Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa yang terjadi sehingga Garuda dan Rosita tidak menunggu sampai hasil temuan TGPF diumumkan? Ketua tim, Marzuki Darusman, meyakinkan bahwa di antara mereka hanya terjadi perbedaan cara pandang. Maka, didampingi oleh anggota tim lainnya, ia membacakan ringkasan hasil kerja TGPF--setelah bekerja tiga bulan--yang terdiri dari 27 halaman. Juga ada laporan akhir dengan lampiran berjumlah enam bundel yang sedang disiapkan.
Marzuki mengemukakan ada dua sebab yang memicu kerusuhan 13-14 Mei. TGPF, katanya, menyimpulkan dua sebab itu adalah proses pergumulan elite politik dan memburuknya kondisi ekonomi moneter. Tim yang dipimpinnya mengumpulkan data dari pelbagai sumber dan meninjau akibat kerusuhan di Jakarta, Solo, Palembang, Lampung, Surabaya, dan Medan. Tim itu terdiri dari 18 orang dan masih dibantu oleh 12 orang tim asistensi.
"Pertemuan Makostrad tanggal 14 Mei patut diduga dapat mengungkap peranan pelaku dan pola kerusuhan," kata Marzuki. Dalam rekomendasinya, TGPF meminta agar pemerintah melakukan penyelidikan terhadap pertemuan di Makostrad. Selain itu, TGPF juga meminta pertanggungjawaban dari Pangkoops Jaya, Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin, serta menggugat Letjen Prabowo Subianto ke pengadilan militer karena terlibat dalam kasus penculikan.
Segera saja pertemuan 14 Mei yang tak banyak diketahui orang itu menjadi omongan di masyarakat. Fokus TGPF pada peristiwa 14 Mei benar-benar di luar dugaan, tapi reaksi masyarakat terhadap soal ini juga di luar dugaan. Menimbulkan tanda tanya mengapa fokus berubah, dan apakah masalah pemerkosaan menjadi kurang penting.
Mungkin karena itu masyarakat hampir tidak bereaksi terhadap jumlah korban pemerkosaan yang menurut tim ada 52 orang. Perhatian mereka lebih tertuju kepada pihak-pihak yang hadir dalam acara di sore hari tanggal 14 Mei itu, seperti Hashim Djojohadikusumo, Setiawan Djody, dan W.S. Rendra. Seperti banyak diberitakan, ketiga orang tersebut sibuk menggelar konferensi pers. Isinya, bantahan bahwa pertemuan itu merupakan ajang penggodokan untuk makar (lihat bagian II). Anehnya, bantahan juga datang dari Bambang Widjojanto. "Pertemuan itu informal. Kita tanya pada Prabowo soal penculikan dan dia bersumpah tidak terlibat," ujarnya.
Dengan adanya bantahan Bambang yang juga anggota tim, tampaklah adanya keganjilan dalam kesimpulan TGPF tentang pertemuan 14 Mei 1998. Rupanya, poin ini diumumkan tanpa mendapat persetujuan seluruh tim. Bahkan, Hermawan Sulistyo, ketua tim asistensi TGPF, kaget dengan pencantuman rapat 14 Mei tersebut. Tim asistensi memang memasukkan pertemuan tersebut dalam lampiran--seperti juga kepergian para jenderal ke Malang tanggal 14 Mei pagi--tapi tidak dicantumkan dalam laporan akhir. "Ini menimbulkan kontroversi. Kalau Sjafrie dan Prabowo mau ditindak, janganlah memakai hal yang kontroversial," ujarnya.
Peneliti LIPI tersebut tampak geram karena hasil kerja mereka diubah seenaknya oleh tim perumus TGPF. Laporan akhir mereka, yang diserahkan tanggal 17 Oktober lalu, rupanya banyak ditambah oleh tim perumus yang terdiri dari Marzuki Darusman, Sri Hardjo (Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita), Romo Sandyawan Sumardi, dan Asmara Nababan.
Perubahan-perubahan ini membuat tim terpecah dan beberapa anggota tak bersedia membubuhkan tanda tangan, termasuk Rosita Noer dan Abdul Hakim Garuda Nusantara. Juga anggota-anggota tim yang berasal dari ABRI (Marwan Paris, Da’i Bachtiar, Syamsu Djalaludin, Dunidja). Bahkan, kabarnya, Bambang Widjojanto dan Said Agiel Siradj juga tidak ikut menandatangani, walau hal ini mereka bantah. Jadi, laporan TGPF hanya diperkuat tanda tangan dari anggota LSM dan Komnas HAM, yang selama ini justru kerap berbeda pendapat dengan tim dari ABRI.
Tak hanya soal pertemuan 14 Mei yang membuat sebagian tim ogah meneken, tapi juga menyangkut angka kasus pemerkosaan. Dalam laporan disebutkan bahwa ada 52 kasus pemerkosaan, terdiri dari 3 kasus yang diungkapkan oleh korban, 9 dari dokter, 3 dari orang tua, 10 dari saksi, dan 27 dari rohaniwan. Selain itu ada pemerkosaan dengan penganiayaan (14 kasus), penyerangan/penganiayaan seksual (10 kasus), dan pelecehan seksual (9 kasus)--semuanya didapat dari sumber berbeda-beda. Menurut Rosita Noer, dengan melihat data tersebut, kelihatannya banyak sekali kasus pemerkosaan yang terjadi. Padahal, dari 52 kasus pemerkosaan itu, sebenarnya hanya 15 yang sudah terverifikasi.
Rosita mengungkapkan, tim sebenarnya sudah mencapai kesepakatan pada rapat pleno terakhir tanggal 31 Oktober lalu. Tapi ada beberapa hal yang kemudian diubah dan baru diketahuinya ketika mereka mengadakan rapat terakhir sebelum pengumuman hari Selasa lalu. Bahkan, semua anggota tim harus meneken draf laporan akhir yang tak mencantumkan angka korban. Karena itu, Rosita berujar, "Bagaimana saya mau tanda tangan untuk hal yang tak saya ketahui?"
Soal blanko kosong seperti yang disebut Rosita, dibenarkan oleh Asmara Nababan, seorang anggota tim perumus TGPF. "Kita memang menip-ex angka korban sewaktu anggota menandatangani form tersebut, agar anggota tidak membocorkan ke pers," ujarnya. Ia membantah bahwa tim perumus mengubah beberapa keputusan rapat. Dalam pandangan Romo Sandyawan, reaksi keras yang muncul merupakan reaksi ketersinggungan dari mereka yang merasa dirugikan oleh laporan tersebut. Walaupun begitu, untuk menghindari jalan buntu, disepakati pencantuman catatan keberatan (minderheits nota), yang jumlahnya ada 7 butir. Dalam halaman itu juga dipasang ralat tentang jumlah korban pelecehan seksual, yang semula 4 orang menjadi 9 orang.
Adanya perpecahan dalam tim--yang mewarnai laporan akhir TGPF--sangat disayangkan oleh anggota tim yang menolak menandatanganinya. Soalnya, harapan besar memang digantungkan--baik dari dalam maupun luar negeri--pada tim gabungan ini agar bisa mengungkap misteri kerusuhan Mei lalu. Syamsu Djalaludin juga menganggap tim telah melewati wewenangnya. "TGPF kan mencari data," ujarnya mengingatkan. "Tapi mereka malah memberi analisis dan kesimpulan," kata Syamsu. Pangab Jenderal Wiranto pun sependapat dengannya.
Apakah ada maksud tertentu sehingga laporan tim menyebutkan jumlah kasus pemerkosaan dan merekomendasi agar kasus Prabowo dan Sjafrie ditindaklanjuti? Hermawan mengangguk. Baginya, laporan TGPF ini sudah diberi muatan politik oleh anggotanya. "Ada yang untuk menyelamatkan jabatannya, ada yang ingin pemerintah kredibel, ada juga yang cari uang untuk proyek," ujar ketua tim asistensi itu. Marzuki sendiri tak bersedia berkomentar. Namun, menurut dia, yang dilakukan tim perumus TGPF masih dalam batas sebagai pengumpul data. Keterangan ini didukung oleh Said Agil. "Buat apa fakta-fakta dikumpulkan jika tidak dianalisis," ujarnya kepada Iwan Setiawan dari TEMPO.
Apa daya, fakta yang sebenarnya mungkin masih terkubur entah di mana. Tapi pengumuman TGPF sudah telanjur digulirkan. Anggota TGPF kini seperti lepas tangan karena dalam laporannya mereka menyebutkan bahwa segala hak, kewajiban, dan tanggung jawab sebagai anggota berakhir begitu tugasnya selesai. Pangab Jenderal Wiranto menyatakan sudah menerima dan akan segera menindaklanjuti, walau lagi-lagi ia mengingatkan bahwa tim seharusnya hanya mencari fakta. Untuk menguji apakah laporan ini dapat dipertanggungjawabkan, tampaknya akhir bulan ini akan diundang pihak ketiga. Mereka adalah special rapporteur atau pelapor khusus dari PBB, yang dulu berhasil melakukan verifikasi atas kasus-kasus pemerkosaan di Bosnia tanpa muatan politis apa pun.
Diah Purnomowati, Edy Budiyarso, Hani Pudjiarti, Raju Febrian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo