Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Pasir + air + centong

Lomba patung pasir di pantai indah ancol, jakarta. diadakan majalah kucica. dalam kesempatan tersebut diresmikan yayasan bina karya patung pasir. (ilt)

7 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH anak-anak antara 6 - 14 tahun nampak sibuk di Pantai Indah, Ancol, di belakang Hotel Horizon. Di samping mereka masing-masing ada sebuah ember, di tangan centong nasi dari kayu. Mereka semua sedang mengeruk pasir. Tidak untuk dimasukkan ke dalam ember dan lalu dibawa ke mana, tapi dari gundukan pasir hasil kerukan tiba-tiba muncul satu bentuk. Bentuk itu makin lama makin jelas ada ular, kerbau, orang, singa, hiu, ikan duyung dan lain-lain. Sekali-sekali mereka lari menuju laut sambil membawa ember. Eh, ternyata mengambil air laut dan digunakan untuk memadatkan pasir. Itulah kegiatan yang diselenggarakan oleh majalah anak-anak Kucica, Minggu, 24 Juni yang lalu lomba patung pasir. Nampak hadir menyaksikan kegiatan anak-anak ini antara lain Menteri Daoed Joesoef dan Dirjen Kebudayaan Haryati Soebadio. Acara resmi siang itu sebenarnya peresmian Yayasan Bina Karya Patung Pasir, yang diprakarsai oleh beberapa orang tua pematung pasir cilik tersebut dengan majalah Kucica. Pada mulanya kegiatan semacam ini digerakkan oleh undangan dari Mexico kepada pemerintah Indonesia, pada awal tahun ini, yang mengundang 6 anak usia 6 - 14 tahun untuk mengikuti lomba Seni patung pasir. Dan meskipun anak-anak kita terutama yang sering bermain ke pantai sudah sering main pasir, tapi istilah patung pasir terasa agak janggal juga. Dengan persiapan agak tergesa -- karena lomba di Mexico 29 April -- terpaksa diadakan pemilihan anak "asal comot" saja. Waktu itu entah kenapa diambil anak-anak dari SD Negeri di daerah Kota. Mungkin dengan pertimbangan mereka dekat ke Ancol, tempat yang dipilih untuk latihan. Latihan diadakan agak intensif, tiga kali seminggu. Dalam latihan itu pula kemudian didapatkan, bahwa membuat patung seperti pengertian lazimnya ternyata sulit. Pasir yang hanya diberi itu tak cukup kuat untuk memberi bentuk yang berdiri. Jadi diputus untuk membuat semacam relief tim saja. Dan memang ada hasilnya di antara 28 negara peserta, Indonesia meraih pemenang III dan V untuk kategori umur 11 - 14 tahun. Hasil itu agaknya yang telah menggerakkan beberapa orangtua untuk membentuk Yayasan Bina Karya Patung Pasir, yang akan secara rutin mengadakan lomba atau kegiatan biasa membuat patung pasir. Menangis Minggu siang akhir Juni yang lalu nampak menarik karya seorang Guruh Tirtawiguna dari SD Tomang, yang Juli bulan ini dia sudah duduk di kelas VI. "Lho, anak ini menangis karena kerbaunya mati, ya?" tanya seseorang. "Ya, pak. Mati berkelahi dengan mecan," jawabnya sambil menyelesaikan bagian akhir karyanya. Guruh memang membentuk seekor kerbau yang tersungkur dan di perut kerbau itu seorang anak membenamkan mukanya. Hebat tanpa air mata -- yang yang biasanya digunakan untuk menampilkan duka bentuk ini telah memberikan ekspresi kesedihan. "Ini kreasi sendiri atau ada yang menolong, dik?" tanya seseorang lagi "Campuran," jawabnya tak jelas. Ternyata ini memang kreasinya sendiri yang kemudian sedikit diberi petunjuk dari seorang panitia. Tapi Guruh memang sudah suka kesenian. Dia suka melukis, meski mematung baru sekali itu. Diumumkan lewat sekolahnya kalau akan ada lomba patung pasir. Secara spontan dia ikut. Anak seorang guru SD ini nampak bersemangat, tapi mungkin agak kecewa. Ketika panitia mengumumkan keluar sebagai pemenang pertama, ada tambahan komentar "Patung karya Guruh telah diberi judul oleh pak Daoed, ialah Saijah dan Adinda." "Lho, bukankah kerbau ayah Saijah tidak mati diterkam harimau, tapi dirampas kepala desa Parangkujang, Banten? Tapi kegiatan ini memang berharga. Dengan biaya material yang murah pasir toh tak usah beli -- kreativitas anak-anak tersalur. Dan dengan demikian anak-anak itu juga belajar kenal dengan lingkungan. Yang mungkin agak menghambat ialah, kegiatan ini hanya akan diadakan pada waktu-waktu tertentu saja. Bagaimana kalau disediakan saja satu lokasi pantai yang setiap saat boleh dikunjungi anak-anak untuk membuat patung pasir? Dengan begitu yang namanya pembinaan kreativitas lebih bisa berlangsung dengan bebas, bukan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus