SEBUAH nyanyian sedih pernah beredar di London pada pertengahan
abad ke-19:
Siapa yang membangun? Siapa? Wahai kaum melarat,
Jika London saban hari bertambah indah
Di mana lagi ada ruang tempat istirahat
Bila saban hari sebuah rumah dibongkar
dan kalian harus berpindah?
Nyanyian itu dikutip dalam buku Hanya Satu Bumi yang tersohor
itu. Sebuah contoh, tentu saja, dari pelajaran sejarah yang kini
makin keras diingat: gedung-gedung bisa saja dibangun, bisnis
maju, kota nampak indah tapi si miskin tambah sengsara. Abad
ke-20 ini belum juga lolos dari "keganjilan" itu. Ikhtiar yang
paling serius ke arah perbaikan sekalipun ternyata gagal untuk
mengadakan perbaikan yang mengenal semua.
Mungkin itulah sebabnya orang makin santer mengatakan,
umpamanya, bahwa yang kini tengah terjadi ialah macetnya
pikiran-pikiran lama. Tentu, pikiran lama biasa macet. Namun
yang menarik dewasa ini ialah bahwa yang disebut "lama"
barangkali cuma berumur beberapa dasawarsa. Dalam
perubahan-perubahan yang begitu cepat, umur ide pun bisa jadi
amat pendek.
Ambillah contoh tentang teori ekonomi dan teori pembangunan.
Majalah Prisma nomor Januari 1980 menghimpun sederet percaturan
pendapat yang cukup seru di sekitar dua pokok soal tadi, dan
hampir semuanya merupakan proses yang berlangsung tak lebih dua
dasawarsa. Di tahun 1966 misalnya siapa di antara kita yang
bicara perkara dependencia, masalah hutan gundul atau bahkan
"pemerataan"?
Sinyalemen tentang cepat runtuh atau retaknya pelbagai teori
beberapa tahun belakangan ini bukanlah sinyalemen baru. Namun
yan'g belum nampak ialah ikhtiar untuk berangkat dari kekecewaan
ke arah strategi perbaikan. Ketika orang kecewa melihat 'kaum
melarat' yang terus menerus tergusur -- seperti dalam nyanyian
di London abad ke-19 itu -- yang mereka harapkan ialah
penyelesaian gaya iklan obat TVRI: seketika.
Tapi penyelesaian seketika adalah penyelesaian yang biasanya
a-historis. Seolah tak ada sejarah. Yang pahit sekarang tak
dibandingkan dengan perkembangan masa lalu dan kemungkinan masa
depan. Dalam hubungan itu pula penyelesaian seketika merupakan
impian khas kelompok kecil yang merasa paling depan. Untuk
mengajak orang banyak ikut-serta dianggap akan banyak makan
waktu. Elitisme hampir selalu berciri ketidak-sabaran.
Barangkali dalam suasana yang sebenarnya rindu tapi hampa itu
ide-ide yang nampaknya "siap jadi" dengan mudah diterima. Namun
tentu saja itu sebuah ilusi. Teori yang baik selalu terbit dari
pengalaman, sebagaimana resep yang baik dilahirkan dari banyak
kasus. Dan pengalaman yang baik dalam perkara seperti ini adalah
pengalaman yang dicatat dari riwayat banyak orang.
Dengan kata lain, suatu ide pun memerlukan suatu demokrasi.
Heilbroner pernah mengatakan, orang yang mengira bahwa ilmu
ekonomi hanyalah urusan para profesor lupa bahwa inilah ilmu
yang pernah menyeret orang ke barikade-barikade.
Kesulitan besar kita sekarang ialah bahwa sementara kita harus
sabar dalam berusaha melahirkan pikiran-pikiran baru yang bagus
dan cocok, problem-problem bertimbun dengan lebih cepat. Rukmono
Markam, gurubesar ilmu ekonomi di Universitas Gadjah Mada yang
menulis Menuju ke Definisi Ekononi Post-Robins dalam Prisma
nomor itu bahkan menyeru perlunya para ahli ekonomi jadi
"manusia big-thinkers".
Itu adalah pekerjaan-rumah yang besar sekali yang mungkin tak
selesai dalam satu generasi. Anda setuju atau tidak NKK,
sungguh, itu adalah pekerjaan yang besar sekali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini