Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lihat saja wajah Gedung MPR/DPR pekan ini. Gedung itu kini lebih mirip benteng. Sekitar 2.000 polisi dan tentara berperalatan lengkap diberi tugas menjaga ketat kompleks persidangan para wakil rakyat hasil pemilu zaman Orde Baru itu. Dan jauh dari Senayan, di Teluk Jakarta, belasan kapal perang dan pesawat tempur TNI AL berparade kekuatan, demi menyempurnakan suasana "aman". (lihat Dikepung dari Darat dan Laut).
Aman? Suasana Jakarta justru terasa mencekam. Jalan-jalan mulai sepi. Yang berlalu-lalang adalah kendaraan militer atau truk dan minibus yang mengangkut para demonstran. Beberapa perusahaan meliburkan karyawannya selama SI berlangsung. Yang punya duit bahkan sudah mengungsi ke luar negeri. Atau paling tidak hijrah ke luar kota.
Yang terpaksa tinggal pun dipenuhi rasa panik, seperti dialami seorang karyawan perusahaan minyak lepas pantai yang menelepon ke TEMPO. "Kok, sampai kapal selam mondar-mandir?" selidiknya seraya menjelaskan bahwa para ekspatriat di perusahaannya sudah bersiap-siap hengkang. Bahkan, istri dan anak-anak mereka sejak Senin ini sudah berangkat ke Singapura.
Jakarta memang menegangkan pekan-pekan ini, menyertai maraknya demonstrasi pro dan kontra-SI. Arus besar demontrasi umumnya datang dari kelompok pengecam SI. Sejak 28 Oktober lalu, mereka menggelar "sidang jalanan", dan itu tak hanya di Jakarta, tapi juga di berbagai kota. Menurut mereka, SI tak lebih adalah kiat pemerintahan Habibie, Golkar, dan ABRI untuk mempertahankan status quo rezim Orde Baru.
Mendekati hari pertama SI, tuntutan mereka kian mengkristal. Setidaknya, ada empat hal yang bersama-sama mereka teriakkan ke Senayan, yaitu mengadili dan meminta pertanggungjawaban Soeharto, cabut dwifungsi ABRI, percepat pemilu, dan cabut asas tunggal Pancasila.
Namun, suara kelompok ini tidak kompak benar, terutama dalam sikapnya terhadap pemerintahan Habibie. Kelompok pertama jelas-jelas menyatakan menolak SI sekaligus bersumpah menurunkan Habibie untuk digantikan dengan presidium pemerintahan transisi. Baik kepresidenan Habibie maupun keanggotaan MPR/DPR sekarang, menurut mereka, tidak absah dan tidak mungkin dipercaya untuk mempersiapkan pemilu yang jujur dan adil. Dimotori oleh Forum Kota (Forkot) dan Koalisi Nasional, kelompok ini mengumandangkan pandangan sejumlah tokoh senior yang tergabung dalam Gerakan Reformasi Nasional (GRN) serta Barisan Nasional (Barnas).
Kelompok kedua lebih moderat. Buat mereka, pelaksanaan SI dan berlanjutnya pemerintahan Habibie sampai pemilu 1999 oke-oke saja, asal mengakomodasi agenda reformatif tadi. Termasuk dalam kelompok ini adalah para mahasiswa Universitas Indonesia yang tergabung dalam Forum Salemba. Juga Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
Kedua kelompok tadi sudah memberi tenggat kepada para anggota majelis agar menampung gugatan mereka paling lambat tanggal 7 November lalu. Jika tidak, mereka akan menolak dan bertekad menggagalkan SI. Sebelum batas waktu itu, Ratna Sarumpaet dari Koalisi Nasional bolak-balik melobi fraksi-fraksi MPR untuk mendesakkan tuntutannya. Tapi, karena tak juga ada tanda-tanda akan ditanggapi, mereka pun siap "patah arang". Akhirnya, mereka memutuskan menolak SI. "Padahal, sebelumnya kami sangat berharap dengan SI ini," katanya.
Sikap yang sama juga diambil oleh GRN ketika Kamis silam mereka menyelenggarakan sebuah dialog yang dihadiri tokoh-tokoh "oposisi" seperti Ketua PUDI Sri Bintang Pamungkas, ekonom Sjahrir, dan mantan hakim agung Adi Andojo. Mereka menyerukan kepada semua alumni kampus di Jabotabek untuk turun ke jalan mengepung Senayan bersama para mahasiswa.
Kelompok Salemba tak kalah tegas. Dipimpin Ketua Senat Mahasiswa UI Rama Pratama, 10.000 mahasiswa jaket kuning menegaskan "Ultimatum Salemba" akhir pekan silam. Begitu pula dengan HMI. Salah seorang aktivisnya mengancam "rakyat akan bergerak" bila SI jalan terus untuk melegitimasi status quo dan tidak memihak agenda reformasi.
Apa yang akan mereka lakukan jika SI berjalan seperti rencana semula?
Kelompok mahasiswa yang dimotori Forkot bersikukuh akan maju mengepung Senayan. Mereka siap menempuh risiko dihadang militer dan kelompok militan pro-Habibie yang sudah bersumpah melibas mereka.
Kelompok anti-SI dan anti-Habibie yang lain—Forum Komunikasi Mahasiswa se-Jabotabek, Keluarga Mahasiswa ITB, dan Koalisi Nasional—memilih menghindari kemungkinan bentrok fisik. Mereka merancang suatu skenario aksi yang lebih taktis, ketimbang adu otot, yakni berupa suatu forum yang mempertemukan simpul-simpul kekuatan proreformasi seperti Megawati, Gus Dur, Amien Rais, dan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Tujuannya, menciptakan sinergi kekuatan proreformasi dalam menghadapi kubu status quo, yang secara fisik terkesan solid.
Koalisi Nasional, yang berencana menggelar "Sidang Rakyat" di Lapangan Proklamasi, Senin siang, sebagai SI tandingan--untuk mendeklarasikan presidium pemerintahan transisi--akhirnya membatalkan niatnya setelah lokasi itu dikuasai Forum Umat Islam Penegak Keadilan dan Konstitusi (Furkon). Furkon adalah pendukung SI serta Habibie dan dipimpin oleh Faisal Biki, adik mendiang tokoh peristiwa Tanjungpriok Amir Biki. Acara mereka kemudian dipindahkan ke UI Salemba dan kabarnya membuat warga Salemba naik berang.
Keluarga Mahasiswa ITB dan Forum Komunikasi Mahasiswa se-Jabotabek memilih menyelenggarakan dialog nasional, yang sebenarnya sudah digagas sejak tiga bulan silam. Mereka ingin tokoh-tokoh proreformasi tadi bersedia mendeklarasikan sebuah pernyataan bersama yang mengandung desakan reformasi yang lebih substansial.
Menurut seorang sumber TEMPO, draf pernyataan bersama itu sebenarnya telah ada, bahkan disusun dan disetujui oleh para sekjen dari empat partai politik baru—Partai Amanat Nasional, Partai Demokrasi Indonesia, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Keadilan (lihat TEMPO edisi lalu). Keempat sekjen telah bertemu dan membicarakannya secara intensif empat kali di Jakarta, sebelum akhirnya menyetujui isinya. Bunyinya: mendesak SI agar rancangan ketetapan pemilu hanya memajukan jadwal pemilu, parpol baru dilibatkan dalam pembahasan RUU politik, dan agar SI tidak mengeluarkan ketetapan yang bertentangan dengan agenda reformasi.
Namun, "pergelaran" tak pernah bisa dilangsungkan karena belum ada kata akhir dari para ketua partai. Dan, yang jelas, belum ada pertemuan lagi di antara mereka, bahkan menjelang SI berlangsung. Para mahasiswa pun mulai kehilangan kesabaran. Sabtu lalu sekitar 200 mahasiswa mendatangi rumah Gus Dur di Ciganjur. "Kita minta supaya mereka memikirkan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompoknya masing-masing," kata seorang mahasiswa. Namun, terhadang pasukan banser NU, mereka gagal bertemu sesepuh Partai Kebangkitan Bangsa itu untuk mendapatkan kepastian sikapnya tentang dialog tadi.
Sepanjang hari Minggu lalu, juga tak sedikit mahasiswa yang berkemah di rumah Megawati. Namun mereka tak sempat berdialog dengan Ketua Umum PDI Perjuangan ini, karena Bu Mega sedang menunggui putrinya di rumah sakit. Namun, mereka setidaknya memperoleh kepastian. "Mega bersedia hadir asalkan ia menjadi peserta paling bontot," kata Agung Wicaksono, dari tim materi dialog satgas Keluarga Mahasiswa ITB. "Artinya, jika semua telah hadir, ia siap datang. Tentu saja, jika yang menghubunginya adalah Gus Dur."
Pada Senin pekan ini, mahasiswa bahkan "menculik" Amien Rais dari bandara dan membawanya ke rumah Gus Dur. Sayang, tuan rumah pergi ke rumah sakit sekitar satu jam sebelum Amien datang. Maka, lengkaplah kegagalan mahasiswa.
Jalan reformasi rupanya masih akan panjang berliku, penuh intrik dan barikade. Dan jalan berliku itu akan menjadi lebih seram kalau saja terjadi "bentrok horizontal" di antara kelompok sipil, seperti yang dikhawatirkan Megawati.
Karaniya Dharmasaputra, Agus Hidayat, Agus S. Riyanto, Hardy R. Hermawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo