PASTOR ganteng itu sudah lama jadi masalah. Dalam usianya yang
51, Hans Kung yang mengajar theologia di Universitas Tuebingen
(Jerman Barat) ini punya pikiran yang terlampau lepas -- bagi
banyak tokoh gereja Katolik. Ia terkenal karena mempertanyakan
masalah infallibilitas (ketidakmungkinan salah mengajar) Paus.
Ia juga menggelisahkan karena mempersoalkan sifat ketuhanan
Jesus.
Beberapa kali ia diperingatkan. Di tahun 1963, misalnya, ia
dilarang mengajar di Universitas Katolik Amerika di Washington
D.C. Ia juga dilarang menginjakkan kaki di keuskupan agung Los
Angeles. Tapi ia bertahan. Bahkan ia, seraya menghimbau
lenyapnya "ketidakbebasan" dalam gereja, mengecam "politik
kekuasaan yang berkedok pelayanan spiritual".
Maka sebenarnya tak teramat mengherankan bila 21 Desember yang
baru lalu, mingguan resmi Vatikan, l'Observatore Romano memuat
satu berita: mahaguru yang kontroversial ini dicabut haknya
mengajar sebagai dosen theologia.
Tapi toh kalangan pemikir, pendidik dan bahkan gereja di Eropa
dan Amerika cukup geger. Beberapa rekan sekerja Prof. Kung
mengirimkan protes. Di Jenewa, Pusat Pengajaran Katolik
menyatakan tandas larangan Vatikan itu menimbulkan "iklim
ketakutan dan tekanan dalam gereja Katolik, yang mencegah tiap
pernyataan pikiran yang bebas."
Kung sendiri, khas sebagaimana sifatnya yang keras, menyatakan
dalam satu ceramah yang dihadiri 2000 orang setelah larangan
Vatikan itu: "Saya merasa malu dengan Gereja saya."
Pemberontakan Terdalam
Ucapan semacam itu mungkin sekali tak akan menolongnya ke jalan
pertemuan kembali dengan Vatikan. Meskipun Paus Johannes Paulus
II pekan lalu dikabarkan bersedia membicarakan kembali kasus
Kung, tapi cukup tanda bahwa Paus yang terbuka kepada khalayak
ramai itu bukan Paus yang terbuka pula terhadap pandangan yang
oleh Radio Vatikan dinilai "hampir sesat".
Pertengahan Desember juga misalnya Vatikan memanggil dan
menanyai Edward Schillebeeck (baca: Skhil-e-biyks). Pendeta
Belanda kelahiran Belgia ini, 14 tahun lebih tua ketimbang Kung,
juga dikhawatirkan menyeleweng.
Bukunya yang ditulis di tahun 1974 dan diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris dengan judul Jesus: An Experiment in Christology
dinilai banyak orang sebagai buku yang sulit dibaca. Tapi
rupanya Vatikan mencium sesuatu yang menyimpang di sana. Apa
vonisnya, belum terdengar. Tapi dalam hal Kung itu rupanya sudah
lebih pasti: ia dianggap tak cukup punya "integritas kebenaran
iman Katolik".
Berbeda dengan Schillebeeck, yang walaupun berjantung lemah
bersedia datang ke Vatikan, Kung beberapa kali menolak. Tapi ada
jurang yang lebih dalam dari itu. Xavier Rynne, nama samaran
seorang pengarang yang menulis panjang tentang Hans Kung dalam
The New York Times Magazine (2 Oktober 1975), menyebut pastor
Swiss itu telah menghadapkan Gereja Katolik dengan "apa yang
mungkin merupakan pemberontakan yang terdalam sejak Martin
Luther."
Agak berlebihan mungkin, menyejajarkan Kung dengan "bapak
Protestantisme" di zaman lampau itu. Tapi sejak mula Kung
memang menampakkan pendekatan yang berani, dan ia tak menutup
pintu bagi theologia Protestan. Thesis doktoralnya dalam umur 29
membahas karya theologi Karl Barth. Mendalami masalah Luther
serta gerakan Reformasi, Kung kemudian menemukan satu ide
Katolik lama gereja adalah semper reformanda -- selalu
membutuhkan pembaharuan.
Ia pun jadi terkenal. Masa itu adalah masa semangat ekumeni,
pendekatan antara Katolik Roma dan Protestantisme, yang di tahun
1959 dikumandangkan oleh Paus Johannes XXIII. Tapi gerak Kung
yang makin tajam menyorot status Gereja dan Kuria Romananya
berlanjut terus di masa Paus Paulus VI. Paus yang satu ini tak
menyenangi ketidak-patuhan dan pandangan liberal yang banyak
terdapat di kalangan theolog Fropa, tapi ia tak hendak
menghardik Kung dengan keras. Ia bukannya seorang yang menolak
pembaharuan.
Dari Zaman Positivisme
Masalahnya memang jadi lebih tajam ketika Kung menerbitkan
bukunya, Unfehlbaarkeits yang dalam bahasa Inggris terkenal
sebagai Infallible? An Inquiry di tahun 1971. Kung
mempertanyakan ajaran yang dirumuskan dalam Konsili Vatikan I di
tahun 1870 itu.
Ajaran itu lahir di zaman pemikiran positivisme. Ketika itu
kalangan ilmiah mengklaim, bahwa mereka mampu mencapai kebenaran
yang dapat diperlihatkan dalam tata alam fisik. Maka gereja pun
mengklaim hal yang mirip ia menyatakan memiliki kebenaran yang
tak bisa salah tentang tata kerohanian. Tapi di zaman
pengetahuan seperti sekarang, kata Kung, konsep infallibilitas
itu terlalu kongkrit. Juga terlalu legalistis untuk urusan
kebenaran yang begitu misterius. Bahkan jadi terlalu jauh
soalnya, bila itu diletakkan dalam penilaian satu orang.
Tak ayal lagi, Kung pun diserang oleh "Kongregasi untuk Iman"
yang diketuai oleh Kardinal dari Yugoslavia, Franjo Seper.
Kongregasi itu sebenarnya dibentuk oleh Paus Paulus VI di tahun
1965, guna memperbaharui lembaga penjaga kemurnian ajaran --
yang dulu ditangani oleh Inkwisisi Romawi yang di takuti itu.
Tapi Kardinal Seper nampaknya bukanlah tokoh yang luwes.
Setidaknya bagi Kung.
"Kongregasi uluk Iman" memanggilnya, tapi Kung menolak. Ia
mempersoalkan, adakah Kongregasi itu tak berat sebelah. Ia punya
dasar. Di tahun 1969 Kongregasi misalnya memanggil Ivan Illich,
pastor yang terkenal dengan karyanya Deschooling Society itu.
Illich diinterogasi. Di antara pertanyaan misalnya adakah dia
komunis. Bagi Illich, juga bagi Kung, proses semacam itu
tentulah menjengkelkan.
Terlalu Berhati-hati
Tapi akhirnya toh Kongregasi untuk Iman juga yang "menang".
Dengan persetujuan Paus Johannes Paulus II-lah keputusan
terhadap Kung menjelang akhir tahun 1979 itu dikeluarkan. "Paus
Johannes Paulus II mungkin lebih keras sikapnya dari para
pendahulunya, yang mengambil sikap terlalu berhati-hati,"
komentar Adolf Heuken S.J., dosen Theologia Moral di Seminari
Agung di Rawasari, Jakarta.
Namun, tambah Heuken, tindakan terhadap Kung tak berarti ancaman
terhadap kebebasan mimbar dalam perguruan tinggi Katolik. Di
satu pihak para theolog diberi kesempatan untuk menembangkan
theologi sebagai ilmu. "Di pihak lain, Paus dan para uskup
berdiri sebagai kutub yang harus menjaga supaya umat tidak
kebingungan." Apalagi, seperti kata Heuken, yang pernah
mengantar Hans Kung dalam kunjunran ke Jakarta di tahun 1970,
"para theolog bukan infallibilis."
Agaknya benturan antara doktrin iman dan kemerdekaan berpikir
memang selalu harus ada, dan manusia bisa memperoleh manfaatnya.
Apalagi kini untuk agama apa pun. Seperti dikatakan Pastor Y.B.
Mangunwijaya, penulis terkenal itu, di pastorannya di Salam,
Magelang "Di abad nuklir ini semua agama harus bersatu, karena
mereka senasib dan sedang diuji secara besar-besaran oleh polah
tingkahnya modernisasi."
Dalam ujian itu, banyak pertanyaan tak bisa dijawab dengan
mudah. Pikiran Hans Kung mungkin tak seluruhnya benar, tapi
pertanyaannya tak mudah dibisukan. Mungkin itulah sebabnya
buku-bukunya laris, dan ia tidak sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini