Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pantai Sanur, Selamat Pagi

Pantai sanur di Bali yang indah terancam dan tanahnya digerogoti ombak. Ikan hias lambat laun berkurang. Manusia belum dapat mensyukuri dan memanfaatkan keindahan alam yang ada.

7 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA duduk berjajar menlandang laut menanti fajar merekah. Seorang perempuan tua berdampingan dengan seorang bocah perempuan dan seorang lelaki tua. Kemudian agak jauh sedikit laki-perempuan yang lebih muda pada berjongkok di sekitar satu dua sampan. Semuanya diam memandang laut, memandang leret cakrawala yang pelan-pelan memerah. Pantai Sanur, selamat pagi. (Sebentar lagi hari akan kau mulai. Sesudah menggeliat, para turis akan bermunculan dari kamar-kamar mereka pergi menyongsongmu, kaki mereka akan segera mengais pasirmu. Syok, syok, syok, syok, syok, syok . . . Mereka, para turis itu, akan berjalan menyusurimu, pandangannya ke laut, ke Nusa Penida, ke Gunung Agung, yang pada hari sepagi itu masih akan samar-samar kelihatan. Kemudian bila sinar matahari mulai terasa menghangat sedikit akan mulailah ritus mereka menyalamimu, menyalami matahari Bali yang tropis yang oh, nikmat itu yang akan mencoklatkan kulit mereka yang putih kepucatan itu. Mereka akan membuka kemeja mereka, kutang mereka, bergulung di pasirmu, membayangkan taman firdaus yang hilang di negerinya pindah di berandamu . . .). Orang-orang yang diam berjongkok berderet di antara sampan-sampan itu hampir serentak berdiri pada waktu matahari mulai kelihatan bulat di atas cakrawala. Yang memiliki sampan, akan mendorong sampan mereka ke laut dengan bakul-bakul ditaruh berderet di atasnya. Yang tidak memiliki sampan akan menjinjing bakul mereka, langsung menaruh di pinggir pantai terus mencebur masuk laut. Pribumi-pribumi itu mulai dengan ritus mereka sendiri. Ritus menggerogoti milik pantai Sanur yang paling penting: batu karang. Yang naik sampan akan berhenti di tengah di perbatasan pagar-alam batu karang yang meleret di depan pantai Sanur. Karena pagar-alam inilah maka laut Sanur tenang ombaknya, enak dan aman buat berenang-renang. Ikan hias langka yang warna-warnipun akan berenang berseliweran di antara batu-batu karang itu. Yang tidak naik sampan akan langsung masuk laut beberapa meter saja dari pantai merunduk menyurukkan sekop mereka memecah bongkah-bongkah batu karang. Sampan-sampan itu berdatangan bolak-balik antara pagar batu-karang dan pantai. Berbakul-bakul batu-karang yang sudah disekop akan dionggokkan di bawah pohon-pohon kamboja kuburan yang kebetulan ada di tepi pantai Sanur itu. Bolak-balik juga pribumi-pribumi itu, tua-muda, bocah-bocah, laki-perempuan, dengan baju basah-kuyup, air laut dan keringat bercampur berlelehan di muka dan dada mereka, menjunjung bakul yang sarat oleh batu karang itu. Seorang perempuan tua menjunjung sebongkah besar batu karang berjalan tertatih-tatih menanggung beban itu. Sebentar-sebentar tergelincir, mencoba menjaga keseimbangannya, kemudian batunya jatuh berguling. Perempuan tua itu akan terengah memandang bongkahannya yang terguling itu. Dengan kesal diusapnya keringat dan air laut yang asin itu meleleh di mukanya. Kemudian sekali lagi dia akan minta tolong temannya untuk menaruhkan bongkahan batu-karang itu di kepalanya untuk sekali lagi dicobanya menaiki gundukan pasir pantai yang sesungguhnya tidak tinggi itu ke kuburan ke tumpukan gundukan batu karang yang rapi dionggok di bawah pohon kamboja. Sekali ibu tua itu berhasil melemparkan bongkah besar itu ke onggokan itu mungkin dia akan tersenyum ingat akan Rp 1.000 yang bakal dia terima buat setiap satu meter kubik karang yang mampu dia onggokkan. *** Entah sudah berapa lama pemandangan begitu berlangsung setiap fajar merekah. Dua tahun yang lalu saya sudi melihatnya, dan dua tahun sebelumnya saya juga sudah menyaksikan hal yang sama. Entah sudah berapa meter kubik karang terbongkar dari laut Sanur itu selama ini. Sementara itu jelas kelihatan makin banyak saja tanah-tanah pantai Sanur yang tergusur digerogoti gigi-gigi ombak yang tanpa capeknya siang dan malam makan tepian pantai. Tanah-tanah pantai itu akan menyerah saja digerogoti begitu karena lapisan yang bisa melindunginya -- batu karang -- telah secara sistematis dari tahun ke tahun dihancurkan oleh sekop-sekop pencari batu karang. Pemilik-pemilik hotel, bungalow dan cottage disepanjan Sanur mencoba membendung pukulan ombak yang kejam ilu dengan membangun "benteng-benteng" halaman pantainya. Berton-ton batu telah dilemparkan ke pinggir pantai mereka. Diikat, disusun, dengan harapan guling-guling batu yang berton-ton itu akan mampu menahan murkanya ombak. Yang lebih mampu bahkan membentengi pantai mereka dengan membangun guling-guling beton dengan perhitungan gigi-gigi ombak tidak akan mampu menggigit pantai mereka. Nampaknya sia-sia. Dengan pelan tetapi pasti batu-bau yang entah sudah berapa ton ditumpahkan ke pinggiran laut itu pada ambles dan debur ombak akan kembali menggerogoti tanah pantai. Dengan cemas dan kesal beberapa pemilik tanah di Sanur melihat tanahnya setapak demi setapak secara harafiah direnggut pergi ombak. Dengan kesal juga anak-anak dan pencari ikan-hias melihat ikan-ikan yang warna-warni itu yang konon termasuk spesies ikan hias yang langka di dunia pelan-pelan mulai menghilang dari Sanur. Orang mulai meramalkan dalam waktu tidak lama susunan dan bentuk pantai Sanur beserta ikan penghuninya akan mengalami perubahan drastis. Pagar alam batu-karang yang meleret di depan pantai Sanur itu akan habis. Dan sekali itu terjadi jangan coba membayangkan pantai Sanur masih akan indah. Koloni binatang-binatang laut yang kecil yang kemudian membangun batu karang itu tidak akan terbangun dalam satu-dua tahun saja. Mungkin sekian ratus tahun dan sekian pergeseran arus akan dibutuhkan untuk membangun pagar alam seperti itu. Dan sekali keindahan yang tenang dari Salur itu hilang apakah Sanur masih akan menarik? *** Alangkah aneh hubungan manusia dengan alam. Turis-turis asing itu menempuh jarak beribu kilometer (dengan biaya beribu dolar) untuk menatap alam dekat-dekat karena konon Bali masih jinak alamnya. Begitu jinak dan ramah alam itu kepada manusia hingga konon di Bali keduanya merupakan suatu dwi-tunggal yang saling menghimbau dan menghibur. Seorang kawan Belanda yang sangat terpelajar dari Rotterdam, melelehkan air-mata, terharu waktu melihat satu pesta odalan di satu pura kecil yang sederhana di satu desa di dekat pantai. Saya telah menyaksikan sisa terakhir dari kemampuan manusia bercumbu dengan alam, katanya. Alangkah indah. Di Barat, kemampuan demikian sudah lama dilupakan, katanya selanjutnya. Pemilik dan pengelola hotel, bungalow dan cottage yang berderet di sepanjang pantai Sanur itu adalah para wiraswasta yang menjajakan alam kepada para wisatawan. Sebagai wiraswasta mereka berkepentingan melihat alam Sanur tetap indah, sama dengan penjaja buah di pasar Cikini berkepentingan melihat buah-buahan mereka tetap segar. Alam bagi mereka adalah merupakan satu komoditi yang musti dikelola dan dikotak dalam kemasan yang apik. Supaya laku . . . (Apakah mereka akan tetap pada komitmen mereka untuk memelihara keindahan dan keseimbangan Sanur seandainya pada satu ketika pariwisata di Bali menghadapi kejenuhan?). Dan buat barisan pembongkar batu-karang yang setiap pagi berjongkok menunggu fajar merekah itu? Bagi mereka mungkin fajar, batu karang, ikan-hiu, dan laut biru sekarang adalah sekedar prop dari satu panggung besar. Apa boleh buat. Mereka yang sekali waktu mungkin pernah menjadi warga terpenting dari desa Sanur, yang justru pernah ikut menjaga keseimbangan desa itu, karena tuntutan kemajuan pembangunan pariwisata harus terpelanting. Dalam posisi yang kepepet mereka sekarang dengan putus-asa menghimbau untuk akhir kalinya kepada alam -- berilah daku batu karangmu . . . Alangkah aneh hubungan alam dengan manusia. Pada waktu manusia masih langka, alam cenderung untuk memanjakannya, mengajaknya untuk mereguk sumber alam sepuasnya. Begitu manusia mulai menyesaki ruang alam yang tersedia -- akibat pemanjaan alam itu juga -- alam mulai berhenti memanjakan manusia, menjadi kikir dan garang. Seakan manusia tidak kunjung tahu mensyukuri rezeki. Dalam keadaan begitu alam sekali lagi akan mengajar manusia mengingatkan manusia akan ketergantungannya kepada alam. Atau dengan perkataan Schumacher (Small Is Beautiful): jangan gerogoti sumber alam yang bagaikan modal pokok dari satu perusahaan yang sehat tak pantas dikutik-kutik. Juga alam nampaknya akan mengajar manusia untuk merindukannya. Maka tak mengherankan jika kawan Belanda yang sangat terpelajar itu menangis terharu melihat suatu pesta odalan di satu pura. Sementara itu barisan pembongkar dan pemecah batukarang itu terus juga dengan patuhnya melaksanakan ritus rutin mereka setiap fajar merekah. Sekali-sekali bongkahan besar batu-karang masih akan tergelincir dari kepala seorang ibu tua. Ibu tua itu juga akan terus mencoba mengangkatnya kembali dan dengan tertatih-tatih meletakkannya pada onggokan yang tersedia. Seandainya arwah Albert Camus gentayangan di Sanur dia akan melihat esai cemerlang yang pernah ditulisnya tentang tokoh mitologi, Sisiphus, yang dia lambangkan sebagai kebesaran penderitaan manusia (Mitos Sisiphus) diragak hampir secara harafiah di desa kecil Bali itu . . .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus