SEHARI-hari ia mangkal di depan terminal bis kota Blok M,
Kebayoran Baru, Jakarta. Taksi yang dikemudikannya bercat kuning
tua, dan ia sendiri memakai seragam biru, "baju kebesaran" sopir
President Taxi. Raut wajahnya mengeras, buah pergulatan tidak
berkeputusan dengan kehidupan, terombang-ambing antara keharusan
memenuhi uang setoran dan tuntutan kebutuhan rumah tangga.
Dan begitu taksi, bergerak, segera beralun sebuah lagu merdu
dari cassette recorder. Tancap! .... Dibawanya kendaraan
asuhannya dengan santai. Lagu yang berkumandang bukan lagu
Barat, bukan pula irama dangdut. "Lagu daerah saya sendiri Pak!
Hitung-hitung obat rindu. Tidak dapat pulang ke kampung tahun
ini."
Dilanjutkannya, lagu itu dibawakan seorang penyanyi remaja yang
baru mulai manggung di Medan, bernama Agustino Tarigan. Saya
komentari bahwa suaranya bagus, bakatnya besar, dengan back up
aransemen musik yang baik. Masa depannya cukup punya harapan.
"Lagunya diciptakan kakaknya sendiri Pak, Hosea Tarigan,"
sahutnya -- dengan bangga. "Benar-benar satu kampung Pak! Dulu
saya tinggalkan masih kecil."
Ketika seorang biduanita membawakan sebuah lagu yang terasa
cengeng di telinga saya, tanpa ragu-ragu ia menyatakan: "Ini
suara Ermawati, Pak. Sudah tua dia, anaknya sudah dua. Suaminya
juga penyanyi. Sudah tua juga." Ia memang tak memberi batasan
jelas antara golongan tua dan golongan muda dalam blantika musik
pop daerah.
Di sela-sela berkumandangnya serangkaian lagu Karo dalam
perjalanan sekitar setengah jam itu, terungkaplah drama sosial
yang menarik hati. Itu bermula dari pengakuan akan beratnya
perjuangan hidup. "Bayangkan, Pak, sering tidak bisa bawa uang
lebih seribu perak ke rumah. Padahal sudah bekerja dari pagi
sampai pukul sepuluh malam!"
Ketika ditanya mengapa, ia bukannya menjawab akibat resesi
ekonomi -- yang mungkin jauh di luar jangkauan pengertiannya.
Juga bukan karena "muatan sepi". Atau karena orang malas keluar
malam -- maklum bulan puasa waktu itu. Walhasil bukan jawaban
konvensional. Lalu apa? "Karena memang sudah begini nasib orang
Karo, Pak!"
Seolah-olah berbau "rumusan theologis" ! Adakah Tuhan bertindak
pilih kasih, memberikan rezeki berlebih kepada orang lain dan
sisanya yang tak mencukupi kepada orang Karo? Mengapa orang Karo
harus menjalani hukuman seperti itu di dunia ini?
Orang Karo ternyata punya pembawaan yang sebenarnya baik sekali:
senang kendaraan bermotor. Sejak kecil mereka sudah terbiasa
mencintai mobil, truk, dan bis. "Lebih enam puluh persen orang
Karo menjadi sopir, Pak. Mereka tidak tahan bekerja dengan diam
di satu tempat saja. Harus berkeliling dengan kendaraan, baru
puas." Sebuah kecenderungan profesional yang tidak kalah mulia
dari kecenderungan pandai emas, perajin ukiran kayu maupun
pembuat sepatu Cibaduyut.
"Orang Karo, yang sudah berpangkat atau memiliki kekayaan
berlimpah, tentu punya sebuah kendaraan tua. Hanya untuk
meluruskan pikirannya saja, Pak!" Sungguh mati, ungkapan itu hak
paten sang sopir taksi. Kalau ia bilang "mengembangkan
intelektualitasnya", tentu saya juga akan pingsan mendengarnya.
Kendaraan tua atau bekas, sekadar untuk melepaskan keinginan
memelihara mesin dan merawat onderdil mobil! "Mungkin, yang jadi
jenderal juga masih begitu, Pak." Siapa saja orang Karo yang
jadi jenderal? "Ada juga, Pak. Seperti Djamin Ginting, Selamat
Ginting. Juga yang namanya Sitepu, dari kepolisian." Sudah tentu
sulit dibuktikan, benarkah rata-rata orang Karo yang berpangkat
dan kaya punya mobil tua.
Kisah sopir itu menunjukkan sebuah aspek menonjol dalam
kehidupan kita. Yakni, tidak bersambungnya beberapa bagian dari
apa yang secara umum dapat dinamai 'proses modernisasi'.
Di satu pihak abad ini membawakan sebuah sisi sangat positif:
penumbuhan sikap menghargai kerja profesional. Bahwa di
pedalaman Pulau Sumatera ada masyarakat yang begitu cinta
kendaraan bermotor, dan menjadikan dunia permotoran sebagai
tumpuan perhatian profesional, tak terbayangkan tanpa adanya
modernisasi. Penghargaan kepada mesin, keterampilan dan
mobilitas fisik sebagai akibat logis dari kecintaan itu,
tentunya bukan sesuatu yang negatif.
Namun proses modernisasi juga membawakan aspek lain, yang dapat
berakibat negatif bagi sekelompok masyarakat. Yakni: keharusan
mengembangkan modernitas yang semula dimiliki itu menjadi sebuah
kekuatan sosial-ekonomis yang cukup tangguh untuk bersaing.
Dalam kasus orang Karo, kalau benar laporan sopir kita,
keterampilan mengendarai dan merawat mesin mobil tetnyata tidak
berkembang lebih jauh -- umpamanya menjadi keterampilan
mengelola usaha permotoran di semua tempat mukim mereka.
Berapa banyakkah kenyataan seperti ini, kesenjangan antara
modernitas 'semula' dan kenyataan keras setelah adanya tuntutan
modernitas 'susulan', didatangkan dan dikaji secara mendalam?
Kalau telah ada kajian pendahuluan, sudah sampai seberapa jauh
kesimpulan yang ditarik dijadikan pertimbangan utama dalam
penentuan kebijaksanaan ketenagakerjaan? Rasa-rasanya, tanpa
kemampuan menelusuri kenyataan seperti 'kasus orang Karo'
(tingkat bawah) itu secara tuntas, tak akan banyak dapat
dilakukan untuk membenahi masalah itu.
Ternyata kebanggaan orang Karo patut direnungkan Pak Domo dan
Pak Nugroho. Karena masalahnya tak dapat ditangani dari
rumusan-rumusan abstrak belaka seperti Hubungan Kerja Pancasila
dan Humaniora.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini