SEJUMLAH anak-anak antara 6 - 14 tahun nampak sibuk di Pantai
Indah, Ancol, di belakang Hotel Horizon. Di samping mereka
masing-masing ada sebuah ember, di tangan centong nasi dari
kayu. Mereka semua sedang mengeruk pasir. Tidak untuk dimasukkan
ke dalam ember dan lalu dibawa ke mana, tapi dari gundukan pasir
hasil kerukan tiba-tiba muncul satu bentuk. Bentuk itu makin
lama makin jelas ada ular, kerbau, orang, singa, hiu, ikan
duyung dan lain-lain. Sekali-sekali mereka lari menuju laut
sambil membawa ember. Eh, ternyata mengambil air laut dan
digunakan untuk memadatkan pasir.
Itulah kegiatan yang diselenggarakan oleh majalah anak-anak
Kucica, Minggu, 24 Juni yang lalu lomba patung pasir. Nampak
hadir menyaksikan kegiatan anak-anak ini antara lain Menteri
Daoed Joesoef dan Dirjen Kebudayaan Haryati Soebadio. Acara
resmi siang itu sebenarnya peresmian Yayasan Bina Karya Patung
Pasir, yang diprakarsai oleh beberapa orang tua pematung pasir
cilik tersebut dengan majalah Kucica.
Pada mulanya kegiatan semacam ini digerakkan oleh undangan dari
Mexico kepada pemerintah Indonesia, pada awal tahun ini, yang
mengundang 6 anak usia 6 - 14 tahun untuk mengikuti lomba Seni
patung pasir. Dan meskipun anak-anak kita terutama yang sering
bermain ke pantai sudah sering main pasir, tapi istilah patung
pasir terasa agak janggal juga. Dengan persiapan agak tergesa --
karena lomba di Mexico 29 April -- terpaksa diadakan pemilihan
anak "asal comot" saja. Waktu itu entah kenapa diambil anak-anak
dari SD Negeri di daerah Kota. Mungkin dengan pertimbangan
mereka dekat ke Ancol, tempat yang dipilih untuk latihan.
Latihan diadakan agak intensif, tiga kali seminggu. Dalam
latihan itu pula kemudian didapatkan, bahwa membuat patung
seperti pengertian lazimnya ternyata sulit. Pasir yang hanya
diberi itu tak cukup kuat untuk memberi bentuk yang berdiri.
Jadi diputus untuk membuat semacam relief tim saja. Dan memang
ada hasilnya di antara 28 negara peserta, Indonesia meraih
pemenang III dan V untuk kategori umur 11 - 14 tahun.
Hasil itu agaknya yang telah menggerakkan beberapa orangtua
untuk membentuk Yayasan Bina Karya Patung Pasir, yang akan
secara rutin mengadakan lomba atau kegiatan biasa membuat
patung pasir.
Menangis
Minggu siang akhir Juni yang lalu nampak menarik karya seorang
Guruh Tirtawiguna dari SD Tomang, yang Juli bulan ini dia
sudah duduk di kelas VI. "Lho, anak ini menangis karena
kerbaunya mati, ya?" tanya seseorang. "Ya, pak. Mati berkelahi
dengan mecan," jawabnya sambil menyelesaikan bagian akhir
karyanya. Guruh memang membentuk seekor kerbau yang tersungkur
dan di perut kerbau itu seorang anak membenamkan mukanya. Hebat
tanpa air mata -- yang yang biasanya digunakan untuk
menampilkan duka bentuk ini telah memberikan ekspresi kesedihan.
"Ini kreasi sendiri atau ada yang menolong, dik?" tanya
seseorang lagi "Campuran," jawabnya tak jelas. Ternyata ini
memang kreasinya sendiri yang kemudian sedikit diberi petunjuk
dari seorang panitia.
Tapi Guruh memang sudah suka kesenian. Dia suka melukis, meski
mematung baru sekali itu. Diumumkan lewat sekolahnya kalau akan
ada lomba patung pasir. Secara spontan dia ikut. Anak seorang
guru SD ini nampak bersemangat, tapi mungkin agak kecewa.
Ketika panitia mengumumkan keluar sebagai pemenang pertama, ada
tambahan komentar "Patung karya Guruh telah diberi judul oleh
pak Daoed, ialah Saijah dan Adinda." "Lho, bukankah kerbau ayah
Saijah tidak mati diterkam harimau, tapi dirampas kepala desa
Parangkujang, Banten?
Tapi kegiatan ini memang berharga. Dengan biaya material yang
murah pasir toh tak usah beli -- kreativitas anak-anak
tersalur. Dan dengan demikian anak-anak itu juga belajar kenal
dengan lingkungan.
Yang mungkin agak menghambat ialah, kegiatan ini hanya akan
diadakan pada waktu-waktu tertentu saja. Bagaimana kalau
disediakan saja satu lokasi pantai yang setiap saat boleh
dikunjungi anak-anak untuk membuat patung pasir? Dengan begitu
yang namanya pembinaan kreativitas lebih bisa berlangsung
dengan bebas, bukan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini