MEMBACA DAN MENILAI SASTRA
Oleh: A. Teeuw
Penerbit: PT Gramedia, Jakarta, 1983, 141 halaman.
BUKU ini merupakan rampai tujuh karangan yang ditulis Prof. Dr.
A. Teeuw . . antara tahun 1964 dan 1980. Sehingga, "Teeuw yang
dalam tahun 1964 menulis mengenai Hang Tuah pasti cukup berbeda
orangnya dengan Teeuw yang dalam tahun 1980 menulis tentang
Chairil Anwar dan Amir Hamzah," tulis Teeuw dalam kata pengantar
kumpulan karangannya itu.
Ia benar. Apalagi kalau kita bandingkan buku ini dengan Pokok
dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Modern yang terbit pada
tahun 1952 dan 1955. Tapi, di samping menunjukkan perkembangan
pemikiran yang terjadi dalam diri profesor ini, bukunya yang
terbaru ini juga menunjukkan sesuatu yang tetap ada pada Teeuw:
minatnya yang besar terhadap sastra Indonesia.
Dalam Pokok dan Tokoh, yang kemudian dikembangkan dan
diterjemahkan menjadi Modern Indonesian Literature (1967), Teeuw
memusatkan perhatiannya pada pelbagai masalah dan sastrawan di
samping membicarakan beberapa karya sastra secara
sekilas-sekilas.
Pembicaraan tentang karya sastra boleh dikatakan selalu tidak
terlepa dari pembicaraan mengenai sastrawan. Dalam membicarakan
karya-karya Pramoedya Ananta Toer, misalnya, Teeuw secara
panjang lebar menyertakan riwayat hidup novelis itu seolah-olah
makna yang didapat pembaca dari buku-buku Pram tidak bis.
dilepaskan dari riwayat hidup si pengarang. Pendekatan terhadap
sastra semacam ini jelas tidak berlaku lagi bagi Teeuw yang
menulis. Tergantung pada Kata (1980) dan Membaca dan Menilai
Sastra.
Keahlian dan perhatian Teeuw terhadap filologi dan linguistik
jelas merupakan sumbangan penting bagi perkembangan
pemikirannya. Dalam Tergantung pada Kata, misalnya, Teeuw
mempergunakan seperangkat konsep yang 'dipinjam' dari linguistik
untuk "merebut makna" sajak-sajak yang dibicarakannya.
Pembicaraan Teeuw tentang sepuluh buah sajak dalam Tergantung
pada Kata menarik memang. Analisisnya teliti dan
kesimpulan-kesimpulannya berarti. Namun demikian karangan dalam
buku itu baru bisa dipahami secara semestinya oleh pembaca yang
sudah mengenal seluk-beluk ilmu bahasa. Karena itu, berbeda
dengan Pokok dan Tokoh, lingkungan pembaca Tergantung pada Kata
lebih sempit. Padahal, ditinjau dari segi peningkatan pemahaman
terhadap sastra, buku ini sangat penting.
Membaca dan Menilai Sastra berisi beberapa karangan Teeuw yang
erat hubungannya dengan analisis yang dilakukannya dalam
Tergantung pada Kata. Beberapa karangan dalam buku terbaru ini
bahkan batu bisa dipahami lebih baik apabila pembaca sudah
menyimak Tergantung pada Kata. Dan, seperti halnya Tergantung
pada Kata, buku yang dibicarakan ini memerlukan modal yang tidak
sedikit dari pembaca dalam bidang linguistik dan kesusastraan.
Bagi pembaca Indonesia umumnya, bahkan termasuk pengajar
kesusastraan di perguruan tinggi, banyak konsep dan masalah baru
dalam buku ini. Yang dikerjakan Teeuw dalam kebanyakan
karangannya ini sebenarnya "sederhana": membicarakan berbagai
pendekatan, teori, dan pandangan dalam ilmu sastra dalam
kaitannya dengan sastra Indonesia klasik dan modern. Namun
justru yang "sederhana" itu yang menuntut banyak dari
penulisnya: Teeuw harus membaca luas tentang linguistik dan ilmu
sastra sebab banyak pemikiran baru di kedua bidang itu
diterbitkan di mana-mana.
Minat Teeuw di bidang sastra klasik dan modern jelas-jelas
tercrmin dalam kumpulan karangan ini. Dalam karangan yang
berjudul Studi dan Penelitian Bahasa dan Sastra Jawa Kuno di
Jaman Modern, yang merupakan pidato pengukuhannya waktu menerima
gelar Doctor Honoris Causa dari UI, ia menyebutkan bahwa
"penelitian dan penyebaran pengetahuan mengenai bahasa Jawa Kuno
dan sastranya menjadi sebuah tugas budaya yang mendesak, khasnya
bagi orang cendekiawan Indonesia sekarang dan besok."
Dalam karangan "Tentang Penghargaan dan Penafsiran Hikayat Hang
Tuah", Teeuw membuat catatan mengenai perkembangan minat
beberapa ahli dan pengamat Barat terhadap hasil sastra Melayu,
terutama Hikayat Hang Tuah. Ternyata sudah sejak 1726 ada
pengamat Barat, namanya Francois Valentijn, yang membuat catatan
mengenai hikayat yang indah itu. Teeuw menjelaskan, ternyata
banyak para ahli itu mengacaukan Hikayat Hang Tuah dengan
Sejarah Melayu. Namun yang terpenting dalam karangan Teeuw
mengenai hikayat ini adalah ia, berbeda dengan kebanyakan
sarjana Barat yang disebut-sebutnya, berpendirian bahwa Hikayat
Hang Tuah adalah karya sastra. Karena itu harus diperlakukan
sebagai karya sastra -- bukan sebagai catatan sejarah atau yang
lain. Pendirian ini sangat ditekankannya mengingat banyaknya
penelitian yang menganggap hikayat tersebut sebagai sumber
sejarah.
"Multatuli dan Puisi Melayu" merupakan salah satu karangan Teeuw
yang sangat menarik. Dalam karangan itu ia berusaha meyakinkan
kita bahwa "Multatuli berhak mendapat tempat yang layak dalam
sejarah sastra Indonesia sebaai pelopor puisi Indonesia
modern." Lepas dari benar tidaknya pandangan tersebut, karangan
itu sendiri menarik karena menyuguhkan pendekatan dan cara-cara
pembuktian yang njlimet.
Empat karangan lain dalam buku ini merupakan usaha Teeuw
memperkenalkan pelbagai pendekatan dan teori sastra mutakhir --
karya sastra Indonesia modern, terutama puisi, dijadikannya
contoh atau "bahan" dalam "laboratorium"nya. Sekali lagi perlu
ditekankan bahwa karangan-karangan tersebut khusus bayi
kalangan yang memiliki minat sungguh-sungguh terhadap sastra,
terutama kalangan akademik. Dengan demikian kumpulan karangan
ini menjadi penting bagi kalangan tersebut, sebab banyak di
antara yang ingin maju mengalami hambatan bahasa. Dan Teeuw
berusaha menjelaskan pelbagai pendekatan dan teori tersebut
dalam bahasa Indonesia yang lancar dan cukup luwes, sekalipun di
sana sini ia membiarkan kutipannya dalam bahasa asing.
Bagi pembaca yang tidak menguasai bahasa asing, kutipan-kutipan
tersebut bisa memusingkan atau bahkan membuatnya merasa sangat
bodoh. Ada beberapa kutipan yang dijelaskan. Lalu untuk apa
kutipan itu? Beberapa kutipan merupakan terjemahan ke dalam
bahasa Inggris atau Jerman dari bahasa asing lainnya. Jelas bagi
Prof. Teeuw sama sekali tidak ada kesulitan untuk menerjemahkan
kutipan-kutipan itu ke dalam bahasa Indonesia demi kejelasan
konsep-konsep yang diperkenalkannya kepada pembaca Indonesia.
Setidaknya ada dua hal yang perlu disinggung mengenai
karangan-karangan Teeuw. Pertama, dalam "Tentang Paham dan Salah
Paham dalam Membaca Puisi" Teeuw memcatat di kalangan pembaca
sajak Indonesia, mengupas sajak hampir dapat disamakan dengan
berfilsafat mengenai sajak. Ini erat kaitannya dengan anggapan
yang tersebar luas di kalangan pembaca Indonesia bahwa sebuah
sajak, sebuah karya seni, harus mempunyai amanat yang positif,
dan harus memberi ajaran atau pelajaran tertentu. Pendapat atau
kesimpulan Teeuw itu tidak keliru. Dan hal tersebut tidak cuma
berlaku bagi pembaca Indonesia, juga pembaca di negeri lain,
tidak terkecuali pembaca di Barat.
Hal kedua adalah pernyataan Teeuw bahwa "membaca dan menilai
sebuah karya sastra bukanlah sesuatu yang mudah." Pernyataan ini
mendapat dukungan kuat dari segala macam pendekatan dan teori
yang dijelaskan penulis. Dan pernyataan itu tentunya terbatas
ditujukan kepada kalangan tertentu -- orang-orang yang berusaha
meningkatkan sikap ilmiah terhadap sastra.
Pernyataan Teeuw tersebut (dalam "Tentang Membaca dan Menilai
Karya Sastra") sangat tepat apabila dihubungkan dengan semacam
kesimpulan (dalam "Estetik, Semiotik, dan Sejarah Sastra") yang
mengatakan bahwa sajak Chairil Anwar ("Senja di Pelabuhan
Kecil") baru mendapatkan makna penuh sebagai tanda (semiotik)
dalam kontrasnya dengan hipogram sajak Amir Hamzah ("Berdiri
Aku") yang ditransformasikannya. Analisis sajak Chairil yang
tidak mempertanggungjawabkan relasi intrinsik antara dua sajak
ini tidak dapat dikatakan selesai baru merupakan tahap dini.
Kerepotan menghadapi sajak semacam itu tentu tidak usah
dibayangkan oleh pembaca biasa. Tapi merupakan tantangan bagi
para peneliti sastra untuk mengatasinya.
Pada dasarnya buku Teeuw ini merupakan tantangan serupa itu.
Teeuw telah memulai usaha untuk membuka lembaran baru dalam
penelitian dan kritik sastra Indonesia, dan sudah sewajarnyalah
apabila para peneliti dan kritikus lain menjawabnya.
Tinggal catatan kecil: di samping beberapa salah cetak (antara
lain pada halaman 68, dimabuk warna ditulis diamuk warna), ada
kepustakaan yang terasa mengganggu. Disertasi Soelastin
Sutrisno, "Sastra dalam Ketegangan antara Tradisi dengan
Pembaruan", yang diselesaikan tahun 1979 dicantumkan dalam
bibliografi karangan yang ditulis tahun 1978.
Sapardi Djoko Damono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini