KALAU lewat jalan raya Jakarta-Cirebon dan sudah sampai desa
Parean di Kandanghaur, Indramayu, harap hati-hati. Sering macet
-- sebab di situ, persisnya di depan Balai Desa Parean Bulak,
setiap malamnya selalu ramai seperti ada keriaan saja layaknya.
Di sepanjang jalan sekitar 75 meter tidak kurang 800 manusia
wira-wiri. Jumlah ini akan berlipat ganda kalau jatuh pada malam
Minggu.
Muda-mudi, tua-muda, janda atau duda biasanya datang
berkelompok. Laki-laki datang berkawan laki-laki. Yang perempuan
berangkat dari rumah dengan kawan wanitanya pula. Umumnya
orangtua tidak melarang anak gadisnya yang menginjak akil baliq
minta pamit ke jalan besar di depan balai Desa Parean Bulak
tersebut: Buat pacar, syukur-syukur dapat calon suami.
Meriang
Tempat itu namanya Pasar Jodoh. Dibuka sejak lebih 20 tahun
silam, selama dua jam setiap malam mulai pukul 20.00, acara tak
pernah libur. Suasananya meriah. Para wanita biasanya mengenakan
kebaya dengan warna kembar. Ada yang berkebaya hijau, ada pula
yang kuning. Berjalan hilir mudik, jika malam ini tak berhasil
menggaet pasangan, mereka tak segan berjalan lagi pada
malam-malam berikutnya. Sampai mereka betul-betul mengalami apa
yang namanya "ketemu jodoh."
Yang celaka kalau beberapa malam tidak mendapat kencan atau
lirikan yang berarti. Tubuh jadi "meriang". Karena ada beberapa
tangan jahil yang hanya mau memuaskan nafsu meraba-raba dalam
kesempatan yang memang tidak sempit itu. Sebab, pria yang datang
ke Pasar Jodoh ini memang tidak semuanya serius. Banyak yang
nakal. Karena itu, tak pelak lagi di sana terdengar selalu suara
cekikikan kesenangan atau jeritan melengking karena kaget atau
latah dari mulut para hadirin.
Marah? "Wah, kalau tak mau diraba-raba, ya jangan ke mari," ujar
Soetiyah, yang usianya baru 15 tahun, dan mempunyai wajah dan
bodi lumayan. Tukimin, pemuda asal dari Wonosari (Jawa Tengah),
menimpali "Lha kenapa musti marah? Itu 'kan sudah kebiasaan dari
dulu." Satiman, seorang ayah yang juga membiarkan anak gadisnya
pergi ke Pasar Jodoh, juga tak keberatan. "Biarkan saja. Di situ
mereka 'kan lagi cari jodoh," katanya.
Satiman, buruh tani dari Desa Parean, menceriterakan riwayat
Pasar Jodoh. Dulu, cara pria berkenalan dengan wanita yang
dituju, dengan cara menarik selendangnya. Si wanita punya hak
menentukan menolak atau menerima minat pria yang menarik
selendangnya itu. "Kagak tahu sejak kapan, sekarang kok jadi
main senggol-senggolan," kata Satiman.
Itulah Pasar Jodoh. Tak semua orang sana dapat menerima
kegiatanya. Beberapa wanita yang tinggal di Kedunghaur merasa
diturunkan martabatnya. Pasar Jodoh, "itu jelas merusak moral,"
tukas seorang pemudi yang duduk di SLA Kandanghaur. Dia dan juga
beberapa temannya takut umum akan mengambil kesimpulan sama
tentang wanita Indramayu: mudah dirayu. Mereka mengusulkan
tempat begituan sebaiknya dilarang saja.
Tapi Soetiyah, si gadis yang lagi mekar, menolak penutupan Pasar
Jodoh. "Kalau ditutup, di mana kita mau cari pasangan ?" katanya
dengan nada cemas.
25 Kali
Memang banyak yang tak beres. "Iya, sekedar hiburan. Bisa
pegang-pegang. 'Kan bebas," seperti niat Suhanda, pemuda klimis
dari Pamanukan. Tapi juga tidak sedikit jodoh bertemu di sana
dan berakhir di depan penghulu. Ningsih yang berasal dari Parean
Ilir, dalam usia 19 tahun tetapi sudah menjanda 2 kali misalnya,
berkat Pasar Jodoh sudah akan menikah lagi untuk yang ketiga
kalinya. Jodoh memang sering terjalin dari pinggiran jalan raya
di Indramayu ini. Namun tak banyak yang langgeng. Umur
perkawinan berkisar antara 3 sampai 6 bulan.
Bicara soal kawin-cerai, "Kabupaten Indramayu memang memegang
rekor tinggi. Terutama untuk angka perceraiannya. Itu dapat
dilihat dari sibuknya Kantor Pengadilan Agama di situ. Hanya
bersidang Senin sampai Kamis setiap minggu, kantor dibuka jam
08.00 pagi dan tak akan usai sebelum jam 17.00 sore, rata-rata
setiap hari menyidangkan 60 perkara perceraian atau gugatan
perceraian Sebagian besar alasan berpangkal pada soal ekonomi.
Tapi tidak jarang menyinggung pula hal-hal yang sepele sekali,
seperti tak mau serumah dengan mertua atau sudah bosan dengan
suami.
Kawin-cerai jadi semacam kegemaran di sana. Ada seorang wanita,
usianya 45 tahun, telah kawin-cerai 25 kali! Perempuan usia 24
tahun, kawin cerai 6 atau 7 kali, itu lumrah. Karena gadis harus
menikah tak boleh telat dari usia 17 tahun -- kalau tak mau
disebut perawan tua. Gampang bercerai lagi kalau belakangan tak
cocok.
Jatuhnya talak suami jarang diiringi air mata. Malah dengan rasa
lega. "Dari pada hidup terkatung-katung," kata janda Watiri (20
tahun) dari Karang Ampel. "Yang perlu, hidup mendingan," ujar
Ningsih, aktivis Pasar Jodoh itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini