LEE KUAN YEW
Perjuangan Untuk Singapura
Oleh: Alex Josey
Penerbit: PT Gunung Agsng, Jakarta, 1982 372 halaman.
USIA Lee Kuan Yew akan genap 60 tahun September nanti. Tapi
menjelang hari penting itu tersebar isu tentang kesehatannya
yang memburuk. Ini masih disusul berita tersingkirnya seorang
tokoh serikat buruh satu dari beberapa calon pemimpin yang
disiapkan Lee untuk menggantikannya kelak. Apa sebenarnya yang
terjadi di Singapura? Apakah Lee, seperti diisyaratkan Josey,
tidak akan berkuasa sampai akhir dekade ini? Bagaimana proses
alih kekuasaan? Kemungkinan itu dikemukakan Josey dalam buku ini
-- yang sepintas lebih tepat disebut buku sejarah Singapura
(sejarah dalam arti populer) ketimbang biografi politik Lee Kuan
Yew.
Sikap begini dalam hal tertentu bisa dimaklumi. Bagi Josey akan
sulit memisahkan Lee dari wadah Singapura-nya, dan sebaliknya
akan sangat tidak menarik menulis kota itu tanpa berkisah
panjang lebar seputar tokoh utamanya. Kesulitan serupa kembali
bisa terungkap jelas dalam pertanyaan: "Apakah Singapura tidak
terlalu kecil untuk orang seperti Lee?" Pertanyaan menggoda ini
tidak dijawab. Pengarang sendiri cenderung hanya bertutur tanpa
menggariskan pendapat. Kesimpulan akhir diserahkannya pada
pembaca.
Kendati demikian Josey, dengan gayanya yang tekun dan cermat,
berusaha memberi tempat yang pantas dan sangat terhormat bagi
Lee dalam konteks pergulatan Singapura: mulai dari koloni
Inggris, periode Malaysia, hingga mencuat jadi republik kota
dengan pendapatan per kapita tertinggi di Asia Tenggara. Tanpa
otak cemerlang, ketegaran dan integritas Lee, corak pergulatan
akan berbeda dan penduduk di sana mungkin belum akan menemukan
identitasnya sebagai "orang Singapura".
Buku ini secara tak langsung juga mengakui Lee, sarjana hukum
lulusan Cambridge, keturunan Cina suku Hakka (Khek) telah dan
sedang meninggalkan cap-capnya yang teramat nyata bagi masa
lampau, masa kini, dan masa depan sebuah bandar yang dulu
bernama Tumasik. Dan antara sesama rekannya pemimpin di Asia
Tenggara, Lee yang elitis pragmatis itu menonjol dan merampas
perhatian lebih banyak, baik karena kelihaiannya berdebat maupun
karena kebersihan pemerintahnya.
Bagaimana citra Lee di mata rakyatnya? Buku ini tanpa sembunyi
bercerita tentang penampilan negarawan yang jauh dari ramah itu,
dan dengan banyak gagasan yang tidak segera bisa dicerna. Dia
pada dasarnya memang seorang intelektual yang lugas, politisi
yang agresif dan manusia yang serius. Mungkin karena itu pula
Lee berani mengambil risiko ini: sebagai pemimpin ia lebih suka
dihormati daripada dicintai.
Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini