipis kemungkinannya untuk memperoleh uang yang disimpan di Chase Manhattan dan The Hongkong-Shanghai tadi. Harapan yang masih ada, buat Pertamina, hanyalah yang deposito US$ 35 juta yang masih disimpan di Bank Sumitomo. Pengacara Albert Hasibuan yakin "kedudukan pemerintah cukup kuat untuk menuntut kembalinya rekening bersama di Bank Sumitomo itu," katanya. "Menurut ketentuan dalam hukum Inggris suatu komisi itu merupakan hak majikan. Dalam hal almarhum Haji Thahir, majikannya ketika itu adalah Pertamina." Tepat sekali. Tapi membuktikan bahwa harta karun yang puluhan juta dollar itu adalah hasil komisi kontraktor asing itulah yang maha sulit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus