SEPERTI Kota Serang musim duren banyak orang mampir dan kolom
buah itu hingga mencret, begitulah Indonesia di tahun-tahun
1962-1964 bagi peminat sospol mancanegara seakan-akan negeri ini
tempat pergumulan antara kalajengking, tekukur, monyet dan
anjing geladak. Dengan notes di tangan atau mencangking alat
perekam mereka berkeliaran dari pintu ke pintu menemui pemuka
dan orang-orang yang dianggapnya sedikit banyak punya pikiran.
Sambil jalan, dikumpulkan juga rupa-rupa kertas pernyataan,
peraturan dan dokumen seperti layaknya gelandangan dengan maksud
yang berbeda.
Khusus sarjana-sarjana Universitas Cornell. Bergelombang mereka
ke sini, bertiga-tiga atau berempat-empat, kontrak rumah di
Kebayoran Baru, mengawasi keadaan dengan cermat hingga mata
berkunang-kunang. Titik perhatian utama ditujukan kepada
pertumbuhan dua kekuatan yang dianggapnya paling menentukan:
Partai Komunis Indonesia dan Angkatan Bersenjata. Lain-lainnya
dilirik sepintas lalu kalau-kalau ada lubang di kemeja akibat
percikan api rokok atau lelehan tinta pada kantung karena alpa
menutup pulpen.
Nona Ruth McVey yang paling menonjol di antara mcreka mampu
ketemu DN Aidit kapan mau, satu kesempatan yang jarang terbuka
buat sembarang orang. Perbuatan ini tidak sia-sia, nona kita
berhasil menyusun buku tebal dua jilid jalannya Partai Komunis
Indonesia sejak 1926 hingga 1948 dan 1948 hingga 1965.
Bracklnann dari Australia memang cermat, tapi Ruth berdepa-depa
berdiri di depannya. Banyak orang cantik tak berotak, tapi Ruth
memiliki kedua-duanya, mirip Anne penulis buku riwayat Ciang
Ching janda Mao yang berlika-liku.
Musim duren silih datang, dan sekarang antara lain Donald
Wilhelm doktor lepasan Universitas Yale urusan sosial politik
datang mencatat-catat ke sini selaku koasultan lembaga
pendidikan Princeton yang berkedudukan di Inggris, sehabis
menyelesaikan salah satu bukunya Creative Alternatives To
Communism supaya orang jangan jadi pening kepala memilih apa
kapitalisme apa komunisme. satu buku penunjuk ke jalan yang bisa
membikin negeri bermasa depan tata tentrem kerta raharja, gemah
ripah loh jinawi, mahajunan ajuna kadawan, Iman eman aman amin,
gemah ripah repeh rapih, karya utama satya negara, dan lain-lain
sebangsa itu sehingga tiap penduduk sudah utuh seutuh-utuhnya
mulai pangkal telinga sampai tumit dan tidak perlu ditatar lagi.
Bulan lalu Donald Wilhelm temui saya. Sambil mengunyah buah
nangka tak putus-putusnya (mungkin baru dikenalnya sejak keluar
dari rahim) kami saling tanya ini itu dan orang gaek yang masih
penuh vitalitas ini tampaknya menumpahkan minat terhadap
hubungan timbal balik antara pertumbuhan teknologi di satu pihak
dan akibat-akibat sosial di lain pihak. Dan .... masalah
mahasiswa.
Saya tanya sudah ketemu siapa saja selama ini? Lumayan. Pak
Gondorukem dari direktorat bagian penghijauan merangkap bagian
longsor. Pak Kacapiring dari bagian pengerukan dan penimbunan
satu urusan yang saling bertentangan tapi mampu dikelola di satu
tangan dengan sempurna. Tuan Go alias Abdulkhair yang mengepalai
"Garuda Group" antara lain memprodusir limabelas macam shampoo
baik untuk pembersih rambut remaja maupun anjing pudel, serta
rupa-rupa proyek pembangunan yang bermain ratusan juta rupiah
karena itu tidak terpengaruh sama sekali oleh Kepres 14.
Apakah tuan Donald Wilhelm sudah ketemu Menteri Daoed Joesoef?
Bapak yang satu ini tidak boleh dilewatkan andaikata tuan
bermaksud menyusun buku yang betul-betul baik mengenai
Indonesia. Oh, tentu saja sudah. Apa kesan tuan? Fantastis.
Doktor ekonomi lulusan Sorbonne dan teman sekelas Heng Samrin
ini memiliki pikiran berjangka jauh walau dalam beberapa segi
tercermin citra keadaan sebelum Revolusi Prancis. Tapi itu
wajar, berkat pengaruh lingkungan. Sebelum berpisah orang ini
masih sempat menggigit nangka. Saya berdoa mudah-mudahan buku
barunya The Emerging Indonesia (jangan keliru dengan The New
Emerging Forces) laku keras baik di dalam maupun luar negeri
hingga menambah keharuman kita sekalian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini