Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Seorang pastor yang tak boleh ...

Edward schillebeek, pendeta belanda, dipanggil oleh vatikan, pandangannya dinilai "hampir sesat". serta bukunya dianggap ada isi yang menyimpang.

5 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PASTOR ganteng itu sudah lama jadi masalah. Dalam usianya yang 51, Hans Kung yang mengajar theologia di Universitas Tuebingen (Jerman Barat) ini punya pikiran yang terlampau lepas -- bagi banyak tokoh gereja Katolik. Ia terkenal karena mempertanyakan masalah infallibilitas (ketidakmungkinan salah mengajar) Paus. Ia juga menggelisahkan karena mempersoalkan sifat ketuhanan Jesus. Beberapa kali ia diperingatkan. Di tahun 1963, misalnya, ia dilarang mengajar di Universitas Katolik Amerika di Washington D.C. Ia juga dilarang menginjakkan kaki di keuskupan agung Los Angeles. Tapi ia bertahan. Bahkan ia, seraya menghimbau lenyapnya "ketidakbebasan" dalam gereja, mengecam "politik kekuasaan yang berkedok pelayanan spiritual". Maka sebenarnya tak teramat mengherankan bila 21 Desember yang baru lalu, mingguan resmi Vatikan, l'Observatore Romano memuat satu berita: mahaguru yang kontroversial ini dicabut haknya mengajar sebagai dosen theologia. Tapi toh kalangan pemikir, pendidik dan bahkan gereja di Eropa dan Amerika cukup geger. Beberapa rekan sekerja Prof. Kung mengirimkan protes. Di Jenewa, Pusat Pengajaran Katolik menyatakan tandas larangan Vatikan itu menimbulkan "iklim ketakutan dan tekanan dalam gereja Katolik, yang mencegah tiap pernyataan pikiran yang bebas." Kung sendiri, khas sebagaimana sifatnya yang keras, menyatakan dalam satu ceramah yang dihadiri 2000 orang setelah larangan Vatikan itu: "Saya merasa malu dengan Gereja saya." Pemberontakan Terdalam Ucapan semacam itu mungkin sekali tak akan menolongnya ke jalan pertemuan kembali dengan Vatikan. Meskipun Paus Johannes Paulus II pekan lalu dikabarkan bersedia membicarakan kembali kasus Kung, tapi cukup tanda bahwa Paus yang terbuka kepada khalayak ramai itu bukan Paus yang terbuka pula terhadap pandangan yang oleh Radio Vatikan dinilai "hampir sesat". Pertengahan Desember juga misalnya Vatikan memanggil dan menanyai Edward Schillebeeck (baca: Skhil-e-biyks). Pendeta Belanda kelahiran Belgia ini, 14 tahun lebih tua ketimbang Kung, juga dikhawatirkan menyeleweng. Bukunya yang ditulis di tahun 1974 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Jesus: An Experiment in Christology dinilai banyak orang sebagai buku yang sulit dibaca. Tapi rupanya Vatikan mencium sesuatu yang menyimpang di sana. Apa vonisnya, belum terdengar. Tapi dalam hal Kung itu rupanya sudah lebih pasti: ia dianggap tak cukup punya "integritas kebenaran iman Katolik". Berbeda dengan Schillebeeck, yang walaupun berjantung lemah bersedia datang ke Vatikan, Kung beberapa kali menolak. Tapi ada jurang yang lebih dalam dari itu. Xavier Rynne, nama samaran seorang pengarang yang menulis panjang tentang Hans Kung dalam The New York Times Magazine (2 Oktober 1975), menyebut pastor Swiss itu telah menghadapkan Gereja Katolik dengan "apa yang mungkin merupakan pemberontakan yang terdalam sejak Martin Luther." Agak berlebihan mungkin, menyejajarkan Kung dengan "bapak Protestantisme" di zaman lampau itu. Tapi sejak mula Kung memang menampakkan pendekatan yang berani, dan ia tak menutup pintu bagi theologia Protestan. Thesis doktoralnya dalam umur 29 membahas karya theologi Karl Barth. Mendalami masalah Luther serta gerakan Reformasi, Kung kemudian menemukan satu ide Katolik lama gereja adalah semper reformanda -- selalu membutuhkan pembaharuan. Ia pun jadi terkenal. Masa itu adalah masa semangat ekumeni, pendekatan antara Katolik Roma dan Protestantisme, yang di tahun 1959 dikumandangkan oleh Paus Johannes XXIII. Tapi gerak Kung yang makin tajam menyorot status Gereja dan Kuria Romananya berlanjut terus di masa Paus Paulus VI. Paus yang satu ini tak menyenangi ketidak-patuhan dan pandangan liberal yang banyak terdapat di kalangan theolog Fropa, tapi ia tak hendak menghardik Kung dengan keras. Ia bukannya seorang yang menolak pembaharuan. Dari Zaman Positivisme Masalahnya memang jadi lebih tajam ketika Kung menerbitkan bukunya, Unfehlbaarkeits yang dalam bahasa Inggris terkenal sebagai Infallible? An Inquiry di tahun 1971. Kung mempertanyakan ajaran yang dirumuskan dalam Konsili Vatikan I di tahun 1870 itu. Ajaran itu lahir di zaman pemikiran positivisme. Ketika itu kalangan ilmiah mengklaim, bahwa mereka mampu mencapai kebenaran yang dapat diperlihatkan dalam tata alam fisik. Maka gereja pun mengklaim hal yang mirip ia menyatakan memiliki kebenaran yang tak bisa salah tentang tata kerohanian. Tapi di zaman pengetahuan seperti sekarang, kata Kung, konsep infallibilitas itu terlalu kongkrit. Juga terlalu legalistis untuk urusan kebenaran yang begitu misterius. Bahkan jadi terlalu jauh soalnya, bila itu diletakkan dalam penilaian satu orang. Tak ayal lagi, Kung pun diserang oleh "Kongregasi untuk Iman" yang diketuai oleh Kardinal dari Yugoslavia, Franjo Seper. Kongregasi itu sebenarnya dibentuk oleh Paus Paulus VI di tahun 1965, guna memperbaharui lembaga penjaga kemurnian ajaran -- yang dulu ditangani oleh Inkwisisi Romawi yang di takuti itu. Tapi Kardinal Seper nampaknya bukanlah tokoh yang luwes. Setidaknya bagi Kung. "Kongregasi uluk Iman" memanggilnya, tapi Kung menolak. Ia mempersoalkan, adakah Kongregasi itu tak berat sebelah. Ia punya dasar. Di tahun 1969 Kongregasi misalnya memanggil Ivan Illich, pastor yang terkenal dengan karyanya Deschooling Society itu. Illich diinterogasi. Di antara pertanyaan misalnya adakah dia komunis. Bagi Illich, juga bagi Kung, proses semacam itu tentulah menjengkelkan. Terlalu Berhati-hati Tapi akhirnya toh Kongregasi untuk Iman juga yang "menang". Dengan persetujuan Paus Johannes Paulus II-lah keputusan terhadap Kung menjelang akhir tahun 1979 itu dikeluarkan. "Paus Johannes Paulus II mungkin lebih keras sikapnya dari para pendahulunya, yang mengambil sikap terlalu berhati-hati," komentar Adolf Heuken S.J., dosen Theologia Moral di Seminari Agung di Rawasari, Jakarta. Namun, tambah Heuken, tindakan terhadap Kung tak berarti ancaman terhadap kebebasan mimbar dalam perguruan tinggi Katolik. Di satu pihak para theolog diberi kesempatan untuk menembangkan theologi sebagai ilmu. "Di pihak lain, Paus dan para uskup berdiri sebagai kutub yang harus menjaga supaya umat tidak kebingungan." Apalagi, seperti kata Heuken, yang pernah mengantar Hans Kung dalam kunjunran ke Jakarta di tahun 1970, "para theolog bukan infallibilis." Agaknya benturan antara doktrin iman dan kemerdekaan berpikir memang selalu harus ada, dan manusia bisa memperoleh manfaatnya. Apalagi kini untuk agama apa pun. Seperti dikatakan Pastor Y.B. Mangunwijaya, penulis terkenal itu, di pastorannya di Salam, Magelang "Di abad nuklir ini semua agama harus bersatu, karena mereka senasib dan sedang diuji secara besar-besaran oleh polah tingkahnya modernisasi." Dalam ujian itu, banyak pertanyaan tak bisa dijawab dengan mudah. Pikiran Hans Kung mungkin tak seluruhnya benar, tapi pertanyaannya tak mudah dibisukan. Mungkin itulah sebabnya buku-bukunya laris, dan ia tidak sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus