PARA karyawan di Percetakan Negara Manado masih sibuk bekerja
sekalipun 3 dari 5 mesin intertypenya rusak. Tapi kerusakan itu
yang terjadi sejak awal November telah mengorbankan sekaligus 6
koran -- harian Wibawa, Buletin Sulawesi Utara, dan Suluh
Merdeka, serta mingguan Lensa Utara, Pahlawan dan Warta Utara.
Keenamnya hilang dari peredaran, bukan karena Surat Izin Terbit
mereka dicabut.
Kerusakan itu belum bisa diperbaiki, menurut Jacobus
Makawangkel, pimpinan percetakan itu, karena ketiadaan suku
cadang. Ia memerlukan sedikitnya Rp 15 juta buat melakukan
perbaikan itu. Tapi permintaan Makawangkel, karena suatu hal
sampai pekan lalu belum dikabulkan oleh pihak Pemerintah Daerah
Sulawesi Utara. Persoalannya ialah percetakan itu sejak April
1975 sudah harus bisa menghidupi dirinya sendiri, dan dianggap
sudah akan sanggup membeli suku cadang.
Makawangkel sendiri diketahui sudah agak lama enggan berkorban
untuk keentingan keenam koran tadi. Selama ini mereka hanya
dikenai kewajiban membayar sebesar 40% dari biaya eksploitasi
pokok. Hingga praktis setiap tahun percetakan itu menderita
kerugian Rp 2 juta. "Malahan hasil keuntungan yang diperoleh
dari cetakan bukan pers tersedot oleh pekerjaan partisipasi
ini," ungkap Makawangkel.
Awal tahun lalu dalam upaya menutupi ketekoran tadi percecakan
itu pernah berusaha menaikkan tarip cetak 100% menjadi Rp 60
ribu/5.000 eksemplar koran. Tapi karena Serikat Penerbit
Suratkabar setempat menentang, Makawangkel hanya bisa menaikkan
tarip 25%, bukan 100%. Kini karena tidak mencetak koran,
pimpinan percetakan negara itu tidak begitu risau.
Tapi beberapa penerbit suratkabar belakangan ini menyangsikan
kerusakan ketiga mesin yang menghasilkan huruf-huruf timah itu.
Mereka menuduh Makawangkel telah dengan sengaja "menyandera"
keenam koran itu untuk menggoalkan tuntutannya. "Dengan dalih
kerusakan itu Makawangkel lalu menyodorkan tangan -- minta
bantuan Pemerintah Daerah," kecam Boy Warouw, Wakil Pemimpin
Umum harian Buletin Sulawesi Utara. Bahkan Letnan Kolonel
Makbul, Kepala Penerangan Kodam XIII/Merdeka yang juga mengasuh
harian Wibawa, mengatakan: "Makawangkel tidak boleh dikasih hati
lagi."
Banyak tuduhan tidak enak dialamatkan kepada Makawangkel. Bisa
dipahami, karena itulah satu-satunya percetakan di Manado,
walaupun sudah antik, yang bisa mencetak koran.
Para penerbit koran tadi ternyata mencoba menyelamatkan SIT.
Misalnya Warta Utara dan Lensa Utara pindah ke Golden Web
Jakarta -- mengikuti jejak Obor Pancasila (Manado) yang sudah
dicetak di sini sejak Agustus silam. Buletin Sulawesi Utara
milik Pemda Sul-Ut juga sedang bersiap terbdng cetak ke Jakarta,
sementara ketiga koran lainnya masih bingung mencari dana cetak.
Semua koran Manado itu mempunyai oplah antara 1.000 - 5.000
setiap kali tcrbit. Banyak wartawannya bekerja sambilan jadi
pemborong, petani atau karyawan perusahaan swasta. "Dengan
peristiwa yang cukup pahit ini, sudah waktunya Sulawesi Utara
punya percetakan pers offset sendiri," kata Chris Rondonuwu,
Ketua SPS Sul-Ut. Dan memang orang di sana sudah berupaya ke
arah itu, hingga sebuah percetakan ofset diharapkan akan
terpasang April nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini