Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

8 naskah dari p. buru

Tulisan pram selama di p. buru, berhasil menulis 7 novel dan 1 naskah drama: mangir, arok & dedes, mata pusaran, bumi manusia, anak semua bangsa, jejak langkah, di atas lumpur, arus balik. (bk)

5 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI sebuah kisah perlawanan terhadap feodalisme Mataram. Ki Ageng Mangir memberontak, mencoba berdiri sama tinggi dengan rajanya, Panembahan Senapati. Akhirnya dengan tipu muslihat, pembangkang itu dibunuh. Sepotong kisah sejarah pada awal berdirinya kerajaan Mataram itu, yang amat populer bagi sebagian besar orang Jawa, ditulis kembali dalam bentuk drama oleh sastrawan Pramudya Ananta Toer, yang bulan lalu telah dibebaskan dari P. Buru. Pram, yang dikecualikan dari para tahanan politik yang terlibat G30S/PKI lainnya, diperbolehkan menulis karya-karya sastra di Buru. Hasilnya: 7 novel dan satu naskah drama. Kedelapan naskah itu mengambil bahan pokok kejadian sejarah. "Saya memang lagi senang menulis tentang hal-hal itu,'i katanya kepada TEMPO di rumahnya. Dan sambungnya: "Tradisi penulisan Jawa tak berani mengatakan hal sebenarnya. Diambilnya sanepa (bahasa Jawa, artinya kiasan red). Nah, saya justru ingin mencoba mengungkap apa sebenarnya yang terjadi." Yang dimaksud tradisi penulisan Jawa itu, ialah kitab Pararaton dan Nagarakertagama. Meski begitu, tetap dia mengharap karya fiksinya itu dipandang sebagai karya fiksi dan bukan, misalnya, buku sejarah. Mangir, satu-satunya drama yang dia tulis, menurut Pram hendak mengungkap bagaimana Panembahan Senapati "dalam melaksanakan politiknya menempuh segala jalan, bahkan pernah melawan ayah angkatnya sendiri." Adakah itu merupakan sikap positif atau negatif? "Dipandang dari kepentingan Mataram, ya dia harus begitu. Dia berkuasa," jawabnya spontan. Dan tokoh Mangir menurut Pram adalah contoh, "bagaimana kelemahan orang itu di bidang seks." Maksudnya banyak orang runtuh karena tak tahan menghadapi godaan seks. Yang baru diselesaikan penulisan jilid pertamanya adalah novel Arok dan Dedes. Pram mengaku tertarik pada kisah ini: bagaimana mungkin anak jelata bisa naik menjadi bangsawan, dan diterima oleh para ksatria maupun brahmana." Menurutnya, itu barangkali karena ada kekuatan yang bersatu yang mendukung Ken Arok. "Kalau tidak, tentulah dia dianggap bertindali kriminal." Tapi sekali lagi, Pram ingin bukunya ini hanya dilihat sebagai karya fiksi dan bukannya kebenaran sejarah. Sebuah lagi novelnya yang masih mengambil bahan dari sejarah kerajaan di Jawa, berjudul Mata Pusaran. Pokok ceritanya tentang keruntuhan Majapahit, karena kalah oleh kerajaan Tiongkok. Empat novel yang lain merupakan satu rangkaian: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Di Atas Lumpur. Ini novel yang mengambil bahan dari sejarah periode Kebangkitan Nasional. "Saya katakan periode, dan bukan hanya Kebangkitan Nasional, karena itu merupakan satu kontinyuitas," tutur Pram. Sebuah lagi novelnya, Arus Balik, merupakan kisah masuknya bangsa kulit putih ke Nusantara dan akibat-akibatnya. Menarik untuk membaca karya mutakhir prosais ini, yang oleh kritikus sastra H.B. Jassin dinilai sebagai pembaharu gaya penulisan prosa setelah zaman Pujangga Baru (di samping Idrus). Tapi agaknya tak mudah. Kedelapan naskah itu sekarang "masih diperiksa yang berwajib." Pun, kalau misalnya sudah di kembalikan dan ternyata diizinkan diterbitkan, mungkin masih membutuhkan waktu untuk terbit. "Semuanya saya tulis berdasar ingatan yang masih ada," katanya, menceritakan tiadanya buku-buku referensi yang dibutuhkannya. "Karena itu membutuhkan revisi," -- satu hal yang katanya tak pernah dia lakukan dalam karya-karyanya yang lalu. Montir Radio Pramudya Ananta Toer lahir di Blora, 6 Februari 1925. Pernah sekolah montir radio di Surabaya, menjelang Jepang menduduki Indonesia. Seperti lazimnya pemuda waktu zaman Perang Kemerdekaan, Pram pun ikut angkat senjata. Juli 1947 tertangkap Belanda, dipenjara di Bukit Duri, Jakarta sampai Desember 1949. Seperti juga di Instalasi Rehabilitasi P. Buru beberapa tahun belakangan ini, waktu itu Pram juga menghabiskan masa tahanannya dengan menulis. Hingga tahun 1965 sekitar 15 karya berupa novel, kumpulan cerita pendek atau drama telah ditulisnya. Di masa menjelang peristiwa G30S, ketika PKI dan kekuatan politik lain yang dipengaruhinya memegang kontrol atas media massa, Pramudya terkenal sebagai tokoh yang garang kepada penulis yang dianggapnya lawan. Dalam istilahnya sendiri, ia "membabat" -- memotong semak-semak. Peristiwa Manifes Kebudayaan, 1963, adalah puncaknya. Sejumlah besar sastrawan Indonesia, antara lain H.B. Jassin, W.S. Rendra dan Taufiq Ismail, yang berusaha melawan kebekuan sastra yang dikendalikan partai dan pemerintah, kena "babat" Pram. Mereka dilarang menulis, kehilangan pekerjaan dan jadi orang yang tersingkir. Kegagalan G30S menyebabkan Pram yang ganti tersingkir, untuk 14 tahun. Adakah kini tulisannya masih juga seperti dulu? Dalam sebuah pembahasan buku di majalah Mimbar Indonesia, Mei 1960, H.B. Jassin menulis, bahwa karya-karya Pram periode sesudah tahun 1953 tak begitu disukainya lagi. Bahkan jika dibaca kembali kini, karya-karya Pram di masa lalu mungkin tak teramat bagus, tidak sebagus karya-karyanya yang ia tulis di P. Buru itu -- siapa tahu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus