HAMPIR bersamaan saatnya Iran dan Irak di bulan Maret mendadak
minta dikirimi larutan infus masing-masing 400 ton. PT Otsuka
Indonesia di Malang yang melayani permintaan itu tentu tak
menduga jika enam bulan kemudian (September 1980) kedua negara
tadi bertempur sengit memperebutkan jalan air Shatt-al-Arab.
Kendati kini perang tidak sehebat tiga tahun lalu, Iran toh
tahun lalu masih perlu mengimpor 1,5 juta botol larutan infus
dari perusahaan farmasi itu.
Larutan infus memang sangat diperlukan untuk menolong korban
perang yang banyak kehilangan darah dan kekurangan cairan tubuh
(seperti muntah berak) sebagai pelengkap gizi. Cairan yang
dikemas dalam botol plastik itu biasanya berisi larutan
elektrolit seperti ringer laktat, garam dapur, atau larutan
dasar seperti, dekstrose. Selain memproduksi kedua larutan itu,
Otsuka juga menghasilkan asam amino.
Produk semacam itu tahun lalu juga diekspor ke Libya dan
Bangladesh, masingmasing 1,5 juta botol, Pakistan satu juta
botol, Yaman Selatan 200 ribu botol, dan Arab Saudi 100 ribu
botol, serta sejumlah konsumen kecil. Total ekspor Otsuka tahun
lalu mencapai sekitar tujuh juta botol (US$ 4,2 juta) sedang
penjualan lokal 6,5 juta botol (US$ 3,7 juta). Angka penjualan
ekspor ini, menurut Koji Nagai, wakil kepala bagian rencana luar
negeri Otsuka Seiyaku Co. di Tokyo, diharapkan naik 15% setiap
tahun. "Terutama untuk pasar Timur Tengah dan Afrika," katanya
pekan lalu kepada wartawan TEMPO Seiichi Okawa di Jepang.
Kenaikan setinggi itu juga diharapkan akan terjadi di Indonesia,
sekalipun kawasan ini aman. Nagai tidak khawatir jika sebagian
pasaran Otsuka sebesar 92% di sini akan diambil oleh PT Dinatari
(Surabaya) yang bakal memproduksi larutan infus tiga juta botol
setahun. Persaingan memasarkan produk ini ke rumah sakit tentu
akan terasa jika benar tahun ini sebuah perusahaan patungan
Indonesia-Jerman mulai menghasilkan larutan dasar dekstrose.
Dalam tiga tahun terakhir ini, Perum Biofarma, Bandung, juga
sudah menghasilkan 10 ribu botol (per 500 cc) ringer laktat.
Rumah Sakit Hasan Sadikin dan dinas kesehatan di kota itu banyak
menggunakan larutan ini secara cuma-cuma. Ketika wabah muntah
berak berjangkit di Majalaya (1976), produk Biofarma ini juga
sudah digunakan. "Mutu produksi kami cukup baik, dan tidak
menimbulkan efek sampingan, tapi untuk memproduksinya secara
massal dan dijual komersial tergantung Departemen Kesehatan,"
ujar Ny. Suharto, direktur komersial Biofarma.
Rumah sakit sendiri, menuruti Direktur Jenderal Pengawasan Obat
dan Makanan Dr. Midian Sirait, juga banyak membuat pelbagai
larutan infus. Dari segi biaya memang murah. "Tapi karena
pengelolaannya tidak dilakukan oleh tenaga ahli, risikonya jadi
cukup tinggi," ujar Sirait. Pada akhirnya memang, menurut dia,
besar kecilnya pemakaian larutan infus banyak "tergantung pada
pola pemakaian para dokter." Sayangnya sampai saat ini, "para
dokter belum keranjingan infus, tapi baru keranjingan obat,"
katanya.
Perubahan sikap dokter tentu sangat diharapkan oleh pihak
Otsuka. Didirikan 1974, Otsuka Indonesia sesungguhnya merupakan
perusahaan patungan antara Otsuka Seiyaku 70%, Nomura Boeki 10%
(trading house), Indovest 12% (lembaga keuangan non bank), dan
Merapi Utama Pharma 8% (distributor), dengan modal disetor US$ 5
juta ketika itu. Kapasitas produksinya kini 50 ribu botol per
hari. Usaha patungan serupa itu juga diselenggarakan Otsuka
Seiyaku di pelbagai negara -- tapi yang terbesar ada di Malang.
Seluruh penjualan tahun lalu mencapai US$ 774 juta.
Mengapa di Malang? "Airnya bagus untuk pembuatan larutan infus,"
ujar Koji Nagai, yang pernah 10 tahun jadi kepala pabrik di kota
itu. Dari perut bumi di sana setiap hari perusahaan patungan ini
menyedot 800 ton air bersih. Di pabrik itulah air yang
sebelumnya sudah disuling tadi kemudian dicampurkan dengan,
misalnya, garam dapur atau asam amino untuk dijadikan larutan
infus.
Otsuka yang sudah sembilan tahun berproduksi itu, hingga kini
masih mendatangkan semua bahan kimia itu, juga botolnya,
langsung dan Jepang. Baru airnya yang pribumi.
Timpangnya penggunaan komponen dari dalam negeri sampai sekarang
memang terasa menyolok di Indonesia. Bagi pemerintah yang kini
sedang giat menghemat dana, industri perakitan yang memasukkan
sebagian besar komponennya dari luar negeri tentu akan menaikkan
biaya impor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini