RUMAH bertingkat yang rindang di daerah mahal Grange Road,
Singapura, nampak sepi. Sudah sejak beberapa waktu lalu wanita
penghuni salah satu flat megah itu, milik pengusaha kaya Henry
Kwee, tak kelihatan. Kartika Ratna, istri kedua almarhum Haji
Thahir -- dulu Asisten Umum Dir-Ut Pertamina Ibnu Sutowo --
akhir-akhir ini rupanya menghindar untuk bertemu orang. Kecuali
dengan teman-teman dekatnya. Atau dengan pengacaranya, Drew &
Napier, yang memegang sengketa rekening bersama di Sumitomo Bank
cabang Singapura berjumlah US$35 juta.
Sengketa keluarga yang sejak pertengahan 1976 berlangsung di
Pengadilan Tinggi Singapura itu jadi ramai setelah koran
terbitan Hongkong The Asian Wall Street Journal mengungkapkan
riwayat rekening bersama almarhum H. Thahir-Kartika Ratna, 5
Februari 1980. Lebih menarik lagi ketika diberitakan bahwa
almarhum Thahir, bersama istri keduanya yang cantik itu,
memiliki deposito berjangka di cabang The Chase Manhattan Bank
dan The Hongkong & Shanghai Banking Corporation -- keduanya di
Singapura juga. Jumlah seluruh deposito berjangka di ketiga bank
itu US$80 juta atau Rp 50 milyar atau sama dengan harga 30.000
buah lebih rumah Perumnas type sedang.
Tak banyak yang tahu ketika 27 Juli 1976, empat hari setelah
Haji Thahir meninggal, Kartika Ratna datang ke cabang Bank
Sumitomo tadi untuk menguangkan sebagian dari deposito berjangka
mereka. Tak pula banyak yang tahu ketika manajer bank itu, Akira
Fujimene, memblokir seluruh rekening bersama Thahir-Kartika,
karena kedua anak almarhum, Ibrahim dan Abubakar Thahir,
mengetuk pintu Akira San dan mengaku sebagai pewaris sah
ayahnya. Bahkan setelah Akira Fujimene, kini manajer cabang
Sumitomo Bank di Hongkong, menyerahkan soalnya ke Pengadilan
Tinggi Singapura, sengketa itu berlangsung secara diam-diam.
Pertamina sendiri, yang merasa yakin simpanan bersama Haji
Thahir dan istri mudanya itu diperoleh dari "komisi" kontraktor
asing, baru ikut terjun menangani perkara itu pada 6 Mei 1977,
hampir setahun setelah Haji Thahir wafat. Seandainya saja Ny.
Kartika Rtna tadinya bersedia untuk membagi dua deposito
berjangka yang disimpan di bank Sumitomo tersebut dengan
keluarga dari istri pertama Haji Thahir, barangkali soal
kekayaan besar itu akan tetap tertutup. Dan Kartika Ratna wanita
kelahiran Nganjuk Jawa Timur yang suka berkelana di Eropa itu
akan bisa menikmati sendiri uang itu.
Tapi kini tak kurang dari DPR-RI yang bersuara nyaring, setelah
lebih tiga tahun 'mempeti-eskan' kemelut Pertamina. Tak kurang
dari Ketua DPR/MPR Daryatmo yang minta agar Pemerintah "meneliti
apakah bekas Dir-Ut Pertamina Ibnu Sutowo itu koruptor atau
pahlawan." Ada juga pembicara dari F-PP yang minta agar Ibnu
Sutowo dipanggil untuk berbicara di DPR. Lalu disusul dengan 7
anggota F-KP yang melayangkan "surat pertanyaan" kepada Presiden
tentang masalah Pertamina.
"Ini baru langkah pertama untuk mencapai tujuan yang kita
kehendaki," ujar Rachmat Witular, Ketua Komisi VI. Apa isi surat
Rachmat dan 6 teman sefraksinya belum diketahui. Sampai akhir
minggu lalu, seperti kata Ketua Daryatmo, surat itu belum lagi
disampaikan ke tangan Presiden, karena masih dirundingkan di
antara pucuk pimpinan DPR.
Gagal atau berhasil surat itu nanti, yang jelas kasus Haji
Thahir menggugah sekelompok anggota F-KP yang masih muda untuk
menyoal pemerintah: Apa saja yang telah diperbuat oleh
pemerintah untuk mengamankan kekayaan Pertamina yang tersebar di
mana-mana, seperti halnya simpanan Haji Thahir itu?
Perkara Haji Thahir itu menjadi menarik sekali, mengingat dialah
orang yang dianggap paling dekat dengan bekas Dir-Ut Pertamina
Ibnu Sutowo. Dalam perundingan dengan para kontraktor Jerman
untuk proyek baja Krakatau Steel, adalah Haji Thahir yang
memainkan rol. Bahkan, "dia ternyata punya peranan yang lebih
besar dari Ibnu Sutowo dalam hal Krakatau Steel," kata seorang
pejabat yang mengetahui.
Proyek Krakatau Steel agaknya merupakan lembaran hitam dahm
investasi swasta Jerman Barat di Indonesia. Semasa Ir. Marjuni
Warganegara jadi Dir-Ut PT Krakatau Steel, proyek raksasasa itu
nyaris terbenam dalam lumpur utang jangka pendek bernilai US$2
milyar. Kemudian tim penyehatan di bawah Menteri PAN Sumarlin
berhasil merundingkan kembali dengan para kontraktor Jerman itu,
dan menekan biaya seluruhnya menjadi di bawah US$1 milyar: suatu
jumlah yang masih raksasa.
Adalah kontraktor Jerman Klockner yang diduga telah memberikan
"komisi" atau "uang pelicin" melalui Haji Thahir, dari bagian
proyeknya di PT Krakatau Steel yang meliputi DM 469 juta
(US$ 269,2 juta menurut nilai tukar sekarang). Praktek semacam
ini diketahui sudah jadi rutin, meskipun dalam kasus ini belum
terbukti. Pihak Klockner sendiri sudah membantah.
Tapi kalau benar Haji Thahir bertindak sebagai orang yang
bertanggungjawab dalam "perundingan, pembuatan dan pelaksanaan
berbagai kontrak, pinjaman dan proyek yang meliputi ratusan juta
dollar AS," seperti dikemukakan dalam affidavit pengacara
Pertamina, menjadi pertanyaan: Siapa saja yang mendampingi
pembantu utama Ibnu Sutowo itu sebagai staf ahli?
Sebuah sumber di Pertamina, yang bekerja semenjak zaman Ibnu
Sutowo, menerangkan proyek Krakatau itu sesungguhnya berada di
luar jangkauan Pertamina. "Secara organik Pertamina tak pernah
ikut dalam negosiasi-negosiasi dengan para kontraktor Jerman.
Dari Pertamina, yang langsung terliba adalah Ibnu Sutowo,
ketika itu Komisaris Utama PT Krakatau Steel dan HajiThahir,"
katanya.
Menurut sumber tersebut, posisi almarhum Thahir memang unik
sekali di Pertamina. "Pak Haji itu tak punya bawahan langsung
atau staf ahli," katanya. "Dia langsung berhubungan dengan Pak
Ibnu, dan kamarnya pun persis di sebelah kamar Dir-Ut Pertamina
yang hanya dipisah oleh sebuah pintu tembus."
Begitu akrab hubungan antara keduanya digambarkan, sehingga
antara mereka tak lagi ada rahasia. Berbeda dengan para direktur
dan kepala biro, sang Asisten Umum ini kabarnya enak saja
masuk-keluar ruangan Dir-Ut -- antara lain kalau mau ke kamar
kecil yang berada di kamar Dir-Ut. Karena itu, kadang kalau lagi
ada tamu asing yang penting, Ibnu Sutowo terpaksa mengunci pintu
tembus itu. Ini berarti Pak Haji juga tak bisa ke kamar kecil.
Haji kelahiran Palembang itu memang sering digambarkan sebagai
seorang yang suka beroperasi sendiri. Yang menarik, almarhum
konon tak mnguasai bahasa Inggris. Bahkan untuk pesan makanan
di restoran Singapura ia sering kerepotan. Dengan bahasa
Inggrisnya yang cuma sekedarnya, bagaimana ia bisa berhubungan
bisnis dengan orang Jerman?
Agaknya, di sinilah berperan Kartika. Wanita yang di antara
orang-orang Pertamina dikenal sebagai "Tante Els" itulah yang
jadi penterjemah Haji Thahir. Dibesarkan di Malang, Kartika
Ratna Tandio pernah menempuh pendidikan H.B.S. di Surabaya.
"Tidak mustahil adalah Kartika yang ikut dalam negosiasi," kata
sebuah sumber lain.
Wanita ini, meskipun tidak cemerlang, punya kemampuan menarik
simpati rupanya. Tingginya sedang, cukup langsing untuk usianya
yang 46 tahun. Bahasa Inggrisnya tidak sempurna benar, dan
mulutnya masih menyimpan logat Jawa, tapi wajahnya adalah wajah
keturunan Tionghoa yang cantik.
BAGAIMANA wanita itu mema suki kehidupan tokoh yang pernah
berkuasa di Pertamina itu, masih teka-teki. Ada yang bilang,
pengusaha beken Robin Loh yang memang dekat dengan Pertamina
yang memperkenalkan Kartika dengan Haji Thahir. Pernah, di awal
1970 perwakilan Robin Loh di Surabaya diminta untuk menjemput
Kartika di pelabuhan udara Juanda, lalu mencarikan taksi untuk
ke Malang. Kepada TEMPO, Iwa Kusuma, bekas perwakilan Robin Loh
itu hanya mengetahui, wanita itu bernama "Elsye".
Tapi di awal 1970-an itu pula, Els, yang lama bermukim di
Singapura, setelah bercerai dari suami pertama, mulai nampak di
gelanggang Organisasi Wanita Indonesia di Singapura. Ketika itu
dia memang dikabarkan sudah "hidup bersama" Haji Thahir. Lalu
menikah di Jakarta, di rumah Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo, bekas
Menteri Perdagangan R.I. dulu, di Jalan Diponegoro 6, Jakarta.
(TEMPO, 16 Februari).
Wanita yang kemudian dikenal bernama Kartika Ratna itu, menurut
sebuah sumber, bukan pula istri kedua almarhum Haji Thahir. Tapi
istri yang ketiga. Sebab selain istri pertama Rukiah, yang kini
mendiami rumah almarhum yang di Kemang Raya, "Pak Haji itu
pernah kawin dengan seorang wanita lain di Jakarta," kata sumber
itu. Kalau dari Kartika tak sampai membuahkan keturunan, dari
istri kedua itu almarhum dikabarkan punya beberapa anak yang
sudah dewasa juga. Kalau benar begitu, bisa bertambah ramai
gugatan terhadap harta waris bekas orang kepercayaan Dir-Ut
Pertamina Ibnu Sutowo itu.
Bagaimana Haji Thahir bisa mendapat kepercayaan sebesar itu dari
Ibnu Sutowo, orang perlu menengok masa lalu. Di zaman Jepang,
dia pernah menjadi kepala kampung (lurah) di 10 Ilir Palembang.
Tapi begitu Jepang menyerah dan pecah perang kemerdekaan, ia
segera menggabungkan diri di dalam ketentaraan. Ia mendapat
pangkat mayor tituler dan bertugas di bagian Intendans. Kerjanya
mencari dana dan logistik bagi keperluan perang. Waktu itu ia
juga sudah sering melakukan penyelundupan senjata dari
Singapura.
Dengan tugas dan pangkat tituler itu, pada waktu itu Thahir
sudah terkenal di kalangan tentara di Sumatera Selatan. Di zaman
gerilya, mayor yang berjiwa dagang itu oleh teman-temannya
dijuluki "mayor Fordes" mengambil nama komandan tentara Belanda
yang waktu itu menduduki Kota Palembang.
Dia mulai bersama-sama dengan Ibnu ketika bergerilya di daerah
Sumatera Selatan. Waktu itu Ibnu Sutowo juga berpangkat mayor.
Kerjasama keduanya dilanjutkan ketika dr. Ibnu Sutowo, perwira
kesehatan, mendapat tugas dari pemerintah untuk membina Permina
dan mencari minyak. Menurut teman-temannya, ia dipakai Ibnu di
samping karena pengalamannya di Intendans, juga karena ia
dikenal sebagai orang yang penurut. Selama bekerja dengan Ibnu
Sutowo, Haji Thahir adalah satu-satunya orang yang tak pernah
menjawab bila dimarahi dan sanggup mengerjakan apa saja yang
disuruh Ibnu Sutowo.
Kepatuhan Haji Thahir -- yang mendapat Satya Lencana Kemerdekaan
dan dikubur di Taman Makam Pahlawan Kalibata -- ternyata bukan
cuma terhadap Ibnu Sutowo. Tapi juga mungkin terhadap Kartika
Ratna. Misalnya almarhum bersedia membuka rekening bersama
(joint accaunt) di beberapa bank di luar negeri bersama istri
barunya itu.
Ny. Kartika Ratna Thahir dalam suatu pernyataan mengaku keduanya
mulai membicarakan membuka rekening bersama dengan manajer Bank
Sumitomo di Singapura, pada 10 Juni 1974 -- lebih kurang sebulan
sebelum mereka menikah di Jakarta. Juga wanita itu tak mengelak
ernah membuka satu rekening bersama dengan suaminya sebelum
akhir 1975.
Tapi mengapa Chase Manhattan dan The Hongkong-Shanghai dengan
mudah mencairkan seluruh deposito berjangka Thahir-Kartika, dan
Sumitomo menolaknya? Pihak Bank Sumitomo, baik yang di Tokyo
maupun manajer Akira Fujimene yang kini di Hongkong menolak
menjawab Raphael Pura, koresponden The Asian Wall Street Journal
di Jakarta. Tapi beberapa bankir di Jakarta menyatakan
keheranannya. "Saya juga bingung Sumitomo menolak," kata
Toshiaki Sasaki, deputi manajer umum Bank of Tokyo cabang
Jakarta.
Kepada Bachrun Suwatdi dari TEMPO, Toshiaki Sasaki memperkirakan
ada kemungkinan deposito berjangka yang disimpan di Bank
Sumitomo itu tercatat atas nama "Mr and Mrs." (Tuan dan Nyonya).
Atau dalam istilah perbankannya, sebagai joint account with
double signatulfes (rekening bersama dengan tandatangan ganda).
Sedang yang disimpan di kedua bank lainnya itu adalah atas nama
"Mr. or Mrs." (Tuan atau Nyonya). Dengan kata lain, merupakan
joint account with single or double signatures (rekening bersama
dengan tandatangan tunggal atau ganda).
Besar kemungkinan dalam hal rekening bersama dengan tandatangan
tunggal atau ganda itulah, sang janda separuh baya itu sengaja
telah mencairkan seluruh depositonya dan kemudian mentransfernya
atas namanya sendiri. Kalau benar itu terjadi, menurut Nono
Anwar Makarim, ahli hukum perdata internasional yang kini
bekerja pada kantor pengacara Adnan Buyung Nasution &
Associates, kedua bank itu bisa dituntut (lihat kolom).
Namun menurut lentaroh Kaba, kepala perwakilan The Industrial
Bank of Japan di Jakarta, tindakan Chase dan Hongkong-Shanghai
itu benar, kecuali ada suatu "perjanjian khusus". Itulah yang
mungkin terjadi antara Thahir dengan Bank Sumitomo.
Yang dimaksud dengan adanya "perjanjian khusus" itu, menurut
Gentaroh Baba adalah kemungkinan adanya "pesan khusus dari boss
di Tokyo agar tak membayar kepada Ny. Kartika Ratna kecuali
disertai tandatangan dari suaminya". Kata Baba: "Kalau saya Ny.
Kartika akan saya tuntut Bank Sumitomo cabang Singapura ke muka
pengadilan. Tak biasanya bank menolak penarikan uang atas
rekening bersama, sekalipun salah seorang dari nasabah itu
meninggal."
Bankir Jepang yang rupanya mengikuti kisah harta karun Haji
Thahir itu akhirnya berpendapat, bahwa "lebih baik menyimpan
rekening bersama seperti itu di bank Swiss daripada di suatu
bank Jepang di Singapura." Mengapa? "Yah, kalau di Swiss kan tak
perlu pakai nama dan tandatangan. Cukup dengan menggunakan
Membered account (rekening bernomor). Tinggal anda menyimpan
baik-baik nomor tersebut di dalam kotak pengaman," katanya.
PENGACARA terkenal Prof. Dr. Gautama juga beranggapan sebuah
rekening bersama boleh diambil salah satu penandatangan. "Baik
selagi orang yang satu itu masih hidup ataupun sudah meninggal,"
katanya kepada Karni Ilyas dari TEMPO. "Kecuali kalau timbul
sengketa sebelumnya." Tanpa menyebutkan Bank Sumitomo, Gautama
nampaknya membenarkan tindakan bank yang memblokir uang, karena
munculnya ahli waris yang menuntut bagian dari rekening itu.
"Perang pasal" dalam hukum perdata internasional itu tentu akan
kembali ramai diperdebatkan di Pengadilan Tinggi Singapura.
Banyak orang setuju, bahwa tipis kemungkinannya untuk memperoleh
uang yang disimpan di Chase Manhattan dan The Hongkong-Shanghai
tadi. Harapan yang masih ada, buat Pertamina, hanyalah yang
deposito US$ 35 juta yang masih disimpan di Bank Sumitomo.
Pengacara Albert Hasibuan yakin "kedudukan pemerintah cukup kuat
untuk menuntut kembalinya rekening bersama di Bank Sumitomo
itu," katanya. "Menurut ketentuan dalam hukum Inggris suatu
komisi itu merupakan hak majikan. Dalam hal almarhum Haji
Thahir, majikannya ketika itu adalah Pertamina."
Tepat sekali. Tapi membuktikan bahwa harta karun yang puluhan
juta dollar itu adalah hasil komisi kontraktor asing itulah yang
maha sulit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini