MEREKA duduk berjajar menlandang laut menanti fajar merekah.
Seorang perempuan tua berdampingan dengan seorang bocah
perempuan dan seorang lelaki tua. Kemudian agak jauh sedikit
laki-perempuan yang lebih muda pada berjongkok di sekitar satu
dua sampan. Semuanya diam memandang laut, memandang leret
cakrawala yang pelan-pelan memerah. Pantai Sanur, selamat pagi.
(Sebentar lagi hari akan kau mulai. Sesudah menggeliat, para
turis akan bermunculan dari kamar-kamar mereka pergi
menyongsongmu, kaki mereka akan segera mengais pasirmu. Syok,
syok, syok, syok, syok, syok . . . Mereka, para turis itu, akan
berjalan menyusurimu, pandangannya ke laut, ke Nusa Penida, ke
Gunung Agung, yang pada hari sepagi itu masih akan samar-samar
kelihatan. Kemudian bila sinar matahari mulai terasa menghangat
sedikit akan mulailah ritus mereka menyalamimu, menyalami
matahari Bali yang tropis yang oh, nikmat itu yang akan
mencoklatkan kulit mereka yang putih kepucatan itu. Mereka akan
membuka kemeja mereka, kutang mereka, bergulung di pasirmu,
membayangkan taman firdaus yang hilang di negerinya pindah di
berandamu . . .).
Orang-orang yang diam berjongkok berderet di antara
sampan-sampan itu hampir serentak berdiri pada waktu matahari
mulai kelihatan bulat di atas cakrawala. Yang memiliki sampan,
akan mendorong sampan mereka ke laut dengan bakul-bakul ditaruh
berderet di atasnya. Yang tidak memiliki sampan akan menjinjing
bakul mereka, langsung menaruh di pinggir pantai terus mencebur
masuk laut. Pribumi-pribumi itu mulai dengan ritus mereka
sendiri. Ritus menggerogoti milik pantai Sanur yang paling
penting: batu karang.
Yang naik sampan akan berhenti di tengah di perbatasan
pagar-alam batu karang yang meleret di depan pantai Sanur.
Karena pagar-alam inilah maka laut Sanur tenang ombaknya, enak
dan aman buat berenang-renang. Ikan hias langka yang
warna-warnipun akan berenang berseliweran di antara batu-batu
karang itu. Yang tidak naik sampan akan langsung masuk laut
beberapa meter saja dari pantai merunduk menyurukkan sekop
mereka memecah bongkah-bongkah batu karang.
Sampan-sampan itu berdatangan bolak-balik antara pagar
batu-karang dan pantai. Berbakul-bakul batu-karang yang sudah
disekop akan dionggokkan di bawah pohon-pohon kamboja kuburan
yang kebetulan ada di tepi pantai Sanur itu. Bolak-balik juga
pribumi-pribumi itu, tua-muda, bocah-bocah, laki-perempuan,
dengan baju basah-kuyup, air laut dan keringat bercampur
berlelehan di muka dan dada mereka, menjunjung bakul yang sarat
oleh batu karang itu.
Seorang perempuan tua menjunjung sebongkah besar batu karang
berjalan tertatih-tatih menanggung beban itu. Sebentar-sebentar
tergelincir, mencoba menjaga keseimbangannya, kemudian batunya
jatuh berguling. Perempuan tua itu akan terengah memandang
bongkahannya yang terguling itu. Dengan kesal diusapnya
keringat dan air laut yang asin itu meleleh di mukanya.
Kemudian sekali lagi dia akan minta tolong temannya untuk
menaruhkan bongkahan batu-karang itu di kepalanya untuk sekali
lagi dicobanya menaiki gundukan pasir pantai yang sesungguhnya
tidak tinggi itu ke kuburan ke tumpukan gundukan batu karang
yang rapi dionggok di bawah pohon kamboja.
Sekali ibu tua itu berhasil melemparkan bongkah besar itu ke
onggokan itu mungkin dia akan tersenyum ingat akan Rp 1.000 yang
bakal dia terima buat setiap satu meter kubik karang yang mampu
dia onggokkan.
***
Entah sudah berapa lama pemandangan begitu berlangsung setiap
fajar merekah. Dua tahun yang lalu saya sudi melihatnya, dan
dua tahun sebelumnya saya juga sudah menyaksikan hal yang sama.
Entah sudah berapa meter kubik karang terbongkar dari laut Sanur
itu selama ini. Sementara itu jelas kelihatan makin banyak saja
tanah-tanah pantai Sanur yang tergusur digerogoti gigi-gigi
ombak yang tanpa capeknya siang dan malam makan tepian pantai.
Tanah-tanah pantai itu akan menyerah saja digerogoti begitu
karena lapisan yang bisa melindunginya -- batu karang -- telah
secara sistematis dari tahun ke tahun dihancurkan oleh
sekop-sekop pencari batu karang.
Pemilik-pemilik hotel, bungalow dan cottage disepanjan Sanur
mencoba membendung pukulan ombak yang kejam ilu dengan membangun
"benteng-benteng" halaman pantainya. Berton-ton batu telah
dilemparkan ke pinggir pantai mereka. Diikat, disusun, dengan
harapan guling-guling batu yang berton-ton itu akan mampu
menahan murkanya ombak. Yang lebih mampu bahkan membentengi
pantai mereka dengan membangun guling-guling beton dengan
perhitungan gigi-gigi ombak tidak akan mampu menggigit pantai
mereka.
Nampaknya sia-sia. Dengan pelan tetapi pasti batu-bau yang
entah sudah berapa ton ditumpahkan ke pinggiran laut itu pada
ambles dan debur ombak akan kembali menggerogoti tanah pantai.
Dengan cemas dan kesal beberapa pemilik tanah di Sanur melihat
tanahnya setapak demi setapak secara harafiah direnggut pergi
ombak. Dengan kesal juga anak-anak dan pencari ikan-hias melihat
ikan-ikan yang warna-warni itu yang konon termasuk spesies ikan
hias yang langka di dunia pelan-pelan mulai menghilang dari
Sanur.
Orang mulai meramalkan dalam waktu tidak lama susunan dan bentuk
pantai Sanur beserta ikan penghuninya akan mengalami perubahan
drastis. Pagar alam batu-karang yang meleret di depan pantai
Sanur itu akan habis. Dan sekali itu terjadi jangan coba
membayangkan pantai Sanur masih akan indah. Koloni
binatang-binatang laut yang kecil yang kemudian membangun batu
karang itu tidak akan terbangun dalam satu-dua tahun saja.
Mungkin sekian ratus tahun dan sekian pergeseran arus akan
dibutuhkan untuk membangun pagar alam seperti itu.
Dan sekali keindahan yang tenang dari Salur itu hilang apakah
Sanur masih akan menarik?
***
Alangkah aneh hubungan manusia dengan alam.
Turis-turis asing itu menempuh jarak beribu kilometer (dengan
biaya beribu dolar) untuk menatap alam dekat-dekat karena konon
Bali masih jinak alamnya. Begitu jinak dan ramah alam itu kepada
manusia hingga konon di Bali keduanya merupakan suatu
dwi-tunggal yang saling menghimbau dan menghibur. Seorang kawan
Belanda yang sangat terpelajar dari Rotterdam, melelehkan
air-mata, terharu waktu melihat satu pesta odalan di satu pura
kecil yang sederhana di satu desa di dekat pantai. Saya telah
menyaksikan sisa terakhir dari kemampuan manusia bercumbu dengan
alam, katanya. Alangkah indah. Di Barat, kemampuan demikian
sudah lama dilupakan, katanya selanjutnya.
Pemilik dan pengelola hotel, bungalow dan cottage yang berderet
di sepanjang pantai Sanur itu adalah para wiraswasta yang
menjajakan alam kepada para wisatawan. Sebagai wiraswasta mereka
berkepentingan melihat alam Sanur tetap indah, sama dengan
penjaja buah di pasar Cikini berkepentingan melihat buah-buahan
mereka tetap segar. Alam bagi mereka adalah merupakan satu
komoditi yang musti dikelola dan dikotak dalam kemasan yang
apik. Supaya laku . . . (Apakah mereka akan tetap pada komitmen
mereka untuk memelihara keindahan dan keseimbangan Sanur
seandainya pada satu ketika pariwisata di Bali menghadapi
kejenuhan?).
Dan buat barisan pembongkar batu-karang yang setiap pagi
berjongkok menunggu fajar merekah itu? Bagi mereka mungkin
fajar, batu karang, ikan-hiu, dan laut biru sekarang adalah
sekedar prop dari satu panggung besar. Apa boleh buat. Mereka
yang sekali waktu mungkin pernah menjadi warga terpenting dari
desa Sanur, yang justru pernah ikut menjaga keseimbangan desa
itu, karena tuntutan kemajuan pembangunan pariwisata harus
terpelanting. Dalam posisi yang kepepet mereka sekarang dengan
putus-asa menghimbau untuk akhir kalinya kepada alam -- berilah
daku batu karangmu . . .
Alangkah aneh hubungan alam dengan manusia.
Pada waktu manusia masih langka, alam cenderung untuk
memanjakannya, mengajaknya untuk mereguk sumber alam sepuasnya.
Begitu manusia mulai menyesaki ruang alam yang tersedia --
akibat pemanjaan alam itu juga -- alam mulai berhenti memanjakan
manusia, menjadi kikir dan garang. Seakan manusia tidak kunjung
tahu mensyukuri rezeki.
Dalam keadaan begitu alam sekali lagi akan mengajar manusia
mengingatkan manusia akan ketergantungannya kepada alam. Atau
dengan perkataan Schumacher (Small Is Beautiful): jangan
gerogoti sumber alam yang bagaikan modal pokok dari satu
perusahaan yang sehat tak pantas dikutik-kutik.
Juga alam nampaknya akan mengajar manusia untuk merindukannya.
Maka tak mengherankan jika kawan Belanda yang sangat terpelajar
itu menangis terharu melihat suatu pesta odalan di satu pura.
Sementara itu barisan pembongkar dan pemecah batukarang itu
terus juga dengan patuhnya melaksanakan ritus rutin mereka
setiap fajar merekah. Sekali-sekali bongkahan besar batu-karang
masih akan tergelincir dari kepala seorang ibu tua. Ibu tua itu
juga akan terus mencoba mengangkatnya kembali dan dengan
tertatih-tatih meletakkannya pada onggokan yang tersedia.
Seandainya arwah Albert Camus gentayangan di Sanur dia akan
melihat esai cemerlang yang pernah ditulisnya tentang tokoh
mitologi, Sisiphus, yang dia lambangkan sebagai kebesaran
penderitaan manusia (Mitos Sisiphus) diragak hampir secara
harafiah di desa kecil Bali itu . . .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini