Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Jika jodoh dari pinggir jalan

Di desa parea, kandanghaur, indramayu ada pasar jodoh, tempat muda-mudi, janda, duda mencari jodoh. pasar itu muncul karena kegembaran kawin-cerai sebagaimana penduduk setempat. (il)

7 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU lewat jalan raya Jakarta-Cirebon dan sudah sampai desa Parean di Kandanghaur, Indramayu, harap hati-hati. Sering macet -- sebab di situ, persisnya di depan Balai Desa Parean Bulak, setiap malamnya selalu ramai seperti ada keriaan saja layaknya. Di sepanjang jalan sekitar 75 meter tidak kurang 800 manusia wira-wiri. Jumlah ini akan berlipat ganda kalau jatuh pada malam Minggu. Muda-mudi, tua-muda, janda atau duda biasanya datang berkelompok. Laki-laki datang berkawan laki-laki. Yang perempuan berangkat dari rumah dengan kawan wanitanya pula. Umumnya orangtua tidak melarang anak gadisnya yang menginjak akil baliq minta pamit ke jalan besar di depan balai Desa Parean Bulak tersebut: Buat pacar, syukur-syukur dapat calon suami. Meriang Tempat itu namanya Pasar Jodoh. Dibuka sejak lebih 20 tahun silam, selama dua jam setiap malam mulai pukul 20.00, acara tak pernah libur. Suasananya meriah. Para wanita biasanya mengenakan kebaya dengan warna kembar. Ada yang berkebaya hijau, ada pula yang kuning. Berjalan hilir mudik, jika malam ini tak berhasil menggaet pasangan, mereka tak segan berjalan lagi pada malam-malam berikutnya. Sampai mereka betul-betul mengalami apa yang namanya "ketemu jodoh." Yang celaka kalau beberapa malam tidak mendapat kencan atau lirikan yang berarti. Tubuh jadi "meriang". Karena ada beberapa tangan jahil yang hanya mau memuaskan nafsu meraba-raba dalam kesempatan yang memang tidak sempit itu. Sebab, pria yang datang ke Pasar Jodoh ini memang tidak semuanya serius. Banyak yang nakal. Karena itu, tak pelak lagi di sana terdengar selalu suara cekikikan kesenangan atau jeritan melengking karena kaget atau latah dari mulut para hadirin. Marah? "Wah, kalau tak mau diraba-raba, ya jangan ke mari," ujar Soetiyah, yang usianya baru 15 tahun, dan mempunyai wajah dan bodi lumayan. Tukimin, pemuda asal dari Wonosari (Jawa Tengah), menimpali "Lha kenapa musti marah? Itu 'kan sudah kebiasaan dari dulu." Satiman, seorang ayah yang juga membiarkan anak gadisnya pergi ke Pasar Jodoh, juga tak keberatan. "Biarkan saja. Di situ mereka 'kan lagi cari jodoh," katanya. Satiman, buruh tani dari Desa Parean, menceriterakan riwayat Pasar Jodoh. Dulu, cara pria berkenalan dengan wanita yang dituju, dengan cara menarik selendangnya. Si wanita punya hak menentukan menolak atau menerima minat pria yang menarik selendangnya itu. "Kagak tahu sejak kapan, sekarang kok jadi main senggol-senggolan," kata Satiman. Itulah Pasar Jodoh. Tak semua orang sana dapat menerima kegiatanya. Beberapa wanita yang tinggal di Kedunghaur merasa diturunkan martabatnya. Pasar Jodoh, "itu jelas merusak moral," tukas seorang pemudi yang duduk di SLA Kandanghaur. Dia dan juga beberapa temannya takut umum akan mengambil kesimpulan sama tentang wanita Indramayu: mudah dirayu. Mereka mengusulkan tempat begituan sebaiknya dilarang saja. Tapi Soetiyah, si gadis yang lagi mekar, menolak penutupan Pasar Jodoh. "Kalau ditutup, di mana kita mau cari pasangan ?" katanya dengan nada cemas. 25 Kali Memang banyak yang tak beres. "Iya, sekedar hiburan. Bisa pegang-pegang. 'Kan bebas," seperti niat Suhanda, pemuda klimis dari Pamanukan. Tapi juga tidak sedikit jodoh bertemu di sana dan berakhir di depan penghulu. Ningsih yang berasal dari Parean Ilir, dalam usia 19 tahun tetapi sudah menjanda 2 kali misalnya, berkat Pasar Jodoh sudah akan menikah lagi untuk yang ketiga kalinya. Jodoh memang sering terjalin dari pinggiran jalan raya di Indramayu ini. Namun tak banyak yang langgeng. Umur perkawinan berkisar antara 3 sampai 6 bulan. Bicara soal kawin-cerai, "Kabupaten Indramayu memang memegang rekor tinggi. Terutama untuk angka perceraiannya. Itu dapat dilihat dari sibuknya Kantor Pengadilan Agama di situ. Hanya bersidang Senin sampai Kamis setiap minggu, kantor dibuka jam 08.00 pagi dan tak akan usai sebelum jam 17.00 sore, rata-rata setiap hari menyidangkan 60 perkara perceraian atau gugatan perceraian Sebagian besar alasan berpangkal pada soal ekonomi. Tapi tidak jarang menyinggung pula hal-hal yang sepele sekali, seperti tak mau serumah dengan mertua atau sudah bosan dengan suami. Kawin-cerai jadi semacam kegemaran di sana. Ada seorang wanita, usianya 45 tahun, telah kawin-cerai 25 kali! Perempuan usia 24 tahun, kawin cerai 6 atau 7 kali, itu lumrah. Karena gadis harus menikah tak boleh telat dari usia 17 tahun -- kalau tak mau disebut perawan tua. Gampang bercerai lagi kalau belakangan tak cocok. Jatuhnya talak suami jarang diiringi air mata. Malah dengan rasa lega. "Dari pada hidup terkatung-katung," kata janda Watiri (20 tahun) dari Karang Ampel. "Yang perlu, hidup mendingan," ujar Ningsih, aktivis Pasar Jodoh itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus