PATRIOTISME atau cinta tanah air biasanya terungkap pengejawantahannya dalam usaha pembelaan bersenjata. Pengejawantahan patriotisme demikian itu pada umumnya sangat romantis dan herois. Situasi dan kondisi membuatnya begitu. Itulah sebabnya dewasa ini kita cenderung mengidentifikasikan patriotisme dengan nostalgia zaman dulu. Padahal, patriotisme bermotivasi jauh lebih mendalam dari sekadar cinta sentimentil kepada tanah air saja. Patriotisme menyangkut pula cinta kepada harga diri manusia yang hidup dari, dan sekaligus menghidupi, tanah airnya sebaga lingkungan hidup dan habitatnya yang kongkret. Pengertian terakhir ini tercermin jelas dalam akhir pidato pembelaan Bung Hatta sebagai mahasiswa di muka hakim Negeri Belanda pada 1928, yang mengutip Penyair Rene de Clerque, "Hanya ada satu negeri yang menjadi tanah airku. Negeri itu tumbuh karena perbuatan. Dan, perbuatan itu adalah di tanganku!" Jelasnya: jangan sampai tanah air kita tumbuh karena tangan lain. Ucapan ini meluaskan dan mempositifkan jiwa patriotisme kuno, yang secara herois-romantis lebih baik melihat tanah air itu tenggelam ke dasar laut daripada terus dijajah bangsa lain. Ucapan sentimentil ini dulu, pada permulaan abad ke-20, sering terdengar dari pemimpin pergerakan kemerdekaan Filipina, India, Vietnam, dan Indonesia -- termasuk dari Bung Karno dan Bung Hatta. Memang, patriotisme adakalanya berjiwa destruktif-negatif. Tapi, adakalanya juga berjiwa konstruktif-positif. Positivisme itu lebih ditekankan kepada manusianya, baik individual maupun kolektif sebagai bangsa, yang secara konstruktif mengelola tanah air sebaik-baiknya, demi harga diri dan kebahagiaan hidup sebagai manusia. Manusia patriotik demikian itu harus giat dan tidak bermalas-malasan dalam mengelola segala kekayaan alam, yang tersimpan dalam bumi dan airnya, demi kemakmuran dan keadilan bersama. Positivisme demikian akan lebih bergairah, apabila ia disumberkan kepada ajaran agama, bahwa tanah air adalah amanat dan pemberian Tuhan kepada kita, yang harus kita cintai dan pelihara baik-baik. Malah sebuah hadis Nabi Muhammad saw berbunyi, "cinta tanah air merupakan bagian dari iman". Manusia yang beriman tidak hanya harus membela tanah air, tetapi juga harus mengelola kekayaan alamnya. Jiwa positif dari patriotisme itu lebih mendesak dalam alam kemerdekaan sekarang. Sebab, merdeka berarti memegang kekuasaan. Zaman penjajahan, ketika kekuasaan kenegaraan berada di tangan bangsa lain, telah kita hancurkan berkat patriotisme yang romantis dan herois dulu itu. Tetapi, di alam kemerdekaan sekarang, ketika kekuasaan sudah beralih ke tangan bangsa sendiri, terlihat pencemaran dalam jiwa patriotisme itu. Khususnya, karena kebenaran sinyalemen orang tua-tua kita dulu, bahwa "milik menggendong kelupaan". Ini mirip dengan sinyalemen Lord Acton, bahwa kekuasaan cenderung membuat pemegangnya korup. Dalam situasi demikian, patriotisme harus dapat membersihkan diri dari pencemaran karena kekuasaan itu. Kekuasaan memang penting dan perlu. Namun, lebih penting dan perlu adalah moral yang harus mendasan kekuasaan itu. Moral itu tidak lain harus bersumber kepada idealisme, kalau perlu kepada heroisme dan romantisme zaman dulu, sambil mengikis habis jiwa pragmatisme dan materialisme yang telah menyelinap ke dalam patriotisme sebagai unsur-unsur pencemar. Generasi 1908, yang merintis Perjuangan Kemerdekaan, pada waktu itu belum mengenal kekuasaan. Demikian pula Generasi 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda. Generasi 45 memang mulai mengicip-icip kekuasaan kenegaraan, tapi dalam suatu dinamika gejolaknya revolusi. Baru generasi sekarang yang beruntung mengenyam kekuasaan itu dalam suatu stabilitas politik yang lumayan. Sejalan dengan situasi dan kondisi yang berubah-ubah itu, maka bentuk patriotisme pun mengalami perubahan pula. Dulu patriotisme itu berbentuk perjuangan pembelaan dan pembersihan tanah air dari kekuasaan asing, tapi kini ia harus berbentuk usaha mengelola kekayaan tanah air untuk kemakmuran bersama. Mengelola dengan menguasai teknologi modern, menerapkan manajemen yang efektif dan efisien, serta berpikir rasional. Mengelola dalam arti menjaga keseimbangan antara kecukupan dan keadilan. Kita tidak boleh mengelola kekayaan tanah air hanya demi nafsu pribadi untuk dapat hidup secara mewah, dan mubazir, tapi merugikan rakyat banyak. Dengan demikian, ukuran kecukupan dan nilai keadilan dilanggar. Nafsu mengeruk kekayaan alam tanpa pengendalian diri akan merusakkan kelestarian tanah air kita. Ia juga tidak memikirkan nasib generasi kita kelak. Tindakan itu jelas tidak patriotik. Patriotik dalam alam kemerdekaan sekarang mengandung arti segala usaha, baik besar maupun kecil, dalam membaktikan diri secara individual maupun secara bersamaan kepada kejayaan tanah air, kepada kemakmuran rakyat, dan kepada kebesaran negara dan bangsa. Sambil menggunakan kekuasaan itu sebaik-baiknya, maka kekuasaan tersebut harus kita tundukkan kepada tuntutan moral Pancasila. Yaitu moral yang disumberi oleh jiwa religius monoteistis, yang berperi kemanusiaan, yang mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, kemakmuran rakyat dan keadilan sosial. Itulah jiwa patriotisme dalam alam kemerdekaan sekarang, yang harus kita terapkan dalam menggunakan kekuasaan kenegaraan dan kekuasaan pemerintahan, sambil berani melawan tindakan apatriotik dan nonpatriotik, seperti komersialisasi jabatan dan bentuk penyalahgunaan kekuasaan lainnya. Ini tidak mudah. Tapi harus diusahakan!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini